Setelah selesai makan, Ivan langsung minta ijin untuk meninggalkan meja makan dan mengajak Bima.
“Umm, sebentar,” kata Bima, lalu minum dan beranjak mengikuti Ivan. Terus terang sebenarnya ia masih ingin duduk di meja makan dan memperhatikan orang-orang dewasa ini bicara, tapi ia menangkap gelagat aneh dari Ivan.
Ivan melangkah agak cepat menaiki tangga.
Apa dia marah? pikir Bima.
Di kamar Ivan, setelah Bima menutup pintu, Bima bertanya, “Kamu kenapa?”
“Aku bukan anak yatim!” desis Ivan sambil membalikkan badan menghadap Bima.
Bima terperangah. “Tapi mereka beranggapan orang tua kamu sudah meninggal, kan?”
“Ya, tapi itu tidak membuatku merasa lebih baik!”
“Kalau kamu mau merasa lebih baik, anak yatim juga sebenarnya bukan cuma yang ditinggal mati orang tuanya,” ucap Bima. Terus terang ia juga tidak merasa yakin, tapi berharap bisa meredam marah Ivan.
Ivan sempat tercenung, “Oh, benarkah?”
“Itu tidak penting. Yang penting apa yang kamu yakini. Apa yang mau kamu lakukan, ya, kan?”
Ivan terperangah sesaat sebelum mendengus, “Huh, kamu benar.”
Sesaat mereka terdiam.
“Jadi, apa sekarang?” tanya Bima agak jengah karena diam, ia masih merasa ingin kembali ke meja makan.
“Entahlah,” jawab Ivan, agak mendesah. Sebuah jawaban yang tidak diharapkan Bima, tapi kemudian Ivan menambahkan, “Aku tidak bisa berpikir apa-apa sekarang. Hari ini memang melelahkan.”
“Yah, ini memang hari yang panjang,” Bima memakluminya.
“Sangat panjang—aku mau nonton TV. Ikut?” Ivan mulai melangkah melewati Bima, kembali keluar kamar.
Bima menjawab dengan mengikuti Ivan. Hanya saja, saat di luar kamar, ada getar hati yang ingin mengambil arah lain yang berlawanan dengan Ivan. Ivan berbelok ke kanan menuju ujung koridor di mana terdapat ruang keluarga, sementara ujung yang lainnya adalah tangga kembali ke ruang makan. Bima bisa dengar sayup-sayup suara orang-orang dewasa itu bicara. Agak ragu dan perlahan, Bima dekati sumber suara orang-orang dewasa itu. Ia sempat mendengar namanya disebut.
“Iih, Cep Bima, pamali! Nggak baik nguping pembicaraan orang tua,” terdengar suara Mak Wasri yang muncul dari tangga. Beliau datang membawa nampan berisi dua mangkuk pudding.
Bima cukup kaget dan seketika salah tingkah.
“Nonton TV sama Cep Ivan, yuk. Sambil makan pudding.”
Mak Wasri menggiring Bima ke ruang keluarga dan tampak Ivan telah menyalakan TV.
Bima duduk di atas karpet di dekat Ivan, sementara Mak Wasri menghidangkan puddingnya di meja.
“Nih, puddingnya di sini, ya,” kata Mak Wasri.
“Umm, terima kasih…, Mak Wasri.”
Mak Wasri tersenyum dan kembali melangkah ke ruang makan setelah memastikan Bima dan Ivan terlena oleh tayangan TV. Beliau berniat membereskan meja makan.
Beliau lihat Anita, Sari dan Ridwan masih di meja makan. Dan meja ternyata telah dibereskan oleh mereka bertiga. Kini tampak oleh Mak Wasri, Sari sedang memperhatikan lembaran kertas yang sepertinya milik Pak Ridwan. Anita dan Ridwan memperhatikan.
Sari kemudian berkata, “Aku tidak menyangka ini, tapi di sisi lain… aku tahu Bima anak yang cerdas. Hanya….”
Mak Wasri pikir ini saat yang tepat untuk menghidangkan kopi.
“Aku mengerti maksudmu, Sar. Ini seolah level yang lebih bagi Bima untuk mengendalikan nilainya demi terhindar dari masalah,” kata Anita. “Tapi, itu bisa menghambat potensi Bima karena indikator kemampuannya jadi tidak jelas. Bisa jadi sebenarnya kecerdasannya bisa menangani pelajaran tingkat SMP atau bahkan SMA.”
“Maaf, Pak Ridwan,” Sari beralih ke Ridwan. Ia simpan daftar nilai itu di meja. “Saya hanya seorang ibu yang tidak tahu apa-apa. Jika sekarang saya tahu ini, lalu apa yang diharapkan dari saya?”
“Jangan terlalu merendah, Bu Sari. Dari apa yang saya tadi saksikan saat makan, Anda menjelaskan surat Al Fajr, saya bisa menduga dari mana kecerdasan Bima berasal. Sekali lagi, ini semacam simbiosis mutalisme—kerja sama yang saling menguntungkan; Anita terbantu karena Bima berteman dengan Ivan, saya terbantu sebagai guru oleh nilai-nilai Bima, Bima terbantu dalam mengembangkan potensinya. Yang kurang di sini awalnya adalah rasa percaya Bima, terutama terhadap saya sebagai gurunya—dan tentu saja satu-satunya orang yang Bima percaya adalah Anda.
