“Jadi, apa yang kamu ceritakan kemarin ada hubungannya sama mesin waktu?” kata Bima sesampainya di bangku kelas dan duduk di samping Ivan yang sedang membaca buku hitam-nya. Ia bicara agak berbisik.
“Apa yang membuatmu berpikir seperti itu?” tanya Ivan, tapi Bima tahu, dari senyum Ivan kalau perkiraan Bima memang benar.
“Jangan berbelit-belit, Van! Jawab saja, benar, tidak?”
“Kalau benar, kamu mau bantu aku?”
Bima tercenung. Bima kebingungan menjawabnya.
“Bagaimanapun, sekarang bukan waktu yang tepat untuk membahasnya,” sambung Ivan. “Nanti istirahat. Di bawah pohon.”
Bima menghela nafas. Penasaran memang, tapi Ivan benar; sekarang bukan saat yang tepat.
Dua jam kemudian, setelah bel istirahat berbunyi, dua bocah laki-laki ini melangkah cepat keluar kelas menuju pohon kersen di halaman samping sekolah.
“Jadi apa yang membuat kamu berpikiran seperti itu?” tanya Ivan setibanya di bawah pohon kersen.
“Apa?” Bima balik tanya.
“Kamu pikir aku mau buat mesin waktu?”
“Benar, tidak?”
“Yah, aku ingin tahu bagaimana kamu bisa berpikir seperti itu. Aku nggak pernah bilang tentang mesin waktu.”
Bima mendengus. “Hmmh! Kamu ini suka berbelit-belit, ya?”
“Bukan berbelit-belit, hanya… secara teori bisa dibilang mesin waktu. Memanfaatkan teori kuantum,” jelas Ivan seraya menggerakan dua telapak tangannya seolah melipat sesuatu. “Ruang-waktu yang dilipat, lalu dengan sedikit dorongan, menembusnya sampai di Ruang yang sama tapi Waktu yang berbeda. Tapi… aku tidak peduli soal itu, aku hanya… ingin mengembalikan Papa, Mama, sama kakakku…. Atau aku yang mendatangi mereka.”
Bima mengerenyit heran. Ia tatap Ivan yang tampak menerawang setelah menjelaskan itu. “Apa yang terjadi?” tanya Bima.
Ivan menarik nafas panjang dan menatap Bima. Ada sedih yang mendalam di sorot mata Ivan. “Apa yang aku mau ceritakan jangan pernah kamu ceritakan lagi, janji?”
“Ya, aku janji.”
Ivan tampak gelisah. Sepertinya tidak nyaman untuk menceritakannya, tapi sekaligus merasa harus menceritakannya. Ivan menarik nafas panjang lagi sebelum dia berkata, “Empat tahun yang lalu, aku liburan ke rumah Kakek. Sama Papa, Mama dan Adrian—kakakku.”
Bima memperhatikan dengan seksama, seolah ada misteri yang segera terungkap dari cerita Ivan, yang segera mengusik mesin imajinasi Bima untuk membayangkan sebuah puri milik kakeknya Ivan di selatan Inggris. Membayangkan sebuah mobil kecil yang dikemudikan papanya Ivan dan mamanya di sebelahnya, sementara Ivan dan kakaknya di belakang.
Mobil itu menyusuri jalan kecil mendaki, yang dihimpit hutan. Jalan itu berkelok-kelok sehingga perlu waktu lama untuk bisa melihat sebuah puri megah di puncak bukit. Mentari musim panas di bulan Juli 1994 membuat puri itu berkilauan.
“Itu rumahnya Kakek?” tanya Ivan yang masih enam tahun. Ia beringsut ke celah antara tempat duduk Mama dan Papa.
“Ya,” jawab papanya Ivan.
Puri itu cukup besar dengan satu menara tinggi di salah satu sisinya. Bisa dikatakan, justru menara itulah yang merampas kesan kuno dan megah dari puri itu, karena dipasangi kubah putih mirip menara peneropongan bintang.
“Pa, itu peneropong bintang?” tanya Ivan seraya menunjuk.
“Sepertinya iya. Papa baru lihat. Kakek nggak bilang-bilang mau bikin teropong bintang.”
