Saat bel istirahat berbunyi Bima tidak langsung keluar kelas. Bima pijit-pijit kepalanya yang pusing. Memang sudah cukup reda, tapi rasa sakitnya masih ada.
“Kamu kenapa, Bim?”
Bima tersentak mendengar suara Pak Ridwan. Bima melihat Pak Ridwan tengah berdiri di pintu hendak keluar kelas.
“Nggak apa-apa, Pak. Cuma sedikit pusing,” jawab Bima.
“Perlu minum obat mungkin?” tanya Pak Ridwan lagi.
“Tidak usah, Pak. Terima kasih,” tanggap Bima sambil beranjak dari bangkunya dan berniat meninggalkan kelas.
“Pusing kenapa? Kurang tidur?”
Bima mengangguk.
“Belajar?”
Kali ini Bima diam saja dan terus berjalan. Awalnya Bima hanya berniat melewati Pak Ridwan, tapi tanpa disangkanya, Pak Ridwan merangkul bahu Bima dan bersama-sama keluar kelas.
“Terus terang, Bim, Bapak kagum mendengar cara kamu menjawab tadi. Tingkatkan lagi belajar kamu, ya? Bapak yakin kamu sebenarnya anak yang cerdas.” Lalu Pak Ridwan melepas rangkulan tangannya di bahu Bima, dan memutar langkah beliau menuju Ruang Guru.
Bima sempat berhenti, sempat tercenung akan kata-kata Pak Ridwan, tapi tidak lama. Bima teruskan langkahnya menuju halaman samping sekolah, menuju pohon kersen. Di bawah pohon kersen itu Bima duduk seraya mengeluarkan lembaran-lembaran bungkus rokoknya dari saku belakang celananya dan sebatang pulpen. Bima ingin menulis lagi; ingin meneruskan ceritanya. Memang sakit kepalanya cukup mengganggu tapi Bima tidak peduli.
Bima sejenak membaca lembaran-lembaran bungkus rokok itu. Setelah selesai membacanya, Bima siap untuk melanjutkan, tapi tidak jadi karena tiba-tiba Bima mendengar suara seseorang.
“Jadi tidak cuma otak encer yang kamu sembunyikan.”
Bima terperanjat dan langsung berdiri. Ia mendongak ke atas pohon dan melihat Ivan tengah duduk di salah satu dahan. Di tangan Ivan terdapat buku hitam itu, tapi mata Ivan tengah menatap Bima. Sempat Bima melihat tulisan “FATEBENDER” di buku itu mengkilat tertimpa pantulan cahaya matahari.
“Apa yang aku sembunyikan bukan urusanmu!” tanggap Bima ketus. Ia sembunyikan bungkus-bungkus rokoknya.
“Memang, tapi tetap saja aku berhutang maaf.”
Kening Bima mengerenyit heran. Bima tetap menatap bocah kerempeng itu, dan dilihatnya dia dengan lincah menuruni pohon dan melompat hingga dia berada dihadapan Bima.
“Aku minta maaf,” ucap Ivan seraya tersenyum meski tampak bocah kerempeng ini agak menghindari menatap mata Bima. “Aku minta maaf atas segalanya…, dan terima kasih telah mengembalikan tas pinggangku.”
Bima sempat tercenung karena Bima belum pernah mengalami situasi seperti ini. Belum pernah ada yang berterima kasih sama Bima, apalagi minta maaf. Tapi Bima segera menguasai diri dan masih ketus berkata, “Aku tidak butuh minta maaf kamu!”
“Tidak apa-apa. Aku mengerti, kamu berusaha untuk tidak menarik perhatian orang lain dengan sikap tidak bersahabat seperti itu. Juga dengan menyembunyikan kecerdasanmu. Seperti tadi di kelas, kamu merasa menyesal telah menjawab pertanyaan Pak Ridwan, ya, kan? Aku bisa mengerti. Kamu melakukan itu untuk melindungi orang yang kamu sayangi.”
Kening Bima kembali mengerenyit heran, tapi kini bercampur marah. “Apa maumu sebenarnya?” geram Bima. “Kalau kamu berniat memberitahu semua orang kalau aku tinggal di tempat sampah, silahkan saja! Aku tidak peduli!”
“Dan kamu tidak peduli kenapa kemarin lusa aku berada di tempat sampah itu?” ucap Ivan santai dan tidak terpancing oleh emosi Bima.
Bima sempat heran, dan perlahan rasa penasaran menguasai Bima.
