Sabtu pagi Bima tampak lebih bersih dari biasanya. Kemeja seragamnya lebih putih, celana merah seragamnya lebih menyala. Tidak baru, tapi, Jumat sore Bima langsung pergi ke laundry tempat ibunya bekerja; setelah meninggalkan sekolah, setelah meninggalkan Pak Ridwan. Ia utarakan niatnya kepada Bu Sari kalau hari Sabtu sepulang sekolah ia akan main ke rumah Ivan. Bima juga berikan kartu nama Bi Anita kepada ibunya. Melihat kartu nama itu, Bu Sari langsung menyuruh Bima ganti baju supaya seragamnya bisa segera dicuci di tempat kerjanya.
“Kamu akan berkunjung ke rumah dokter, Bim! Kamu harus bersih!” kata Bu Sari agak terdengar panik. Beliau langsung menemui majikannya untuk minta ijin mencucikan baju seragam Bima.
Bima menghela nafas. Ia melangkah keluar dari lubang di tembok beton. Lebih hati-hati dari biasanya. Ibunya berpesan jangan sampai sepatunya kotor kena sampah atau menginjak genangan lumpur. Apa ini tidak berlebihan? pikir Bima.
Sampai di sekolah, ia berpapasan dengan Pak Ridwan di gerbang. Tampak wali kelasnya itu turun dari sepedanya.
“Assalamualaikum, Pak,” kata Bima memberi salam sambil agak membungkuk hormat.
“Waalaikumsalam,” jawab Pak Ridwan sambil tersenyum. “Kamu terlihat cerah, Bim. Tidur kamu nyenyak, ya?”
Bima agak terperangah. Entah Pak Ridwan tidak menyadari kondisi seragamnya, atau pura-pura tidak sadar untuk meledek Bima, Bima tidak tahu. Bima hanya mengangguk.
Lalu, Pak Ridwan merangkul bahu Bima sambil menuntun sepedanya; bersama-sama memasuki gerbang sekolah. Namun setelah melewati gerbang, Pak Ridwan berhenti melangkah dan melepas tangannya dari bahu Bima, Beliau meraih sesuatu dari tas ranselnya.
“Ini, Bim. Buat kamu,” kata Pak Ridwan seraya menyerahkan sebuah botol plastik berisi cairan merah muda yang tampak kental.
Jus jambu?
Bima raih botol itu tanpa perasaan sungkan, tapi kemudian dia sadar kalau itu agak kurang ajar.
“Eh, anu, ma-maaf. Terima kasih banyak, Pak,” kata Bima tergagap dan agak cepat.
“Justru Bapak yang berterima kasih. Atas jambunya.” Pak Ridwan tersenyum, tapi kemudian dengan cepat Pak Ridwan menjadi serius. “Bim, boleh Bapak bicara sesuatu yang penting?”
Hati Bima mencelos dan seketika memasang pertahanan. “Ehmm, soal apa, Pak?”
“Kalau kamu perhatikan, cara Bapak mengajar agak berbeda dari guru-guru lain, kan?”
“Ummm, saya kurang… memperhatikannya, Pak.”
“Yah, bagaimanapun, Bapak sadari kalau Bapak berusaha sedikit lebih berinovasi dalam menyampaikan pelajaran. Dan Bapak perhatikan, kamu berhasil mempertahankan nilai kamu di angka tujuh. Bapak harap kamu bisa lebih berusaha lagi…, mungkin bisa lebih bervariasi, ada yang tujuh, delapan, atau bahkan sepuluh. Mungkin seperti ini; di catur wulan sekarang kamu bisa mencapai delapan di Matematika, misalnya, lalu meningkat lagi di catur wulan berikutnya, Matematika sembilan, ditambah IPA delapan.”
Bima tampak terpekur dan menatap wali kelasnya itu, tapi kemudian ia merunduk. Malu, tapi sekaligus juga senang.
“Terus terang, Bim, Bapak berharap nanti kelas enam Bapak bisa jadi wali kelas kamu juga, sehingga kamu bisa terus meningkatkan nilai kamu hingga sepuluh semuanya—yah, akan Bapak usahakan. Tapi kamu mengerti, kan, maksud Bapak? Nilai kamu yang semakin baik menunjukkan baik pula Bapak menyampaikan bahan ajar Bapak, ya, kan?”