“Untuk menarik perhatian turis, mungkin. Biasanya musim panas suka dipakai penginapan, ya, kan?” ucap Mama.
Papanya Ivan mengangguk-angguk.
“Tapi sepertinya tidak ada orang,” komentar kakaknya Ivan ketika mobil makin mendekat.
“Hm, itu aneh,” ujar Papa.
Tak lama kemudian mobil mereka sampai di halaman depan puri itu, dan berhenti persis di depan undakan tangga menunju pintu besar puri itu.
“Apa tidak ada orang?” tanya Mama saat mobil berhenti.
Papa tidak menjawab, tapi dia keluar dari mobil. Tanpa menunggu yang lain, dia melangkah menaiki tangga menuju pintu.
Mama, Ivan dan kakaknya kemudian ikut turun dari mobil dan mengikuti langkah Papa.
Papa membuka pintu, “Hello…. Anybody home?”
Tidak terdengar jawaban.
“Aneh,” gumam Papa.
“So much for surprises, eh?” komentar Mama, “Seharusnya kita menelepon dulu.”
Ivan lihat ruang tamu yang luas; luas karena sedikit sekali perabotnya. Yang segera menarik perhatian Ivan adalah tangga besar menuju mezzanine lantai dua, agak jauh lagi di atasnya terdapat lampu gantung yang besar dan mewah. Melihat lampu gantung itu—yang menggantung diam seolah mengiringi kesunyian yang mencekam—membuat Ivan merinding sedikit.
“Father?” panggil Papa sambil menaiki tangga.
“Ayah?” panggil Mama juga.
Ketika mereka sampai di akhir anak tangga, sepi masih mencekam. Namun tiba-tiba suara sesuatu yang jatuh membuat mereka terperanjat. Ada sesuatu yang jatuh di lantai dua, di mezzanine, yang membuat ayahnya Ivan bergegas menaiki tangga, diikuti, Mama, Ivan, juga kakaknya.
Mereka lihat sebuah helm terbuat dari logam di lantai; helm baju zirah kuno yang berputar setelah jatuh dari tangga melingkar di sisi kiri dinding yang agak tersembunyi di sisi jam antik. Sepertinya jam antik itu merupakan pintu rahasia bagi tangga melingkar itu.
“Sepertinya tangga ini menuju menara peneropong bintang itu, ya?” ujar kakaknya Ivan.
Papa mulai menaiki tangga itu, Mama, Ivan dan kakaknya mengikuti. Tangga itu cukup tinggi, dan berakhir di lorong yang diapit barisan baju zirah kuno; salah satunya kehilangan kepalanya. Lorong itu berakhir di sebuah pintu yang terbuka, namun tiba-tiba menutup cepat hingga terdengar suara keras yang juga berakibat tumbangnya beberapa baju zirah. Ivan sekeluarga terkaget-kaget! Tidak hanya sampai di situ, pintu itu kembali terbuka, dan kemudian kembali menutup, seolah ada hembusan angin dari balik pintu itu yang mempermainkannya. Terbuka lagi, menutup lagi. Masih dipimpin papanya Ivan, mereka mendekati pintu itu.
Papa hendak meraih gagang pintu itu, namun urung karena mendadak pintu itu terkoyak dan terbang ke dalam ruangan, bahkan ia hampir ikut terhisap oleh putaran angin yang menerbangkan pintu itu.
Ivan lihat di balik pintu yang terkoyak itu ruangan yang cukup luas dengan langit-langit berupa mendung yang bertumpuk dengan kilatan petir yang tidak hanya sekali. Seolah Ivan melihat badai di dalam ruangan. Hanya saja, yang paling menarik perhatian Ivan adalah sebuah lingkaran hitam di tengah ruangan yang kadang berkilauan oleh petir yang menyambarnya. Lingkaran itu melayang di atas sebuah bentuk bintang yang menyala biru. Angin makin menggila, memporak-porandakan isi ruangan itu.
“Father!” pekik Papa yang membuat Ivan melihat sisi ruangan yang terdapat meja besar dan seorang kakek tua yang menggelantung pada meja itu, berusaha tak terbawa angin.