FATEBENDER

DMRamdhan
Chapter #11

Cerita Cinta

Mendung menggelayut tipis, seolah ragu untuk menjadi hujan. Bergerak perlahan mengikuti angin, entah hendak terurai atau malah semakin memadat. Melihat langit seperti itu, Pak Ridwan pun ragu antara memilih segera pulang atau menunggu hujan. Hanya saja, Ruang Guru yang sunyi mendorong pilihan lebih berat menuju segera pulang. Dan, sepertinya beliau kemudian bersyukur memilih pulang, karena setelah membereskan buku-buku anak muridnya untuk beliau lanjutkan diperiksa di rumah, dan menuntun sepedanya ke gerbang sekolah, beliau melihat bibinya Ivan berdiri dan bersandar di pintu mobil.

Bi Anita tampak tersenyum dan melambaikan tangan. Pak Ridwan mendekatinya.

“Ivan sudah pulang dari tadi,” kata Pak Ridwan.

“Ya, aku tahu. Katanya mau main dulu ke rumah Bima,” tanggap Bi Anita. “Aku hanya datang lebih awal. Siapa tahu ketemu kamu.”

Mendadak wajah Pak Ridwan memerah. “Wah, saya tersanjung.”

Bi Anita tertawa. “Aku yakin banyak guru wanita yang membuatmu tersipu seperti itu.”

“Nggak juga,” jawab Pak Ridwan. Kemudian wajah beliau beralih menjadi serius dan terkesan sedih. “Kebanyakan guru di sini mendekati usia pensiun. Kalau mendadak banyak guru yang serempak pensiun, sekolah ini akan sangat kekurangan guru. Banyak kelas yang akan terabaikan.”

Anita tersenyum lembut, menatap pria di hadapannya itu sambil memiringkan kepala. “Kamu guru yang idealis, ya?”

Ridwan mendengus lemah. “Hanya bersikap realistis. Kita belum lepas dari Krisis Moneter, Orde Baru sudah berakhir, beralih menjadi era ‘Reformasi’,” Dia angkat jemarinya, memberi tanda petik pada kata “Reformasi”. “Dan entah kenapa aku yakin Pendidikan bukan agenda utama yang ada di pikiran mereka yang sedang berebut kekuasaan.”

Anita termenung. “Ya…, sad but true,” gumamnya lirih.

Guru muda itu memasang standar sepedanya, lalu menghampiri Anita dan ikut bersandar ke mobil di samping Anita. “Sad but True, lagu kedua dari album Black-nya Metallica,” gumam Ridwan.

Anita berpaling dan menatap Ridwan. “Aku nggak nyangka kamu suka heavy metal,” seru Anita sambil menyikut lengan laki-laki itu.

“Nggak juga. Aku suka lagu-lagu yang liriknya bagus. Itu saja,” jawab Ridwan.

New blood joins the earth,” Anita memberatkan suaranya meniru suara James Heatfield, vokalis dari band Metallica.

And quickly he subdue.” Ridwan melanjutkan, ikut menyanyikan lagu “Unforgiven” di album yang sama. “Nggak nyangka kamu suka Metallica.”

Through constant pain, disgrace,” Anita terus melanjutkan menyanyi.

The young boy learns their rule….” Ridwan mendadak termenung di akhir bait pertama lagu itu, membuat nyanyiannya keluar dari nada seharusnya. “Mendengar itu, aku jadi terbayang Bima,” katanya.

Anita tersenyum, “Bima anak yang istimewa, ya?”

“Tapi tidak mirip dengan Bima.”

Anita mendenguskan tawa, “Bima tidak mirip Bima? Itu lucu.”

“Kamu tahu Bima yang di tokoh pewayangan?” tanya Ridwan tiba-tiba.

“Oh, salah satu dari Pandawa, ya?”

“Ya. Kalau kamu bayangkan tokoh wayang Bima, apa yang segera terbayang? Kamu tahu ciri khasnya?”

Umm, kain kotak-kotak mirip papan catur?” tebak Anita.

