Sejak awal Ivan tidak pernah berniat punya teman. Ia bersekolah di sini hanya sebagai samaran untuk rencananya membangun portal. Pertemanan jelas tidak ada dalam benaknya. Tapi sekarang ia tidak menyangka punya teman—lebih-lebih teman seperti Bima.
Bima sangat berbeda dari dirinya. Ivan berkulit putih, meski rambut hitam dan warna matanya yang coklat menyamarkan kesan bule dari gen ayahnya, sementara Bima berkulit gelap yang sepertinya lebih karena terpapar sinar matahari daripada akibat garis keturunan. Badan Ivan kurus, sementara Bima besar, gempal berisi. Tinggi badan Ivan sebenarnya bisa dikategorikan tinggi, tapi kalah satu jengkal setengah dari Bima. Tadi pagi, Ivan melihat Pak Ridwan merangkul bahu Bima dan tampak dari belakang seperti… kakak beradik.
“Kalau kamu tidak memakai seragam sekolah, mungkin tidak akan ada yang menyangka kamu anak SD,” kata Ivan saat mereka hendak meninggalkan kelas.
Bima hanya mendengus, dan dia melirik jam dinding di kelas. 11.30.
“Kita ke mesjid dulu? Aku mau sholat Dzuhur dulu?” tanya Bima setelah membereskan tasnya. Ia sempat memperhatikan kelas yang masih ramai.
“Ya, itu lebih baik,” tanggap Ivan, juga membereskan tas.
Agak bergegas mereka keluar kelas. Tidak menunggu kelas kosong dulu seperti biasanya. Ketika Bima dan Ivan hendak mendekati pintu, beberapa teman sekelas yang juga hendak keluar—bahkan sebenarnya lebih dulu dari Bima, mendadak menyingkir dan membiarkan Bima dan Ivan keluar lebih dulu. Ivan tersenyum melihat tingkah mereka.
Might makes right, eh, kelakar Ivan dalam hati.
Ya, Ivan akui Bima memiliki aura yang mengintimidasi, tapi Ivan tahu kalau itu hanya cangkang yang membungkus seorang anak yang sebenarnya baik, cerdas, bahkan cenderung… rapuh….
Ivan perhatikan Bima dari belakang. Tidak terlalu jauh, tapi cukup untuk memperhatikan bahu Bima yang lebar dan kekar. Kak, kalau kamu pasti akan cepat akrab dengan Bima, pikir Ivan, terkenang akan kakaknya.
Entah kenapa Bima berpaling melihat Ivan, meski tidak menghentikan langkahnya.
“Kenapa?” tanya Bima.
“Nggak apa-apa.”
“Kamu bertingkah aneh.”
Ivan mempercepat langkahnya mendahului. “Yang aneh itu mereka—teman sekelas kita. Apa yang menakutkan dari kamu sampai menyingkir dan memberimu jalan seolah kamu seorang… Godfather?”
“Godfather?”
“Pemimpin mafia. Penjahat,” jawab Ivan sambil mengubah langkahnya menjadi berlari.
“Hey!” pekik Bima langsung mengejar.
Sebelum sampai gerbang, Ivan sudah terkejar. Tentu saja itu bisa diduga karena Bima memiliki langkah yang lebih lebar. Bima cengkram bahu Ivan, lalu mendahului.
“Kalau aku penjahat, kamu sudah mati sekarang!” seru Bima sambil terus berlari melewati gerbang.
Ivan mengejar, tapi setelah melewati gerbang ia tak sanggup lagi. Terengah-engah ia membungkuk sambil memegangi lutut.
“Kamu harus sering berolah raga. Segitu saja sudah lemas,” sindir Bima sambil mendekati Ivan dan menyodorkan jus jambu pemberian Pak Ridwan.
“Wow, thanks,” ucap Ivan sambil menerima botol itu.
Setelah Ivan minum, Bima pun ikut minum dari botol yang sama. Lalu, mereka berjalan menuju Mesjid Annur.
“Kalau bisa, aku ingin melihat bukit sampah itu. Tempat aku menggambar pentagram itu,” kata Ivan saat mereka berbelok memasuki gang.
“Tidak dengan penampilan seperti itu! Kamu akan lebih leluasa kalau terlihat seperti pemulung.”
“Ya, aku mengerti itu,” ucap Ivan pelan. Benaknya teringat peristiwa beberapa hari yang lalu di tempat itu, ketika ia belum bisa disebut “teman” Bima. “Tapi aku tidak tahu bagaimana?”
