Bima tidak langsung pulang ke rumahnya, tapi itu sudah biasa. Setiap pulang sekolah Bima memang selalu mampir ke mesjid dekat rumah untuk sholat Dzuhur. Selesai sholat, ia kerjakan PR di halaman mesjid. Tak lama kemudian seseorang menghampirinya, dan itu pun sudah biasa. Bima melihat ibunya telah datang. Seperti biasa.
Bu Sari tersenyum melihat putranya sedang mengerjakan PR. “Banyak PR-nya, Bim?” tanya beliau.
Bima hanya mengangguk. Bima lihat ibunya tampak sangat lelah, memberi Bima petunjuk kalau cucian di laundry tempat ibunya bekerja sedang banyak. Bima juga melihat ibunya membawa kantung plastik yang bisa Bima tebak isinya adalah makan siangnya.
Ketika Bu Sari memberikan kantung plastik itu, Bima langsung menyambar dan membukanya.
“Hati-hati. Makan pelan-pelan. Berdoa dulu,” ujar Bu Sari sambil tersenyum lebar. Melihat Bima tumbuh sehat membuat Bu Sari bahagia, dan beliau rela kehilangan makan siangnya dari tempat beliau bekerja. “Ibu sholat dulu, ya,” kata Bu Sari seraya beranjak ke tempat wudhu.
Bima memang bukan anak unggulan, tapi Bima punya hati yang baik. Bima tahu kalau makanan yang dia makan itu adalah jatah makan siang ibunya dan Bima merasa tidak berhak. Tapi, Bima juga tahu kalau dia menolak makanan itu, ibunya akan memaksa bahkan bisa sampai marah. Bisa saja Bima menghabiskan makanan itu, dan mungkin itu yang Bima harapkan, tapi Bima juga sayang ibunya. Ibunya membutuhkan tenaga untuk terus bekerja; Bima tidak ingin ibunya jatuh sakit. Bima hentikan makannya setelah nasi, rendang telur, tahu dan tempe di kotak itu habis setengahnya.
“Kok, nggak dihabiskan?” kata Bu Sari setelah beliau sholat.
“Bima suka ngantuk kalau kenyang, Bu. Nanti PR Bima nggak selesai-selesai,” jawab Bima tanpa menoleh dari buku tulisnya.
“Simpan buat nanti saja,” kata Bu Sari sambil duduk di samping Bima.
“Basi dong, Bu. Habiskan sama Ibu saja. Sebentar lagi Ibu mau nyuci lagi, kan?”
Bu Sari tersenyum, lalu mengusap-usap kepala Bima. Kemudian, dengan agak ragu, Bu Sari menyantap sisa makan Bima.
“Ada yang menarik tadi di sekolah?” tanya Bu Sari.
Bima termenung sejenak, “Tadi ada murid baru,” jawab Bima.
“O’ya? Siapa namanya?”
“Ivan. Anak orang kaya.” Kali ini Bima terdengar sangat ketus meski tidak ia sengaja.
“Meski anak orang kaya, kamu mesti baik sama dia,” komentar Bu Sari.
Bima hanya mengangguk. “Sudah ini Bima mau pergi memulung sampah, Bu.”
Bu Sari terdiam sejenak. “Jangan terlalu jauh, dan jangan terlalu larut.”
Bima mengangguk lagi.
Tak lama kemudian, setelah Bu Sari selesai makan, beliau beranjak untuk kembali bekerja.
“Ingat! Sebelum magrib sudah ada di rumah! Ganti baju dulu!” kata Bu Sari.
Bima mengangguk.
“Ibu pergi dulu, ya. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
Setelah melihat ibunya menjauh dan kemudian menghilang di tikungan, Bima bereskan buku-buku pelajarannya lalu pergi ke rumahnya, hanya untuk ganti baju dan mengambil karung dan pengait yang biasa Bima gunakan untuk memulung sampah-sampah plastik. Sampah-sampah plastik itu nantinya bisa Bima jual. Tapi, memulung sampah sebenarnya bukan pusat perhatian Bima. Tak lupa Bima membawa lembaran bungkus rokoknya, juga sebuah pulpen. Sambil berjalan di antara tumpukan sampah, Bima melanjutkan tulisannya.
“Hmm, tusukan pedang…,” gumamnya lirih sambil berpikir.
Tusukan pedang Ahmad melesat bagai kilat. Tapi sosok tegap itu seperti mengolok-olok Ahmad dengan menahan tusukan pedang itu memakai gagang pedangnya. Ahmad tidak membiarkanya, ia lanjutkan dengan mengayunkan pedangnya memutar dan Ahmad bisa menduga kalau sosok itu akan menahan serangannya lagi.
“Kamu harus lebih kuat dari ini, Ahmad,” ucap sosok itu.
“Atau lebih pintar,” balas Ahmad seraya menurunkan badannya untuk mendorong kaki kanannya dan menendang kaki kiri sosok itu.
Sosok itu terkejut dan limbung, namun berusaha menahan tubuhnya dari jatuh dengan bertopang pada pedangnya. Ahmad tidak akan sia-siakan kesempatan itu, dia jejakkan kembali kaki kanannya dan mendorong tubuhnya sambil mengayunkan sikut yang diarahkan ke dada sosok itu. Sosok itu terjengkang, dan kemudian Ahmad berdiri menang seraya mengarahkan ujung pedangnya ke wajah sosok itu.
Hening sesaat.
Lalu tiba-tiba hening itu pecah oleh tawa sosok itu.
“Kau benar, Nak,” ucap sosok itu setelah tertawa, “tidak hanya mesti kuat, tapi juga harus pintar. Ayah bangga padamu.”