Bima mengangguk, dan tampak tersungging senyum tipis. “Baik, Pak, akan saya usahakan.”
“Bagus!” Lalu kembali Pak Ridwan merangkul bahu Bima. Mereka lanjutkan melangkahi halaman depan sekolah. Tapi, mendadak terhenti oleh suara Ivan dari belakang mereka.
“Bim, tunggu!”
Bima menoleh dan melihat Ivan setengah berlari menghampiri. Pandangan Bima sempat melihat melewati Ivan ke luar gerbang sekolah; menemukan mobil Bi Anita tampak bergerak perlahan, hendak meninggalkan sekolah. Ia melihat di jendela mobil itu Bi Anita melambai, dan Bima agak ragu hendak membalas lambaian itu, tapi ketika melihat Pak Ridwan yang membalas lambaian Bi Anita, Bima urung mengangkat tangan.
“Pagi, Pak,” sapa Ivan kepada Pak Ridwan, tapi dia langsung berpaling ke Bima dan berkata, “Bim, ayo, aku mau tunjukkan sesuatu.”
Ivan langsung berlari mendahului Bima ke kelas. Bima sesaat mengangguk dulu kepada Pak Ridwan sebelum berlari menyusul Ivan.
Melihat dua anak didiknya itu, Pak Ridwan geleng-geleng kepala. Yah, ternyata mereka masih bertingkah seperti anak-anak. Syukurlah, batin Pak Ridwan seraya tersenyum lebar. Tapi senyumnya itu dengan cepat memudar, berganti kekecewaan yang memaki dirinya sendiri. Ada yang penting dibicarakan dengan Bima! Tapi bukan cuma itu, kan?
Pak Ridwan kembali melangkah menuntun sepedanya. Tapi, kamu lihat sendiri! Bima jelas tampak tegang ketika kita bilang mau bicara penting.
Pak Ridwan menghela nafas. Tapi kemudian sorot matanya menerawang, tersadar akan sesuatu.
“Jangan terburu-buru. Buat Bima nyaman dulu,” gumamnya yang kemudian merekah senyum bahagia, karena kata-kata itu sebenarnya milik Anita, yang ia dengar semalam di telepon.
Ooh, sebenarnya nyaris dia tidak bisa menelepon Anita malam itu. Lepas maghrib ibunya memintanya diantar menjenguk teman pengajian yang baru mendapatkan cucu. Dan Ridwan sadar kalau ibu-ibu sudah berkumpul, mustahil sebentar. Lalu ketika ia dapatkan ijin untuk pulang lebih dulu karena sang ibu hendak pulang bersama teman-teman pengajiannya, ia langsung pacu sepeda motornya pulang, lalu ia terjang pintu dan menyambar pesawat telepon. Ia raih kartu nama dokter cantik itu dan memutar nomor teleponnya.
“Ayo angkatlah,” gumamnya ketika terdengar nada sambung.
“Halo?”
Ridwan mengerenyit heran, “Halo. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Ridwan mendengar suara Anita agak berbeda. Agak terkesan cemas, seperti kehilangan kepercayaan diri.
“Anita?”
“Ya?”
“Suara kamu agak berbeda kalau di telepon?”
“Oh, ya?”
“Seperti yang terdengar cemas. Kamu nggak apa-apa?”
“Cemas apaan? Nggak tuh!”
“Nah, itu lebih baik. Terdengar utuh dan karismatik.”
“Utuh dan karismatik? Apa itu cara kamu gombalin cewek?”
“Gombal? Aku tidak berniat gombalin kamu? Gombal itu punya implikasi dusta. Aku nggak mau mulai membangun hubungan dengan dusta. Itu sangat rapuh.”
“Ya, tapi rasanya kok kayak digombalin.”
“Kalau gombal mungkin seperti ini. ‘Suara kamu kok beda kalau di telepon, terdengar sendu dan syahdu, seperti semilir angin di pagi hari, bercampur semerbak mawar nan mewangi.’”
Terdengar Anita tertawa. Tawa yang lepas dan renyah.
“Ya, kamu benar. Kamu nggak bakat buat gombal,” kata Anita di akhir tawanya.