FATEBENDER

DMRamdhan
Chapter #9

Cerita Leluhur

Ivan sebenarnya tidak menyangka kalau Bima suka menulis cerita. Tapi, yang paling merebut perasaan Ivan adalah melihat sahabat barunya itu menulis di balik bungkus rokok bekas. Sedih, miris, tapi sekaligus kagum.

Ivan tatap Bima yang tampak tenggelam dalam khayalnya. Tangan Bima menggores-goreskan kata di permukaan putih belakang bekas bungkus rokok; tidak cepat, namun terlihat jelas Bima menikmatinya. Ivan pun menikmati cerita Bima meski masih sangat sedikit. Ia kembali menatap lembaran bungkus rokok di tangannya, yang telah ia baca.

Seperti biasa, saat istirahat mereka berada di pohon kersen di pinggir sekolah.

Ketika mereka keluar dari kelas, Bima bertanya, agak berbisik, “Kamu mau cerita sekarang? Soal… katalis itu?”

“Mungkin nanti setelah kamu sholat Jum’at,” jawab Ivan.

Bima menanggapi dengan mengangkat bahu. Lalu, merogoh bagian dalam kemeja seragamnya. Ia merogohnya tapi tidak mengeluarkan apa-apa; tangannya tetap di dalam kemejanya seolah menggenggam dan menyembunyikan sesuatu yang berharga di dalamnya. Ketika hampir sampai di pohon kersen itu, Ivan melihat Bima mengeluarkan lembaran kertas tebal bungkus rokok bekas dari balik kemeja seragamnya itu.

“Boleh aku lihat?” pinta Ivan.

Bima menatapnya. Ragu.

“Ayolah. Aku tidak akan menertawakannya!” seru Ivan seraya menjulurkan tangannya.

“Justru karena kamu bilang begitu aku jadi yakin kamu pasti akan menertawakannya,” balas Bima seraya meletakan beberapa lembar yang telah ia tulisi ke telapak tangan Ivan. “Nggak banyak. Aku baru mulai.”

Lalu, mereka naiki pohon kersen, dan setelah nyaman duduk di batang masing-masing. Ivan mulai membaca cerita Bima, sementara Bima mulai menulis.

 

 “Lain kali aku akan lebih waspada, Nak,” kata ayahnya setelah berdiri. Beliau tatap anaknya dengan perasaan bangga.

“Aku juga,” jawab Ahmad seraya menyarungkan pedangnya.

Ayahnya tertawa cukup keras. “Ayo kita pulang. Jangan biarkan ibumu cemas.”

Lalu sosok tegap itu bersiul nyaring yang kemudian diikuti derap langkah dua kuda yang mendekat.

“Lain kali ajari cara memanggil kuda seperti itu, Yah,” pinta Ahmad seraya meraih tali kekang kudanya saat kudanya telah dekat.

“Satu-satu, Nak. Satu-satu.”

Sosok tegap ayahnya melompat dan menaiki kudanya.

Ahmad pun demikian. Mereka pacu kuda mereka menuju menembus malam berbintang dengan purnama yang menerangi jalan mereka menuju tebing cadas di mana mereka akan temukan celah yang akan mengantar mereka ke desa. Namun, lepas dari celah itu, mereka terkejut oleh kepulan asap yang membumbung di cakrawala malam. Cakrawala di mana desanya berada.

Ayah dan anak itu saling melempar tatapan cemas sebelum memaksa kudanya berlari dengan kecepatan penuh. Mereka capai satu puncak bukit tandus dan melihat desa mereka terbakar—dibakar! Tampak oleh mereka bayangan puluhan prajurit dengan helm bertanduk menyerang, membunuh, membakar dan menjarah.

“A-ayah!” ucap Ahmad tertahan. Takut, marah dan sedih bercampur baur. Tangannya segera memegang gagang pedang.

Beberapa dari parjurit bertanduk itu menyadari kehadiran mereka. Salah satunya dengan cepat merentangkan busur dan melepas anak panah. Anak panah itu melesat dan akan mengena persis antara dua mata Ahmad kalau saja ayahnya tidak dengan sigap menangkap anak panah itu.

“Ahmad, pergi ke Baraqah dan beri kabar Sang Sultan!” pekik Ayahnya seraya menghunuskan pedang.

“Tapi, Ayah—”

“Jangan membantah! Cepat! Sebelum terlambat!”

Ahmad membalikkan arah kudanya dan memacunya cepat, meninggalkan ayahnya yang juga memacu kudanya menuruni lembah, sambil mengangkat pedangnya, menuju pertempuran.

Ahmad merunduk dalam, hampir menyentuhkan keningnya ke leher kudanya. Oh, Allah, lindungi ayahku. Lindungi ibuku. Aku mohon!

 

Tangan Bima terhenti dari menulis karena Ivan beranjak.

“Tunggu sebentar,” kata Ivan seraya turun dari pohon.

Bima mengerenyit heran, tapi membiarkannya dan kembali pada tulisannya.

 

Ahmad memacu kudanya sehari penuh. Malam berganti pagi dan ia berhenti untuk memberi makan dan minum kudanya. Ia pun beristirahat sejenak. Setelah melihat kudanya telah segar kembali, ia menaikinya dan memacunya cepat menuju Ibu Kota Baraqah, tempat Sang Sultan berada.

Namun, sepertinya Ahmad telah terlambat, karena ketika ia tiba di sana, kota besar itu telah dikepung oleh ribuan pasukan bertanduk. Asap mengepul di beberapa tempat di benteng yang mengelilingi kota megah itu, bahkan sebagian ada yang hampir runtuh oleh hantaman batu dari ketapel-ketapel raksasa pasukan bertanduk.  

 

Bima rasakan pohon bergoyang dan melihat Ivan kembali menaiki pohon. Ia lihat Ivan membawa sesuatu, selain lembaran ceritanya.

“Ini,” ucap Ivan seraya menjulurkan tangannya yang memegang sebuah buku tulis.

“Apa itu?” tanya Bima heran.

“Pindahkan ceritamu ke sini,” jawab Ivan. “Jangan membantah!”

“A-aku tidak bisa menerimanya.”

“Aku suka cerita kamu. Aku nggak mau bibiku menyangka aku mulai merokok melihat aku membawa-bawa bungkus rokok itu,” tandas Ivan seraya makin menyodorkan tangannya, memaksa Bima untuk menerimanya. “Kamu juga bisa disangka seperti itu.”

“A… terima kasih.” Bima tergagap, menerima buku tulis itu.

“Kalau nanti sudah penuh, beri tahu aku,” ucap Ivan seraya kembali ke batang pohonnya dan duduk.

“Terima kasih banyak. I-ini… benar-benar berarti,” ulang Bima tulus.

Ivan hanya mengangkat bahu. “Aku tahu,” ucapnya, terkesan acuh tapi ia rasakan kehangatan dalam dadanya yang telah lama tidak ia rasakan—atau belum pernah ia rasakan sebelumnya? Ivan tidak ingat, hanya saja, pernah suatu ketika ayahnya memperbaiki mobil dan menjatuhkan sebutir baut dan Ivan memungutnya dan memberikannya kepada ayahnya dan ayahnya berterima kasih, seketika Ivan merasakan kehangatan yang mirip—mirip tapi tidak sama.

Bel berbunyi. Istirahat telah berakhir dan mereka pun turun dari pohon.

Lihat selengkapnya