FATEBENDER

DMRamdhan
Chapter #15

Hasrat Bersama

Kikuk dan canggung. Jelas tidak nyaman. Bima tidak biasa berada di dalam rumah orang lain, lebih-lebih rumah yang….

Pagar dan gerbang yang tinggi dan terbuat dari besi. Tempat parkir mobil dan taman. Teras dan kursi teras. Lalu pintu yang besar dan kuat. Dari luar, jelas rumah ini bertingkat dua. Bima belum pernah memasuki bangunan bertingkat sebelumnya.

“Ayo, masuk,” kata Bi Anita saat melihat Bima dan ibunya hanya bisa berdiri di depan pintu. Kikuk dan canggung, merasa tak pantas melangkah masuk.

Bima bisa rasakan jemari ibunya meremas bahu Bima, merasakan apa yang Bima rasakan. Dan dengan bantuan lengan ibunya yang mendorong Bima masuk, juga tarikkan tangan Ivan, Bima pun masuk.

“Ayo,” ujar Ivan, menarik lengan Bima.

“Assalamualaikum,” kata Bima, juga ibunya, saat mereka melangkah masuk.

“Waalaikumsalam,” jawab Anita, juga terdengar suara dari tempat yang lebih dalam lagi.

Lalu, Bima dan Bu Sari melihat sosok perempuan berkerudung yang tak lagi muda, keluar koridor.

“Wah, ini yang namanya Bima, ya,” seru perempuan itu menghampiri Bima.

Bima menjulurkan tangan, meraih tangan perempuan itu dan menciumnya.

“Dan saya ibunya Bima, nama saya Sari” kata Bu Sari memperkenalkan diri juga menjulurkan tangan. “Saya bisa mengira Anda Bu Wasri.”

Perempuan itu tersenyum cerah dan menjabat tangan Sari dengan kedua tangan, hangat dan ramah. “Panggil saja Mak Wasri. Neng Nita biasa memanggil saya begitu,” ujar Mak Wasri. “Duh, senangnya bisa langsung dikenali sama teman Neng Nita. Berarti Neng Nita cerita soal Emak sebelum ini, ya?”

“Apa maksudnya itu?”Anita cemberut sambil meletakkan tas-tas hasil belanjanya di sofa.

“Maksudnya, Emak berharap nanti ada saatnya Emak juga dikenali sama teman Neng Nita yang lebih istimewa,” sahut Mak Wasri lembut.

Anita tampak tersipu, tapi segera menguasai diri dan membalas dengan berkata, “Ya, dia akan datang sebentar lagi. Sebaiknya kita siap-siap.”

Mak Wasri mendadak terperangah. “Eh, bukannya… yang mau datang gurunya Cep Ivan?”

Sari juga sempat terperangah, “Kamu… dan Pak Ridwan….”

Anita mengibaskan tangannya. “Kita bahas itu nanti. Kamu mau mandi duluan, Sar?”

Sari sempat bergidik, namun segera menguasai diri dan menjawab, “I-iya, baik.” Ia bergidik karena tak pernah lagi dipanggil akrab seperti itu. Panggilan lama yang terkubur dalam kenangan—kenangan yang sangat dalam.

Sar! Sar! Main, yuk!

Jemarinya mencengkram bahu Bima. “Kamu juga sebaiknya mandi dulu.”

“Sini, Bim. Emak tunjukkan tempatnya.” Mak Wasri meraih bahu Bima dan menariknya hingga terlepas dari jemari ibunya.

Bima sempat melirik ibunya, namun segera mengikuti Mak Wasri setelah mendapatkan anggukkan Sari.

“Ini, baju kamu,” kata Anita seraya menjulurkan salah satu tas hasil belanjanya kepada Bima. “Dipakai, ya.”

Bima mengangguk dan menerimanya. “Terima kasih…, Bi Anita.”

 “Aku juga mandi dulu,” seru Ivan seraya setengah berlari menuju kamarnya, mengambil pakaian ganti.

“Pakai baju yang rapi, Van!” seru Anita, lalu ia berpaling kepada Sari. “Kamu pakai kamar mandi di kamarku saja. Ayo.”

Sari mengangguk dan kemudian mengikuti langkah Anita. Langkah yang begitu ringan seolah-olah… tak nyata. Ia tengah menapaki istana, dan memasuki kamar seorang putri, yang di kamarnya ada kamar mandi. Jikapun ini nyata, ini terlalu… menyilaukan bagi mata Sari, karena yang biasa ia lihat adalah bertahan hidup bersama Bima, tidak lebih.