Senyum Ivan makin lebar. “Aku hanya mencoba mengerti kamu, dengan begitu aku juga berharap kamu bisa mengerti aku…. Sebut saja, aku juga sedang berusaha melindungi orang-orang yang aku sayangi…, atau lebih tepatnya ‘mengembalikan’ orang-orang yang aku sayangi,” jelas Ivan.
Bima termenung sesaat. “Apa orang-orang itu yang ada di foto itu?” tanya Bima.
Sorot mata Ivan berubah dan menatap Bima. “Ya….”
“Apa yang terjadi?”
“Untuk saat ini, itu saja yang bisa aku ceritakan,” jawab Ivan seraya beranjak hendak pergi.
“Apa ada hubungannya dengan alien?” tanya Bima.
Langkah Ivan terhenti. Bocah itu melirik Bima heran dan kemudian tertawa. “Tidak. Nggak ada hubungannya sama alien,” jawab Ivan lalu melanjutkan langkahnya.
Kini Bima sendirian, tapi Bima tidak kembali duduk di bawah pohon kersennya. Kini Bima tidak bisa menulis lagi. Kini benak Bima diliputi rasa penasaran.
“Dia berusaha mengembalikan orang-orang yang disayanginya? Maksudnya apa?” gumam Bima pada dirinya sendiri.
Bima termenung sampai bunyi bel menyadarkannya. Waktu istirahat telah berakhir. Bima kembali ke kelas, duduk kembali di bangkunya bersama Ivan, tapi Bima tidak berkata apa-apa; Bima tidak bertanya apa-apa. Memang Bima penasaran juga, tapi biar Ivan sendiri yang memberitahunya nanti kalau saatnya tepat. Bagiamanapun hari ini Bima merasa lega, urusan berlian itu sudah selesai. Bima bisa tidur nyenyak nanti malam.
Setelah sholat Dzuhur, Bima duduk di teras mesjid seperti biasa.
Kalau di perhatikan Mesjid itu sebenarnya tidak besar, tapi karena sepi, mesjid itu menjadi terkesan besar. Mesjid itu sepi karena letaknya yang jauh dari perkampungan, bahkan berseberangan dari kampung terdekat. Orang-orang mesti menyeberangi lautan sampah dulu untuk mencapai mesjid ini. Kalau tidak mau melewati sampah, maka jalannya mesti memutar, melewati jalan raya, menyeberangi jembatan yang melewati jalan tol, belok kanan hingga kembali menyeberangi jalan tol, kembali memasuki kawasan Tempat Pembuangan Sampah Kota, maka sampailah di pekarangan mesjid. Mesjid ini bernama mesjid An Nur.
Sebelum kawasan ini menjadi Tempat Pembuangan Sampah, mesjid itu telah berdiri. Dan konon dulu kawasan ini merupakan area pesawahan yang luas, sebelum proyek jalan tol masuk, dan sebelum pemerintah kota mulai membuang sampahnya ke tempat ini. Tidak ada yang tahu siapa yang mendirikan mesjid ini, tapi konon ketika kawasan ini masih pesawahan, mesjid ini sering digunakan para petani untuk sholat. Sekarang telah berubah, tapi itu bukan artinya mesjid ini jadi tidak terpelihara. Mesjid ini selalu tampak bersih dan terpelihara berkat seorang pensiunan tentara bernama Pak Anwar.
Tidak ada yang misterius dari sosok tegap Pak Anwar ini. Orangnya ramah, periang dan dermawan meski bukan orang yang berada. Tapi, tidak ada yang tahu apa hubungan antara Pak Anwar dengan mesjid itu sehingga membuat pria paruh baya ini bersedia meluangkan sebagian besar waktunya untuk memelihara mesjid, untuk mempersiapkan tempat sholat bagi jemaah yang tidak seberapa dan tak jarang jemaah itu cuma Bima seorang. Tapi bagaimanapun, bagi Bima siang itu, sosok Pak Anwar adalah sosok yang ia temui di teras mesjid saat Bima seperti biasa menunggu ibunya setelah pulang sekolah.
“Assalamu alaikum,” salam Pak Anwar.
Bima membalas salam itu seraya tersenyum, sejenak berhenti dari PR-nya.
“Ini ada titipan dari ibu kamu,” kata Pak Anwar. Beliau serahkan sekantong plastik berisi makan siang Bima. “Katanya masih banyak pekerjaan jadi nggak bisa datang.”
Bima terima bingkisan itu. “Terima kasih, Pak.”
“Sudah sholat, Bim?”
“Sudah, Pak.”
“Bapak tinggal dulu, ya.”