Bima terlambat sholat Maghrib dan tentunya terlambat pulang. Dengan terburu-buru, Bima numpang mandi di kamar mandi mesjid, sholat Maghrib, lalu pulang seraya berharap ibunya tidak marah. Harapannya memang tidak terlalu jauh, tapi juga tidak terlalu dekat.
“Ke mana saja kamu?” bentak ibunya di pintu rumahnya.
“Maaf, Bu. Bima… dikejar tukang palak…,” jawab Bima. Bima tidak akan menceritakan pertemuannya dengan Ivan.
Bima lihat sorot mata ibunya berubah cemas. “Kamu tidak apa-apa?”
Bima menggeleng. “Bima mesti berlari menjauh dulu supaya bisa pulang.”
Bu Sari mendekat dan merangkul pundak Bima. “Sudah sholat Magrib?”
Bima mengangguk.
“Sekarang kita mengaji, yuk,” lanjut Bu Sari, “terus makan, sholat Isya, lalu tidur. Kamu sudah kerjakan semua PR, kan?”
Bima mengangguk lalu mengikuti langkah ibunya memasuki rumah.
Malam itu Bima sulit tidur. Ia berbaring di atas dipan kayu dengan mata nanar menatap gelap yang ia yakini di atas sana ada atap reyot rumahnya. Benaknya berkecamuk oleh macam-macam pikiran yang sebenarnya berasal dari satu pertanyaan; apa yang dilakukan Ivan di TPS itu? Bima tidak bisa sedikit pun mengira-ngira alasan bocah kaya itu. Aku tidak akan pernah tahu kecuali aku langsung bertanya sama dia, pikir Bima.
Lalu untuk apa dia menggambar bentuk bintang itu? sekali lagi Bima melemparkan pertanyaan ke ruang nalarnya, dan kembali Bima tidak bisa menemukan jawabannya. Aku tidak akan pernah tahu kecuali langsung tanya dia, batin Bima lagi dan kali ini dengan perasaan yang terasa sangat jengah. Bima sudah muak dengan bocah sok itu.
Dan besok aku mesti bertemu dia di sekolah…. Bima tutup matanya, mencoba mengundang rasa kantuk.
Tikus-tikus berlarian menjauhi tapak langkah Bima. Hari masih gelap, tapi tidak terlalu gelap bagi Bima untuk menentukan arah menuju sekolah. Langkah Bima memang lambat karena dia memang merasa malas untuk bersekolah, merasa malas untuk berhadapan dengan Ivan. Tapi dia harus bisa bersekolah, dia merasa harus bisa. Jika tidak, jika dia memilih untuk tidak sekolah, berarti dia kalah dari bocah kerempang itu. Tidak! Aku tidak boleh kalah!
Bima terus melangkah menuju lubang di tembok pembatas antara Tempat Pembuangan Sampah dengan kampung sebelah. Sesampainya Bima di lubang itu mentari telah terang. Lubang itu memang besar, tapi Bima tetap mesti merunduk untuk melewatinya. Saat itulah Bima melihat sesuatu di tanah, hampir terinjak olehnya. Ia melihat sebuah tas pinggang kecil. Tas pinggang itu masih bagus, cukup bagus untuk memberi tahu Bima kalau tas itu pasti milik seseorang, bukan dibuang. Bima pungut tas itu, memeriksanya sebentar, lalu membukanya. Ia temukan sebuah buku kecil yang aneh di dalamnya beserta sebuah kantung hitam sebesar kepalan tangan.
Buku itu aneh karena ukurannya yang kecil, sekitar setengahnya buku tulis yang biasa Bima gunakan di sekolah, tapi cukup tebal. Sampulnya hitam dari bahan kulit hewan dan terdapat tulisan yang bisa Bima baca.
FATEBENDER
Fate…bender…, apaan itu?