“Kenapa?” tanya Anita saat melihat Sari berdiri terdiam, selangkah setelah memasuki kamar Anita.

“Tidak apa-apa,” jawab Sari, memaksakan seluas senyum.

“Maafkan aku kalau semua ini membuatmu tidak nyaman,” ucap Anita memelas.

“Tidak apa-apa. Sungguh. Aku sangat menghargainya, hanya… semua ini serasa… menyilaukan. Sangat silau.”

Anita tersenyum. Ia menatap Sari sambil memiringkan kepalanya. “Kalau ini menyilaukan, berarti aku telah terbiasa di tempat silau, ya, kan? Yang membuatku tidak bisa melihat banyak hal, bahkan mungkin kenyataan yang sebenarnya. Maka, berteman denganmu adalah langkah yang tepat buatku. Kamu dan Bima akan memperlihatkan banyak hal kepadaku.”

Sari terpana.

“Waktu kuliah, aku punya seorang dosen, dan dosen ini punya seorang ayah,” lanjut Anita sambil berpaling dan menghampiri pintu lemari. Ia mengambil handuk dari dalamnya sebelum kembali ke Sari.

 “Aku lupa lagi namanya, tapi dia sudah sangat tua—orang Tiong Hoa. Dia bilang begini,” Anita menarik kacamatanya hingga ke ujung batang hidungnya, membungkukkan badannya seperti kakek-kakek dan mengacungkan telunjuknya, “Lo olang kalo mau jadi doktel yang bagus musti dengel lo punya pasien hah! Maksud oe benel-benel dengel sampe bisa lo lasain penyakitnya, jadi lo bisa utuh peliksa lo punya pasien. Soalnya, nih dengel nih, pasien lo juga sama-sama manusa.

Sari tergelak oleh akting Anita.

Anita tersenyum lebar, menghentikan aktingnya sambil menyerahkan handuk itu kepada Sari. “Aku juga waktu itu nggak kuat nahan ketawa. Tapi nasihatnya benar-benar kena. Untuk melihat suatu masalah kita harus utuh melihatnya, ya, kan? Sisi terangnya dan juga sisi gelapnya. Lalu aku diberi amanah Ivan, dan mungkin kalau ada kesempatan aku juga akan cari kakaknya Ivan. Tapi aku akan kesulitan melangkah kalau tidak bisa melihat… semua ini secara utuh. Dan, entah kenapa aku merasa kamu bisa membantuku. Bima juga. Aku harap kamu mau membantuku soal ini.”

Sari tercenung dan menatap teman barunya itu, yang lebih muda dan kini tampak seperti seorang adik baginya. Adik yang tidak pernah ia punya.

“Aku akan bantu semampuku,” kata Sari seraya meraih lengan Anita dan meremasnya.

Anita tersenyum. “Sekarang kamu mandi sana. Eh, mau pakai baju yang mana?”

Sari termenung. Tak pernah terpikir dalam hidupnya bisa memilih baju.

“Jangan berpikir kamu mau pakai baju itu lagi,” kata Anita sambil memicingkan mata. “Kita mau ketemu Pak Ridwan, loh.”

“Iya, tapi cuma kamu kan yang menganggapnya… istimewa.”

Idih!” Anita hendak mencubit lengan Sari, tapi Sari menghindar sambil tergelak.

“Aku mandi dulu. Umm, baju yang gamis biru, mungkin.”

“Ya, aku siapkan.”

Sari menghampiri pintu.

“Hey, itu pintu keluar,” kata Anita. “Pintu kamar mandi sebelah sini.” Anita bukakan pintu yang lain.

Sari tersipu. “Sudah aku bilang kan ini benar-benar silau?” ujarnya sambil melangkah memasuki kamar mandi dengan wajah merunduk dan sebelah tangan menutup mukanya.

Anita tergelak. Lalu setelah menutup pintu, lolos sedesah nafas panjang yang diikuti mata yang berkaca-kaca. Mendadak ia teringat kakaknya sendiri.

Athena….

Sementara itu, Bima yang baru selesai mandi, telah ditunggu oleh Ivan. Dan Ivan langsung mengajaknya ke kamarnya. Sebagaimana ibunya, Bima pun merasa seolah semua ini tidak nyata.

“Kenapa kamu?” tanya Ivan saat melihat Bima berdiri terdiam setelah selangkah memasuki kamar Ivan.

“Nggak apa-apa. Apa yang mau kamu tunjukkan?”

Lihat selengkapnya