FATEBENDER adalah sebuah buku, dan buku itu hanya sekedar buku kalau tidak ada lima butir berlian yang tampak sama persis. Berlian-berlian itu pun hanya akan menjadi batu mulia yang berpotensi terpisah-pisah kalau tidak ada buku itu sebagai petunjuk penggunaan. Bima menyadari itu ketika melihat Ivan menjelaskan beberapa gambar di dalam buku itu.
“Jadi yang paling penting dari pentagram itu sudut-sudut lancipnya?” kata Bima menyimpulkan penjelasan Ivan sambil menunjuk gambar sebutir berlian yang hendak dipasangkan pada semacam dudukan yang membuat berlian itu berdiri dengan sudut dan sisi berlian saling berhadapan dengan sudut dan sisi berlian lainnya di tiap titik lancip pentagram itu. Gambar itu sebenarnya kurang jelas karena digambar tangan menggunakan pensil. Meski ada tulisan penjelasannya, Bima tidak terlalu paham Bahasa Inggris.
“Ya. Jadi base… atau dudukan katalis itu benar-benar penting dan… critical,” tanggap Ivan seraya menutup buku FATEBENDER itu.
Bima termenung. Berpikir. Tanpa sadar ia menyentuh dagunya dengan tangan kanan yang masih belum cuci tangan setelah makan. Beberapa butir nasi menempel di dagu Bima.
Ivan mendenguskan tawa. “Kita cuci tangan dulu,” saran Ivan seraya memasukan buku FATEBENDER itu ke dalam tas dengan menggunakan tangan kiri.
“Kamu menyalin buku itu?” tanya Bima setelah ikut beranjak. “Kalau-kalau hilang. Untuk berjaga-jaga saja.”
Ivan menggeleng. “Tidak terpikir olehku.”
“Seharusnya kamu menyalinnya. Atau bahkan kamu bisa menerjemahkannya ke Bahasa Indonesia.”
Ivan termenung. “Mungkin kamu benar. Tapi… itu butuh waktu lama. Aku tidak punya waktu.”
“Kalau aku pinjam buku itu, boleh? Aku ingin mempelajarinya,” kata Bima.
Ivan tampak ragu. Sangat ragu. “Entahlah… aku belum pernah berpisah dengan buku itu,” ucapnya pelan.
Bima mengangkat bahu. “Tidak apa-apa, kalau kamu keberatan. Aku bisa mengerti. Aku juga tidak terlalu mengerti bahasa Inggris. Bakal lama untuk bisa mengerti.”
Setelah cuci tangan, mereka kembali ke teras mesjid.
Ivan kembali meraih buku FATEBENDER dan membukanya. “Seperti kata Pak Ridwan, pilihannya menempa lelehan besi atau cor semen beton.”
“Kalau harus logam tentunya cor besi pilihan satu-satunya,” komentar Bima.
“Ketika aku dan kakakku membangun pentagram itu, soal logam itu… terasa penting karena, tentu saja, logam adalah konduktor paling baik. Tapi, kakakku sendiri bilang kalau sebenarnya yang terpenting dari pentagram itu adalah sudutnya. Pipa-pipa besi yang sama panjang itu juga hanya untuk memastikan sudutnya tepat karena… ya, karena pipa besi itu sama panjang.”
“Boleh aku lihat?” pinta Bima untuk melihat buku FATEBENDER itu.
Agak sungkan, Ivan menyerahkan buku itu.
Bima membuka tiap halaman buku itu dengan cepat. Sesekali berhenti ketika ada gambarnya. Sempat terlihat selembar foto keluarga Ivan, tapi segera Bima lewat; khawatir melukai perasaan Ivan.
“Kamu tahu?” ucap Bima lirih.
“Apa?”
“Buku ini ditulis oleh satu orang, yaitu kakekmu. Ya, kan?”
“Ya. Lalu?”
“Sementara berli—batu-batu itu kakek buyutmu yang mendapatkannya dan mewariskannya kepada kakekmu. Berarti, kakekmu menyalin segala informasi yang ada dari riset ayahnya—dari kakek buyut kamu ke buku ini.”
Ivan mengerenyitkan kening, “Lalu?”
“Kakekmu tidak melihat secara langsung yang terjadi di desa kuno di Mesir itu, tapi berhasil membangun portal itu; juga kamu dan kakak kamu. Dan sekarang aku melihat berli—batu-batu itu….” Bima tampak berpikir keras. Keningnya mengerut hingga dua alisnya menyatu di tengah.
“Apa tujuan perkataanmu, Bim?” tandas Ivan.