Ia buka buku itu dan melihat buku aneh itu bertuliskan bahasa Inggris, dan Bima hanya mengenali beberapa kata, tapi untuk bisa mengerti Bima tidak bisa. Lalu Bima terkejut ketika diantara halaman buku itu Bima temukan secarik foto yang di dalamnya terdapat Ivan; Ivan dan seorang lain yang mirip Ivan yang tampak sedikit lebih tua dari Ivan, juga dua orang dewasa di belakangnya yang bisa Bima sangka sebagai ayah dan ibunya Ivan.
Tas ini milik dia? pikir Bima, mu-mungkin terjatuh kemarin.
Tentu saja yang seketika terpikir oleh Bima adalah mengembalikan tas itu ke Ivan. Memang Bima tidak suka bocah kaya itu tapi itu bukan artinya memperbolehkan Bima memiliki tas itu, bukan? Tapi, Bima kemudian sangat terkejut ketika perhatiannya beralih ke kantung hitam dan membukanya dengan niat hanya ingin tahu apa isinya. Bima melihat di telapak tangannya lima butir berlian yang besar-besar dan berkilauan. Berlian itu cukup berat, dan itu membuat Bima ragu apakah batu-batu berlian itu asli atau bukan.
Masa sih asli…, pikir Bima ragu. Tapi…, bocah itu memang kaya, kan? Tapi apa cukup kaya untuk membawa-bawa berlian sebesar ini ke tempat seperti ini? Apa tujuannya? Bima angkat salah satunya dan menerawangnya ke arah cahaya mentari. Seketika Bima terkesima oleh indah sinar yang dibiaskan oleh berlian itu. Agak lama Bima terbuai oleh bias cahaya berlian itu, tapi kemudian dia menggeleng-gelengkan kepalanya dan menghela napas panjang. Aku memang tidak menyukai bocah itu, pikir Bima seraya memasukkan kembali berlian-berlian itu ke dalam kantungnya. Tapi, aku juga bukan pencuri.
Bima masukkan tas pinggang itu ke dalam tasnya dengan niat pasti untuk mengembalikannya kepada Ivan. Tapi…, ternyata hari itu Ivan tidak sekolah.
Sebenarnya ada perasaan lega di hati Bima dengan tidak sekolahnya Ivan, tapi tidak selega semestinya. Misalnya ketika istirahat Bima bisa bersandar ke pohon kersennya tanpa gangguan Ivan, tapi dia tidak bisa menulis. Benak Bima sedang dibebani perang batin antara mengembalikan tas pinggang itu ke Ivan atau tidak. Memang Bima akui kalau berlian-berlian itu sangat indah dan terus terang Bima ingin memilikinya. Tapi tentu saja Bima harus mengembalikannya. Tapi… tapi… tidak ada yang tahu kalau aku yang menemukannya, kan? Tidak ada yang tahu kalau Bima mendapatkan berlian-berlian itu dan tidak ada yang bisa menduga kalau berlian-berlian itu milik Ivan, ya, kan? Hati kecil Bima bertengkar, apakah dia mesti mengembalikan berlian-berlian itu atau tidak? Tidak ada yang tahu selain Bima sendiri kalau Bima telah menemukannya.
Memang tidak… tapi… Allah maha tahu…, Allah tahu kalau aku yang menemukannya… tapi… tapi aku dan Ibu lebih membutuhkannya daripada bocah kaya itu, kan? Berlian-berlian itu bisa aku jual…. Ide itu terasa sangat menggoda bagi Bima meski… meski Bima merasa sangat tidak enak hati. Seandainya saja Ivan sekolah, mungkin Bima akan langsung mengembalikannya dan habis perkara! Tap Ivan tidak sekolah dan Bima mesti membawa pulang tas pinggang, buku aneh dan berlian-berlian itu. Godaan untuk tidak mengembalikannya semakin besar….
Berlian-berlian itu pasti mahal…. Aku dan Ibu bisa pindah dan… dan….
RIIIIINNNNGGG!!!!