“Tepat! Kamu tahu? Itu konon melambangkan karakternya yang… masagi—seperti persegi; rigid, kaku, tidak fleksibel, namun di sisi lain, dia disiplin, teguh pendirian dan menjunjung keadilan. Aku bisa lihat bibit disiplin pada Bima, tapi Bima sangat fleksibel, tidak kaku, dan bisa dengan cepat beradaptasi dengan keadaan.”

“Ah, ya, aku mengerti. Bima yang tidak mirip dengan Bima,” tanggap Anita. “Tapi itu bagus, kan? Fleksibel dan cepat beradaptasi.”

“Ya, asal dia mendapat bimbingan yang baik. Kalau tidak—a’udzubillah, fleksibilitasnya akan membuatnya mudah kehilangan nilai dan prinsip.” Perkataan Ridwan meredup pada lamunan suram, dan sebagai guru, kita punya andil membentuk itu—membentuk integritas mereka! Tapi dengan kondisi negeri seperti ini….

Huh, kamu harus belajar santai, Pak Guru!” dengus Anita. “Sudah tinggalkan, tinggalkan saja semua persoalan, waktu kita sejenak tuk membebaskan pikiran….” Anita mulai mengangkat-angkat tangan dan jemarinya bak seorang rapper, mengikuti lirik lagu “Bebas” milik Iwa K. “Dan biarkan… biarkan terbang tinggi sampai melayang jauh menembus awan….”

Ridwan tersipu malu dan hanya bisa menatap dokter cantik itu mulai menari.

Bebas…, lepas…, kutinggalkan semua beban di hatiku, melayang kumelayang jauh. Melayang dan melayang….” Sesekali Anita menyikut lengan Ridwan, memancingnya untuk ikut menari. “Ayo, Pak, ini akhir pekan.”

Umm, besok Ivan masih sekolah. Aku masih ngajar,” tanggap Ridwan.

Anita langsung cemberut dan menurunkan tangannya, “Huh, kamu tidak menyenangkan!”

Ridwan tertawa. Tertawa lepas sebelum berkata, “Oh, aku sungguh suka kamu. Kamu tahu itu?”

 Anita terpana, menatap guru muda itu dan wajahnya seketika terasa panas. Ia juga melihat Ridwan mendadak salah tingkah seolah baru sadar apa yang baru saja ia ucapkan. Wajahnya memerah.

Anita berpaling dan merunduk. “A… aku juga suka… kamu,” ucapnya lirih, agak gugup. Tapi kemudian ia lepaskan sandaran punggungnya dari pintu mobil dan berdiri menghadap Ridwan. “Gosh! Aku pikir aku akan mengatakannya saat kita makan malam atau semacamnya! Bukannya di pinggir jalan sambil menunggu keponakan pulang sekolah!”

“Ma-maaf.”

“Tapi, ini tidak mempengaruhi judgment kamu sebagai guru terhadap Ivan, kan?” Anita mengacungkan telunjuknya.

“Hey, aku professional!” sanggah Ridwan.

Oh my God!” pekik Anita seraya menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Dadanya terasa berdebar-debar, tapi… ia suka perasaan ini.

“Maaf. A-aku mungkin kelepasan bicara,” kata Ridwan, “tapi aku tidak bisa menariknya, karena itulah yang aku rasakan. Aku tidak bisa mangkir dari perasaanku sendiri.”

Anita menurunkan tangannya dan menatap Ridwan. Ia menatapnya dan tersenyum.

Ridwan pun menatapnya. Juga tersenyum.

“Kamu punya nomor telepon?” tanya Anita.

“Ya, tentu,” jawab Ridwan seraya meraih pena dari saku kemejanya. Sementara Anita mengeluarkan selembar kartu nama dari saku blazer bagian dalamnya dan memberikannya kepada Ridwan. Lalu, Ridwan menuliskan rangkaian angka di balik kartu nama itu sebelum mengembalikannya kepada Anita.

Anita simpan kembali kartu nama itu di balik blazernya. Lalu, ia beralih untuk bersandar lagi ke pintu mobil di samping Ridwan.