Bima mengacungkan telunjuknya, “Coba bayangkan kalau kamu ternyata ikut terhisap masuk portal itu bersama kakak kamu. Apa yang terjadi dengan berli—batu-batu itu?”
Ivan tercenung.
Bima melanjutkan, “Yang intinya—dari cerita kamu—portal itu… sangat liar.”
“Tidak stabil,” koreksi Ivan sambil juga ikut berpikir keras.
“Jadi… hasilnya juga akan… tidak stabil. Akan liar. Tidak bisa disangka-sangka. Kamu yakin mau melakukannya? Bisa jadi malah semakin jauh dari keluargamu?”
Seketika dada Ivan terasa berat. Ada kebenaran dari perkataan Bima, tapi seluruh batin yang ada dalam dadanya berusaha menolak itu. “Tapi aku tidak bisa berhenti! Aku tidak bisa berhenti sekarang!” pekik Ivan tertahan.
“Aku tidak bilang kamu mesti berhenti,” kata Bima agak terperangah melihat reaksi Ivan. “Aku hanya bilang ada baiknya kita lebih tahu lagi tentang ini. Mempelajarinya supaya lebih bisa mengendalikannya.”
Ivan menggeleng-gelengkan kepala. “Tidak. Yang aku perlukan hanya mereplika apa yang telah kakekku dan kakakku lakukan. Aku pernah melihatnya dan aku bisa mengulanginya.”
Bima tatap Ivan, “Dan kalau kamu sudah masuk portal itu, apa kamu bisa mengulanginya? Soalnya batu-batu itu ada di sisi portal ini, ya, kan? Ataukah sebenarnya sudah ada berli—batu-batu itu dan pentagram lain di sisi lain portal itu?”
Ivan tercenung dan merunduk. “Kalau ada… pentagram dan katalis-nya di sisi lain portal itu, kemungkinan kakakku akan mudah untuk kembali,” gumam Ivan pelan dan terkesan pada dirinya sendiri. Tapi kemudian dia mengangkat kepala dan tegas berkata, “Tapi tetap saja aku tidak bisa berhenti! Portal itu memang sekali jalan—bisa jadi aku tidak bisa mengulangnya lagi, tapi aku tetap akan melakukannya!”
“Ya, itu pilihan kamu,” tanggap Bima lirih. “Aku cuma mau bilang… kalau kita bayangkan desa kuno itu. Desa yang jauh dari mana-mana dan tidak punya sumber daya alam apa-apa untuk menjadi alasan desa itu berdiri. Mungkinkah portal itu pernah stabil sehingga siapapun penghuni desa itu sempat bolak-balik lewat portal untuk membangun desa itu? Dan kemudian, bisa jadi, portal itu menjadi liar dan menghisap seluruh warga desa itu.”
Ivan tatap Bima dan tampak dari sorot matanya kalau Ivan baru menyadari hal itu. “Maksudmu… riset kakekku itu… prematur?”
“Prematur?”
“Terlalu cepat. Tidak sempurna. Ada yang hilang.”
“Mungkin. Mungkin seperti itu. Kalau kamu sudah memikirkan semua kemungkinannya, kamu masih yakin akan melakukannya?” tanya Bima.
Ivan menghela nafas sebelum berkata, “Yang aku perlukan hanya mereplika apa yang aku dan kakakku pernah lakukan. Itu sudah cukup.”
Tapi kamu tidak bisa mereplikanya di sini, pikir Bima. Kalau cerita kamu dulu, kamu dan kakakmu membangun portal itu di dalam sebuah gudang tua, di sini tidak ada bangunan macam itu. Tapi Bima tidak mengatakan pikirannya itu. Sepertinya keyakinan Ivan tidak bisa lagi diganggu gugat.
“Omong-omong, kenapa kamu memilih di sini?” tanya Bima. “Di Tempat Pembuangan Sampah ini? Pastinya kamu punya alasan, kan?”
“Di dekat sini ada jalan tol, kan? Aku pernah lewat jalan tol itu. Sempat melihat sebuah bukit sampah dan puncaknya di sambar petir,” jawab Ivan. “Melihat itu aku putuskan membangun portal itu di sini. Lalu, aku lihat peta dan cari sekolah dekat sini.”
“Hm, itu cara aneh memilih sekolah,” dengus Bima.
Ivan tersenyum dan mengangkat bahu.
Mereka terdiam sejenak.
“Bagaimana kalau kita lihat puncak bukit yang pernah aku gambar pentagram di atasnya itu?” usul Ivan.