“Sudah aku bilang ini akan berbalik arah kepadamu. Ya, kan?” kata Bima.
“Ah, shut up!” desis Ivan menyuruh Bima diam.
Mereka sedang mengekor dua perempuan dewasa yang tengah dilanda shopping frenzy. Kini mereka telah jauh dari Cibaduyut, jauh dari sentra sepatu Bandung yang terkenal itu—ah, sebenarnya tidak terlalu jauh; mereka berada di bilangan Tegal Lega, di jalan Otto Iskandar Dinata, terpaut 5-7 Km dari Cibaduyut. Tapi, kekecewaanlah yang membuat mereka merasa sangat jauh. Mereka tidak menemukan pandai besi itu di Cibaduyut. Dan kini harus lama mengekor Bibi dan ibunya Bima belanja pakaian.
“Ini salahmu!” desis Ivan kepada Bima.
“Hey, kamu yang punya ide membelikan aku sepatu! Dan siapa yang menunjuk ibuku di pinggir jalan?” tukas Bima. “Lagipula bagaimana aku bisa tahu kalau pandai besi itu sudah meninggal? Selain itu kita dapat info baru pandai besi yang lain, ya, kan?”
“Tapi itu di Ciwidey—entah di mana itu, tapi yang pasti aku tidak tahu alasan apa yang bisa kita pakai untuk sampai ke sana. Bibi mustahil mengijinkan kalau nggak ada alasan!”
Bima terdiam dan berpikir. Tapi kemudian ia tidak merasa perlu menyangkal apapun. Yang berkepentingan di sini hanyalah Ivan seorang.
Memang, setibanya mereka di Cibaduyut, mereka berhasil memisahkan diri dari Bi Anita dan Bu Sari, dengan alasan ingin mandiri dan ingin lebih leluasa memilih sepatu yang hendak mereka beli.
Bi Anita juga tentunya juga ingin leluasa bicara sama Ibu, pikir Bima kala itu.
Tapi, tidak terpikir oleh mereka kalau petualangan mereka di Cibaduyut berakhir singkat.
Sepanjang jalan Cibaduyut yang Bima lihat itu, kiri-kanannya terdapat toko-toko sepatu. Konon, kawasan ini telah menjadi sentra industri sepatu lokal sejak jaman penjajahan, jauh sampai ke tahun1920. Melihat berjejer pajangan-pajangan sepatu aneka model di sepanjang jalan itu, membuat Bima berpikir, Di mana sepatu-sepatu itu dibuat? Dan pertanyaan itu Bima jawab sendiri ketika Bi Anita memarkirkan mobilnya di bahu jalan dan sempat melihat sebuah gang yang diapit dua toko sepatu. Di dalam gang itu terdapat rumah-rumah yang sibuk dengan kegiatan produksi sepatu. Dan, apa yang Bima lihat itu juga membangun asumsi logis kalau pandai besi pastilah ada di sekitar sini untuk membuat peralatan berat produksi sepatu—kalau mengingat Cibaduyut sudah ada sejak tahun 1920.
Sempat terpikir oleh Bima untuk memasuki gang itu, sekedar menanyakan tempat pandai besi itu berada. Tapi, Ivan lebih memilih tetap mengacu pada peta pemberian Pak Anwar—yang ternyata masih jauh, kalau titik acunya adalah gedung Televisi Republik Indonesia stasiun Bandung (TVRI Bandung). Bima dan Ivan mesti menjauh terlebih dahulu dari Bi Anita dan Bu Sari supaya tidak terlihat menaiki Angkutan Kota menuju selatan.
Semakin ke selatan, toko-toko sepatu itu mulai tampak jarang, berganti toko-toko bahan-bahan membuat sepatu. Kawasan yang lengkap, pikir Bima, antara adanya bahan, peralatan, tempat membuat dan tempat menjual. Bima memperhatikan semua itu.
Setelah mereka turun dari Angkutan Kota di depan Stasiun Televisi Republik Indonesia, mereka berjalan sedikit ke arah utara, sebagaimana petunjuk pada peta pemberian Pak Anwar. Sesampainya di mulut sebuah gang, Bima beranikan diri bertanya pada seorang tukang becak yang tengah duduk di dalam becaknya menunggu penumpang.
“Oh, itu mah Mang Rukman,” jawab tukang becak itu setelah ditanya Bima. “Dia sudah meninggal. Udah lama atuh, Cep”
Bima dan Ivan sesaat saling beradu pandang. Sorot mata Ivan berubah kecewa.
“Tapi, Pak, kalau peralatan-peralatan membuat sepatu pasti ada yang membuatnya, kan? Apa ada pandai besi lain?” tanya Bima.
“Sekarang mah jamannya mesin, atuh, Cep. Impor lagi,” dengus tukang becak itu. “Kerasa sekarang sama kirsmon. Pada mahal. Tapi, masih untung Cibaduyut mah masih ramai, jadi ngga….”
Bima termenung, Jadi ternyata tidak lengkap juga, ya?
Mang becak itu masih berbicara tak tentu arah ketika Bima dan Ivan memutuskan tidak mendengarkan dan segera berpamitan.
“Kalau pandai besi yang dicari mah, ada di Ciwidey. Di kampung,” kata Mang becak itu dan sejenak menahan Ivan dan Bima untuk mendengarkan penjelasannya sebelum bisa menyeberang jalan dan kembali naik Angkutan Kota.
“Kita bisa pakai cara lain, kan?” kata Bima saat di dalam Angkutan Kota. “Pakai beton seperti kata Pak Ridwan.”
Ivan agak meringis, “Aku ingin mempertahankan unsur logam di sudut pentagramnya.”
Bima mengangkat bahu. Menanggapinya hanya dengan mengangkat bahu.
