FATEBENDER

DMRamdhan
Chapter #8

Nasihat

Malam hari, gerimis turun, membawa hawa dingin yang tidak biasa. Rintiknya merata menyirami tumpukan sampah dan perlahan mengepul asap di beberapa tempat yang entah berasal dari reaksi apa. Tidak ada yang peduli. Sampah tetap sampah. Yang dibuang; yang kehilangan makna; yang kehilangan nilai. Teronggok, menumpuk, dilupakan. Meski memang, ada semacam pepatah yang mengatakan, “Sampah seseorang bisa jadi harta karun bagi orang lain.” Dan untuk jam-jam di gelap malam ini, sampah-sampah itu menjadi harta karun bagi kaum tikus.

Sulit melihat mereka dalam gelap, tapi yakinlah mereka ada. Tikus-tikus itu. Ada banyak macam tikus di sana; besar, kecil; tua, muda; penguasa, jelata. Berkeliaran seolah tanpa arah, tapi sebenarnya setiap gerak mereka memiliki tujuan—lapar mendorong mereka memiliki tujuan. Tujuan awal mungkin hanya memuaskan rasa lapar, tapi kemudian rasa lapar itu kembali dan terus berulang mendorong sebagian dari mereka membangun tujuan lebih yang menjamin terpuaskannya lapar; penguasaan.

Tiga ekor tikus mengerumuni seonggok karung sampah. Ragu, mereka mendekat dan mulai menggerogoti. Tapi mendadak mereka kocar-kacir ketika seekor tikus lain yang besar menyerang dan sempat melukai salah satunya. Dia tidak mengejar mereka karena tahu mereka akan kembali, atau dia berharap mereka kembali dan memperhatikan dirinya makan sendiri untuk menunjukkan kekuasaannya. Jika ia telah puas, ia akan biarkan mereka menghabiskan sisanya. Dia memang penguasa dan telah lama berkuasa… atau mungkin telah terlalu lama.

Sepasang mata tikus lain telah lama memperhatikan. Tikus yang lebih besar dan lebih muda. Tikus itu mendekat.

Dia menyadari kedatangan tikus itu, langsung mendesis marah dan seketika menerjang. Tikus itu menghindar dan balas menerjang, menggigit dan mencakar. Decit dan desis bersahutan mengiringi serangan satu sama lain; tak sudi kalah, tak sudi menyerah. Tapi kemudian dia menyadari keunggulan lawannya. Takut mati mengalahkan ego tak mau kalahnya; ia berbalik arah dan lari. Sempat dikejar, dan mendecit keras saat pantatnya dicakar dan digigit. Kekuasaan telah beralih dalam tempo yang sangat singkat. Decit keputusasaan melengking dan kemudian memudar menjadi decit lirih tikus tua yang terluka dan menunggu mati.

Bima mendengar decit melengking itu, tapi tidak tahu apa yang terjadi. Atau sebenarnya tidak peduli karena cukup sering Bima mendengar decit semacam itu. Bima juga tidak tahu skema apa yang berlaku dalam peri kehidupan tikus, lebih-lebih Bima masih berada dalam lindungan ibunya yang tak sudi anaknya terpapar kenyataan pahit hidup semacam itu. Tapi Bima belajar. Bima anak yang cerdas dan tahu kalau dia tidak akan selamanya berada dalam lindungan ibunya. Kenyataan hidup akan menerpanya, mau manis atau pahit.

“Kamu belum tidur, Bim?” tanya Bu Sari yang duduk di tanah beralaskan kardus bekas. Beliau menghadap sebuah tungku kecil yang terbuat dari kaleng biskuit bekas; potongan karet dari ban bekas menyala dalam tungku itu, memberi mereka sedikit kehangatan. Bu Sari menjulurkan tangannya, mengusap kepala Bima yang berbaring di dipan memunggungi ibunya.

“Belum…. Mungkin sebentar lagi,” jawab Bima.

“Ada yang kamu pikirkan?”

Bima terdiam sesaat. “Bibinya Ivan mengundang Bima main ke rumahnya,” ucapnya lirih.

“Lalu, kamu bilang apa?”

“Bima mesti minta ijin dulu sama Ibu.”

“Lalu, bibinya Ivan bilang apa lagi?”

“Katanya memang harus minta ijin dulu sama Ibu.”

Sejenak Bu Sari terdiam, “Kamu mau main ke rumahnya Ivan?”

Bima tidak segera menjawab, “Bima tidak tahu, Bu.”