“Sebenarnya, saat ini, dengan hadirnya Bu Sari dan Bima di sini, telah terbangun rasa percaya yang lebih dari diri Bima. Saya baru menyadarinya ketika melihat Bima berteman akrab dengan Ivan. Lalu pertemanan ini mendapat respon postif dari walinya Ivan,” Ridwan merentangkan telapak tangannya ke Anita dan mendapat senyumnya. “Dan Jumat pagi kemarin, saya bicara dengan Bima dan baru kali itu saya rasakan mendapat tanggapan yang positif.”
“Positif?” tanya Anita.
“Yah, dia tersenyum. Dia seolah senang kalau aku menyadari soal nilai-nilainya itu.”
“Oh, that’s good!” seru Anita.
“Lalu, apa yang harus saya lakukan?” tanya Sari, agak memelas.
“Sebenarnya tidak ada,” jawab Ridwan. “Tapi, dengan hanya mengetahui ini saja, saya yakin secara otomatis dan organik Anda akan menyesuaikan pola asuh terhadap Bima.”
Sari tampat termenung. Perlahan ia merunduk.
“Yang perlu saya tekankan di sini hanya memberi dan mempertahankan nilai-nilai sosial yang baik dalam diri Bima. Salah satunya nilai agama yang sepertinya Anda sudah penuhi dengan baik,” sambung Ridwan. “Tapi bagaimana pun, akan ada rintangan bagi Bima ke depan. Akan selalu ada. Entah dari guru-guru lain, teman-teman lain di sekolah atau siapapun. Dan Anda akan menjadi semacam ‘jangkar’ bagi Bima—tempat kembali ketika mendapati dunia di luar sana terlalu berat bagi Bima. Saya sebagai guru akan membantu peran Anda itu, juga Anita sebagai teman Anda, dan tentu saja Ivan sebagai teman Bima.”
Sari mendesah. “Terima kasih, Pak Ridwan,” lalu ia berpaling ke Anita, “Terima kasih…, Anita.”
Anita tersenyum haru dan menggamit tangan Sari.
Lalu, Mak Wasri datang membawa nampan dengan empat cangkir kopi panas. Beliau meletakkannya di meja.
“Ini kopinya, silahkan,” kata Mak Wasri, dan sambil menghidangkannya, Mak Wasri melanjutkan, “Mungkin ini tidak ada hubungannya, ya, tapi…, tadi sebelum Maghrib, ketika saya mengantar camilan ke kamarnya Cep Ivan, saya melihat Cep Ivan membuka semacam album foto di depan Cep Bima, dan… saya sepintas melihat banyak foto Cep Gregory di album itu. Mungkin ini perasaan saya saja, tapi apa Cep Ivan juga terpikir… mencari Cep Gregory, dan minta bantuan Bima?”
Anita dan Ridwan saling melempar pandangan.
“Umm, Gregory itu kakaknya Ivan?” tanya Sari, memastikan.
“Benar,” jawab Mak Wasri.
“Nanti aku akan bicara sama Ivan,” kata Anita.
“Tapi jangan terlalu memaksanya,” timpal Ridwan.
“Ya, aku tahu,” desah Anita lirih. Tapi kemudian, ia beralih kepada Sari. “Satu hal lagi yang ingin aku sampaikan. Tunggu sebentar.” Anita beranjak pergi dan sempat menghilang di koridor. Dan ketika kembali, ia membawa lembaran-lembaran bungkus rokok.
“Aku tidak tahu, kamu menyadarinya atau tidak,” kata Anita setelah duduk dan meletakkan lembaran-lembaran bungkus rokok itu di meja, “Tapi Bima suka menulis cerita. Sepertinya suka cerita fantasi.”
Sari meraih lembaran itu dan mulai membacanya.
“Ivan sudah memberi Bima buku tulis sebagai ganti bungkus rokok itu. Lalu Ivan tunjukkan tulisan Bima itu kepadaku. Tulisannya cukup bagus, menurutku.”
“Aku sering melihat dia menulis di bungkus rokok,” kata Sari sambil membaca, “Tapi aku pikir dia hanya sedang belajar.”
Anita mengerenyit. Memperhatikan Sari yang terus membaca, dan tak luput dari perhatian Anita sorot mata Sari yang sekilas meredup, buram dan beralih gelap yang… yang mengancam. Seolah ada badai di cakrawala yang sekuat tenaga ia tahan. Anita bisa melihat kalau Sari menyadari apa yang tersirat dalam cerita Bima itu. Tapi ia tidak mengatakan apa-apa.
Sari selesai membacanya, dan meletakkan bungkus rokok itu di atas meja. Ancaman badai dari sorot matanya sirna seketika. “Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan soal ini,” katanya, “Hanya perasaan tidak berdaya seorang ibu yang tidak bisa berbuat banyak terhadap anaknya.”