“Satu-satu. Kita sekarang fokus dulu soal pandai besi itu. Kita mencari pandai besi itu untuk membuat sudut-sudut pentagram itu, kan? Itu bagian terpentingnya, kan?”
“Nggak juga. Lokasi juga sama pentingnya. Tapi, kamu benar. Satu-satu.”
Lepas Bima sholat Dzuhur, mereka segera kembali ke sekolah untuk dijemput oleh Bi Anita. Sempat di halaman mesjid mereka berpapasan dengan Bu Sari. Sejenak Bu Sari menghambat langkah mereka dengan pesan-pesan untuk Bima supaya menjaga sikap, menjaga sopan santun dan tidak merepotkan. Tak lupa juga Bu Sari memberi Bima bekal uang. Semua itu awalnya membuat Ivan merasa geli karena Bima menjadi seperti anak kelas satu SD yang baru dilepas pergi sendiri ke sekolah, tapi kemudian Ivan bisa mengerti kalau ini mungkin pertama kalinya Bima main ke rumah teman. Cemas seorang ibu, benak Ivan berkata dan dadanya mendadak serasa diremas.
Sempat juga Bu Sari menawari mereka makan siang terlebih dahulu sebelum beliau sholat Dzuhur, tapi Ivan segera menolak dengan alasan kali ini giliran dia menjamu Bima.
“Ya, sudah. Kalian bersenang-senanglah,” kata Bu Sari lirih.
“Bima pergi dulu, Bu. Assalamualaikum,” kata Bima seraya meraih tangan bundanya dan menciumnya.
“Waalaikumsalam.”
“Kami pergi dulu, Bu,” pamit Ivan.
“Hati-hati, ya. Tolong jaga Bima, Nak Ivan.”
Ivan mengangguk dan tersenyum. Masih tersenyum meski telah memutar langkah meninggalkan Bu Sari, bahkan sampai melewati lubang beton pembatas. Masih tersenyum meski telah keluar dari gang.
“Apa?” tanya Bima agak kesal. Merasa terganggu oleh senyum Ivan.
“Aku dapat misi dari ibu kamu untuk menjagamu,” jawab Ivan. “Sekarang aku Bodyguard kamu!”
“Ah, pergi sana!” sergah Bima dengan muka memerah. Ia dorong bahu Ivan—tidak terlalu kuat, tapi cukup mengekspresikan perasaan malunya.
Ivan tertawa.
Ketika mereka sampai di gerbang sekolah, dari jauh mobil Bi Anita tampak mendekat. Setelah dekat di samping mereka, mobil berhenti dan Bi Anita turun dari mobil.
“Kita makan siang di luar, yuk,” ajak Bi Anita. “Kalian mau makan apa?”
Bima tentu kesulitan menjawab pertanyaan itu, tapi Ivan langsung menjawab, “Teriyaki. Di Bento-Sama.”
“Teriyaki it is, then,” jawab Bi Anita dengan Bahasa Inggris. “Ehmm, tapi tunggu.”
Ivan dan Bima melihat Bi Anita memalingkan pandangannya ke dalam sekolah.
“Ada apa, Bi?” tanya Ivan.
“Nggak apa-apa,” jawab Bi Anita lirih, namun tampak tersenyum ketika pindai matanya menemukan sosok yang sedang menuntun sepeda. Dan senyumnya makin lebar melihat sosok itu melambaikan tangan.
“Hai,” sapa Pak Ridwan setelah beliau dekat.
“Hai,” balas Bi Anita.
Mereka berdua tersenyum dan saling menatap. Tidak lama, tapi cukup memberi waktu bagi Ivan dan Bima beralih pandangan antara Bi Anita, ke Pak Ridwan dan kembali ke Bi Anita.
“Kiss him already, Aunt Anita! (Cium aja dia, Bi Anita!)” seru Ivan seraya mengambil langkah ke mobil, “Yuk, Bim.”
“Ih, apaan sih!” pekik Bi Anita, menjewer telinga Ivan sebentar.
“Ouch!” rintih Ivan sambil menggosok-gosok telinga bekas jeweran bibinya. Ia buka pintu mobil dan memasukinya.
Bima mengikuti Ivan meski mata Bima sesekali melirik antara Pak Ridwan dan Bi Anita.
“Sori. Dasar anak-anak,” ucap Bi Anita dengan muka memerah.