“Boleh saja kamu main ke rumahnya, tapi jaga sopan santun, ya?”

Bima terdiam sesaat, “Apa tidak apa-apa, Bu? Bima makin akrab sama Ivan?”

Bu Sari tersenyum. Beliau usap-usap terus kepala Bima. “Allah menciptakan kita berbeda-beda, Bim. Berbeda suku bangsa, bahasa, kaya, miskin; supaya saling mengenal. Tidak apa-apa kamu akrab dengan Ivan, tapi kamu juga mesti mengerti kalau manusia banyak keterbatasannya, dan kadang… Allah menguji dengan memperlihatkan sisi mengecewakan dari manusia. Jika suatu saat nanti Ivan mengecewakan kamu, kamu jangan sakit hati. Kamu mengerti?”

“Ya, Bu.”

Bu Sari menarik tangannya dan merapatkan kain sarungnya; mengisolasi diri dari dingin. Api di tungku mulai meredup.

“Tidurlah, Bim. Jangan sampai besok kesiangan,” ucap Bu Sari lirih.

Terdengar Bima beringsut, dan tak lama kemudian terdengar dengkur halus Bima.

Bu Sari merunduk. “Oh Allah, bahagiakan putraku….,” bisik beliau lirih hampir tak terdengar, tertelan gerimis yang kian deras.

Sementara itu, di belasan kilometer dari Bima dan Bu Sari, gerimis juga menyirami sebuah rumah bertingkat dua. Rumah yang tidak terlalu besar, namun kesan mewah terasa oleh pagar besi yang tinggi dan taman kecil di antara tempat parkir mobil dan teras rumah. Di atas tempat parkir mobil itu terdapat jendela kamar; kamar yang ditempati oleh Ivan.

Ivan masih terjaga. Duduk di meja belajarnya, menghadap buku catatan dengan sebatang pensil di tangan kanan. Ia tampak memberi tiga tanda tanya pada buku catatannya yang ternyata sebuah daftar.

 

1.     Batang besi lurus 3 m (sebaiknya berupa pipa)

2.     Stoneholder ???

3.     Kawat baja

 

Setelah memberi tanda tanya itu, ia tampak berpikir keras. Cukup lama sampai kemudian ia dikejutkan oleh ketukan di pintu dan suara pintu di buka.

“Belum tidur, Van?” tampak Bi Anita melongok dari celah pintu itu.

“Belum,” jawab Ivan.

“Sebaiknya cepat tidur. Jangan sampai besok kesiangan… Umm, ada kemungkinan besok Bibi perlu pergi lebih pagi. Nggak apa-apa kamu ke sekolah juga lebih awal?”

“Nggak apa-apa, Bi,” jawab Ivan seraya beranjak dari meja belajar menuju tempat tidur.

Bi Anita menghampiri dan menyelimuti Ivan. “Sabtu nanti, pulang sekolah coba kamu ajak Bima main ke sini. Sepertinya bakal menyenangkan.”

Ivan mengangguk. Hanya mengangguk.

“Baiklah. Tidur yang nyenyak.” Lalu Bi Anita meninggalkan Ivan. Mematikan lampu sebelum keluar kamar.

Gelap kini menyelubungi Ivan, namun tidak terlalu gelap. Tirai jendela masih terbuka, mengijinkan cahaya lampu jalan, lampu teras rumah, lampu teras tetangga memasuki kamar Ivan.

Kamar Ivan tidak besar. Dinding yang masih mengeluarkan aroma cat yang masih baru memberi tanda kalau kamar ini sempat terbengkalai. Lebih-lebih, meja belajar, lemari dan tempat tidur jelas terlihat baru. Bisa dikatakan baru Ivan yang menempati kamar ini.

Ivan beringsut dan memutar badan, menghadap dinding. Ia memang telah berbaring di tempat tidur, tapi tangannya masih memegang pensil. Ia geser bantal yang merapat ke dinding dan memperlihatkan coretan kecil di dinding; sebuah bentuk bintang dan tulisan berbunyi, “FATEBENDER”. Ivan pertebal coretan di dinding itu. Ia gores pelan-pelan ujung pensilnya tanpa tergesa-gesa. Cukup lama sampai kantuk menangkap kesadarannya dan Ivan jatuh tertidur.

Ivan tidak pernah menyadari kalau Bi Anita masih berdiri di depan pintu kamarnya, dan tangannya masih memegang gagang pintu.

“Cep Ivan sudah tidur, Neng?”

Lihat selengkapnya