“Kamu yang terburuk, kamu tahu itu?” kata Anita seraya menyikut lengan Ridwan.

Ridwan mengerenyit, “Memangnya berapa cowok yang pernah nembak kamu?”

“Sejauh ini… tidak terhitung,” jawab Anita, mengulum senyum.

“Kalau begitu, aku akan berusaha lebih baik lagi. Siapa tahu aku yang paling bertahan lama di hatimu.”

Anita berpaling, menyembunyikan rona merah di wajahnya.

Mereka kemudian terdiam. Terdiam cukup lama.

“Lalu, apa sekarang?” tanya Anita lirih.

“Bagaimana Ivan di rumah?” tanya Ridwan. “Apa dia susah makan? Dia terlalu kurus untuk anak seusianya, bukan?”

Anita termenung sejenak. “Nafsu makannya terbilang normal, tapi dia sering tidur larut malam. Entah apa yang dikerjakannya; aku sangsi kalau dia belajar atau semacamnya. Setiap aku tanya dia selalu bersikap… defensif—menjaga jarak, sekuat apapun aku berusaha mendekatinya.”

“Mungkin, dia terpikir kamu merebut posisi ibunya,” gumam Ridwan lirih. Termenung dan berpikir.

“Mungkin seperti itu. Tapi, Demi Tuhan, aku tidak akan pernah bisa mengambil posisi Athena!—Itu nama kakakku. Tapi dia juga mestinya tahu kalau aku juga menyayanginya, kan?”

Ridwan mengangguk paham.

“Bagaimana dia di sekolah? Apa dia bermasalah? Apa dia punya teman selain Bima?” tanya Anita.

Ridwan menggelengkan kepala. “Sepertinya Ivan dan Bima sedang mengerjakan sesuatu. Tadi pagi mereka bertanya bagaimana menyambungkan dua bahan yang berbeda, dan harus sangat kuat. Aku bilang cor besi atau beton.”

“Itu aneh. Kamu tanya untuk apa?”

“Ya, aku tanya, tapi mereka menghindar. ‘Cuma penasaran,’ katanya. Waktu istirahat aku sering lihat mereka pergi ke pohon kersen di samping sekolah. Itu sebelah sana,” Ridwan menunjuk ke salah satu sudut atap gedung sekolah yang terlihat puncak dari pohon kersen itu. “Tadi aku sempat mengintip mereka. Mereka naiki pohon itu dan duduk di batangnya. Ivan membaca dan Bima menulis.”

“Itu aneh. Apa mereka pernah tertarik main seperti anak-anak yang lain? Main bola misalnya?”

Ridwan menggelengkan kepala, matanya tampak menerawang, mengingat-ingat. “Kalaupun pernah, aku tidak melihatnya.”

Anita termenung sesaat. “Apa ini normal?”

“Tergantung definisi apa itu normal. Kita nongkrong di pinggir jalan depan sekolah SD, apa ini normal?”

Anita tersenyum dan menyikut lengan Ridwan. Lalu tersadar akan jam di tangannya dan kemudian berkata, “Sebaiknya aku panggil Ivan. Boleh pinjam telepon sekolah?”

“Tentu.” Ridwan raih sepedanya, melepas standar dan kembali menuntunnya masuk gerbang sekolah, diikuti oleh Anita.

“Kamu tiap hari pakai sepeda?” tanya Anita sambil mengimbangi langkah Ridwan.

“Sejak BBM naik,” jawab Ridwan. “Tapi, alhamdulillah, terasa manfaatnya. Rasanya jadi tidak mudah sakit.”

“Sesekali sakit nggak apa-apa. Biar nanti aku yang periksa,” ucap Anita sambil mengulum senyum. Ia tatap Ridwan, menunggu respon.

Wajah Ridwan memang memerah, tapi matanya memicing menatap Anita, “Nggak, aku nggak akan terjebak!” serunya.

“Oh, ya? Muka kamu sudah merah gitu! Itu saja sudah cukup bagiku,” dengus Anita diikuti kekeh tawa kemenangan.

Lihat selengkapnya