Ketika Bima dan Ivan sampai di teras mesjid, Bu Sari sudah ada di sana; duduk di teras mesjid dan tampak heran sekaligus kaget melihat Bima membawa teman. Bu Sari berdiri menyambut mereka.
“Itu ibumu?” bisik Ivan kepada Bima.
Bima mengangguk. Hanya mengangguk.
“Temanmu, Bim?” tanya Bu Sari seraya tersenyum.
“Saya Ivan, Bu. Teman sebangku Bima,” ujar Ivan memperkenalkan diri, agak membungkuk sesopan mungkin.
Sementara Bima diam saja. Ia tidak pernah memperkenalkan siapapun kepada ibunya. Ia merasa canggung.
“Duh, Nak Ivan. Maaf ya, bisa bertemu cuma di teras mesjid. Biasanya saat ini Bima suka makan siang di sini. Jadi sekarang makan siangnya berbagi, ya. Nggak apa-apa, kan Bim?” Bu Sari berpaling ke Bima.
“Eh, ng-nggak usah, Bu—” ujar Ivan.
“Jangan begitu, Nak Ivan. Beri kami kesempatan beramal baik,” potong Bu Sari, tersenyum, “Ibu belum pernah menjamu tamu. Nggak apa-apa, kan? Atau Nak Ivan tidak suka Nasi Padang?”
Agak gelagapan Ivan menjawab, “Tidak—eh, umm, saya suka, Bu, tapi—”
“Nah, bagus kalau begitu. Kamu sudah sholat, Bim?”
“Belum,” jawab Bima.
“Kalau Nak Ivan?”
“Umm, saya bukan muslim, Bu.”
“Oh, kalau begitu Ibu temani dulu. Bim, sana sholat dulu.”
Bima mengangguk, lalu membuka sepatu dan pergi ke tempat wudhu.
“Maaf, ya. Ibu cuma bisa menawarkan duduk di teras mesjid,” ujar Bu Sari.
“Tidak apa-apa, Bu,” jawab Ivan seraya duduk di teras.
Bu Sari pun duduk di samping Ivan. “Nak Ivan tinggal di mana?”
“Umm, saya baru datang dari Jakarta, Bu. Jadi belum hapal nama-nama tempat di Bandung. Tapi, tidak terlalu jauh—tidak dekat juga sih; kira-kira setengah jam pakai mobil.”
“Oh. Sudah bilang sama orang tua mau main sama Bima?”
“Hmm, mereka… sudah tiada, Bu. Tapi saya sudah bilang sama Bibi. Saat ini Bibi sedang di sekolah; ada urusan dengan Pak Ridwan,” jawab Ivan sambil merunduk, tidak berani menatap Bu Sari.
“Oh, maaf.”
Ivan hanya tersenyum dan tampak canggung. Dia merasa telah berbohong. Semua orang telah menganggap orang tuanya telah meninggal, dan Ivan bisa mengerti akan sulit dipercaya kalau ia ceritakan apa yang sebenarnya terjadi terhadap Mama dan Papa—juga kakaknya. Ivan sangat mengerti karena pernah mengalaminya. Ia pernah menceritakan kejadian itu saat polisi datang di menara kakeknya empat tahun silam. Ia bercerita seadanya, namun kembali ia ditanyai berulang-ulang dan berulang-ulang seolah apa yang ia ceritakan bukan kejadian yang sebenarnya. Sampai kemudian, kakaknya menyela dan meyakinkan dirinya untuk merahasiakan apa yang sebenarnya terjadi. Hilangnya Papa dan Mama adalah urusan mereka berdua; mengembalikan Papa dan Mama adalah misi mereka berdua. Dan sekarang menjadi misi dia sendiri—berdua dengan Bima kalau Bima bersedia membantu.
“Kamu tahu, Nak Ivan? Ibu saat ini merasa lega. Selama ini sepertinya Bima tidak punya teman, bahkan saat di rumah juga…. Kamu tidak keberatan berteman dengan Bima? Jangan merasa sakit hati, ya. Bagaimanapun, Ibu bisa melihat kalau Nak Ivan dan Bima tidak setara. Kami tahu kami bukan orang berada.” Bu Sari menatap Ivan dan tampak jelas mencoba menangkap respon Ivan, mau baik atau tidak.
“Saya tidak keberatan, Bu. Memang sih awalnya Bima agak ketus dan kurang bersahabat. Tapi saya tahu dia baik. Bima anak yang baik.”
Tampak sorot mata Bu Sari menjadi menerawang dan kemudian beliau bergumam, setengah berbisik,“Ya, dia anak yang baik…. Entah apa jadinya Ibu tanpanya.”
Ivan tertegun dan seketika merasa dadanya seolah diremas. Sulit ia akui, tapi ia juga ingin ibunya berkata seperti ibunya Bima. Ma? Pa? Bagaimana keadaan kalian? Kalian di mana?Apa Kakak sudah menemukan kalian?
Mereka terdiam sesaat, sampai terdengar langkah Bima mendekat.
“Nah, Ibu pergi dulu. Kalian makan nasi padangnya,” kata Bu Sari seraya beranjak. “Jangan lupa cuci tangan dulu.”
“Ibu sudah makan?” tanya Bima.
“Sudah.”
Bima mengerenyit tidak percaya.
“Tenang saja, Bim,” Bu Sari tersenyum. “Sudah, ya, Ibu kerja lagi. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam,” jawab Bima. Ia tatap punggung ibunya yang menjauh.
“Ibumu kerja di mana?” tanya Ivan.
Bima duduk terlebih dahulu sebelum menjawab, “Di laundry, di perumahan dekat sini.” Ia buka kantung plastik yang ditinggalkan ibunya dan mengeluarkan sebungkus besar paket nasi khas Masakan Padang.
“Kamu saja yang makan,” kata Ivan.
“Supaya aku dimarahi sama ibuku? Jangan kejam gitu. Makan saja sebisa kamu, sisanya aku habiskan,” tandas Bima. “Ayo cuci tangan dulu.”
Bima beranjak, sementara Ivan mesti membuka sepatu dulu.
Setelah cuci tangan, mereka duduk bersila, saling berhadapan, menghadapi sebungkus Nasi Padang.
Sambil membuka bungkusnya, Bima bertanya, “Jadi apa rencana kamu sebenarnya?”
Ivan terdiam sesaat, “Kamu tahu? Semua orang menganggap kedua orang tuaku sudah meninggal. Tidak ada yang percaya kalau aku ceritakan yang sebenarnya.”
“Tentu, aku bisa mengerti,” tanggap Bima seraya kemudian berdoa dalam gumaman; doa sebelum makan.