Sekembalinya mereka ke mobil Bi Anita, mereka tidak menemukan Bi Anita dan Bu Sari. Dan mobil dalam keadaan terkunci. Dengan terpaksa mereka menunggu di luar, dan agak lama. Lalu ketika dari kejauhan mereka melihat Bi Anita dan Bu Sari mendekat membawa beberapa tas sepatu, Bima berkata, “Ummm, kita belum beli sepatunya.”
“Ouch! A-ayo! Cepat!” seru Ivan seraya beranjak dan mendekati toko sepatu terdekat dan membeli cepat sebelum Bi Anita dan Bu Sari sampai.
Mereka membeli sepasang loafer coklat yang sama persis. Ukurannya pun sama, jadi untuk Ivan jelas kebesaran, tapi ia tidak peduli—tidak peduli, meski ia yang membayarnya. Kekecewaan masih menggelayut di sorot mata Ivan.
“Apa kita kembali ke dudukan kaki tiga, gitu?” kata Ivan lirih, seolah tertuju pada dirinya sendiri. Matanya menerawang, tertuju pada Bi Anita dan Bu Sari yang ternyata terhambat kaca etalase salah satu toko sepatu.
“Kaki tiga?” tanya Bima.
“Dudukan untuk bejana. Di peralatan Lab. Yang pernah digunakan kakakku. Aku pernah cerita, kan?”
“Dari mana mendapatkannya?” tanya Bima. Dan jangan bilang mencuri, sambung Bima dalam hati. Ia menatap Ivan agak memicing.
Ivan hanya mengangkat bahu.
Sempat terpikir oleh Bima kalau Ivan bisa bertanya ke bibinya karena Bi Anita seorang dokter. Tapi tentu saja, Ivan tidak bertanya kepada Bibinya karena ia tidak ingin bibinya mengetahui rencananya.
“Sesampainya di rumahku, aku ingin menunjukkan sesuatu,” kata Ivan.
“Apa masih sempat ke rumahmu?” ujar Bima.
“Apa maksudmu? Ini masih cukup siang,” tukas Ivan.
“Umm, sepertinya Bi Anita akan lama.”
Ivan tercenung, lalu berdecak kesal setelah sadar betapa benarnya Bima, tapi tidak bisa berkata apa-apa karena bibinya sudah mendekat.
“Sudah dapat?” tanya Bi Anita sebelum membukakan pintu mobil.
Bima dan Ivan menjawab hanya dengan menunjukkan tas masing-masing.
“Sekarang kita akan beli baju,” kata Bi Anita ringan. “Ada butik busana Muslim di Otista.”
“Tapi aku ingin cepat pulang,” rengek Ivan, awalnya agak kencang tapi kemudian memelan. Memelan karena entah kenapa ia merasa rengekannya akan sia-sia.
“Eit, kita mesti belanja pakaian dulu buat Bima dan Bu Sari. Nanti malam Pak Ridwan akan datang ke rumah. Kita makan malam bersama. Bu Sari dan Bima akan menginap di rumah kita malam ini,” kata Bi Anita sambil membuka bagasi dan memasukkan hasil belanjanya.
Ivan dan Bima saling menatap. Ada senyum yang mendadak terlukis di wajah Ivan. Senyum yang sempat hilang, berganti kesal karena harus berjam-jam mengekor bibinya belanja.
Sementara Bima, ia kemudian melirik ibunya dan melihat beliau hanya tersenyum tipis. Bima tidak bisa membaca senyum itu; apakah senyum itu memberi pengertian Bima untuk bersabar, ataukah malah bersyukur? Tapi bagaimanapun, dari diamnya Ibu, itu artinya selama mereka terpisah, ibunya dan Bi Anita telah membicarakan banyak hal yang berujung pada tidak berdayanya Ibu untuk menyangkal ide Bi Anita mengajak mereka menginap. Apapun yang mereka bicarakan, pasti ada sangkut pautnya dengan dirinya dan Ivan, karena Pak Ridwan juga ikut terlibat. Waspada mulai merayap menyelimuti benak Bima, tapi Bima masih bisa tersenyum membalas senyum tipis Bu Sari, karena Bima tahu dia tidak sendirian. Kita hadapi bersama, Bu.
“Sebentar, aku telepon Mak Wasri dulu. Kalian tunggu di mobil,” kata Bi Anita setelah melirik ke sekitarnya, dan menemukan sebuah boks biru berlogo gagang telepon di seberang jalan. Ia hampiri telepon umum itu setelah jalan aman untuk diseberangi.
Ia keluarkan secarik kartu telepon dari dompetnya setelah menemukan unit telepon umum itu menggunakan kartu. Ia angkat gagang telepon, memasukkan kartu ke dalam slot lalu menekan nomor telepon rumahnya.
“Halo. Assalamualaikum,” terdengar suara Mak Wasri.
“Waalaikumsalam, Mak. Ini Anita. Makan malam nanti masaknya agak banyakan, ya. Dan kalau bisa yang istimewa.”
“Oh, ada yang mau datang? Istimewa, ya?”
“Apa perlu belanja dulu?” tanya Anita. Sesaat ia melirik ke mobil dan melihat Bu Sari, Bima dan Ivan telah masuk ke dalam mobilnya.
“Kayaknya nggak usah, Neng. Emak usahakan dengan yang ada. Insya Allah istimewa. Siapa nama orang yang istimewa itu?”
“Ih, Mak Wasri apaan sih?” Anita tersipu, baru sadar kalau kata “istimewa” ditafsirkan lain oleh Mak Wasri. Meski memang Mak Wasri tidak salah juga.
“Ya, nggak apa-apa atuh Neng, Emak juga ikut senang kalau yang datang… istimewa.”