Mentari telah hangat di Minggu atau Ahad pagi, menunjukkan kuasa yang Tuhan beri padanya. Oh, terang dan hangatnya itu akan terasa sempurna kalau saja berada di atas bukit yang penuh dengan tanaman hijau, bukan tumpukan sampah yang kian menggunung. Lebih lagi, tumpukan sampah tidak mudah untuk didaki.
“Kamu sering melakukan ini?” tanya seorang bocah laki-laki berbaju lusuh yang jelas tampak kebesaran untuk dirinya. Dia juga memakai tutup kepala berupa kain yang tak kalah lusuhnya. Tangan bocah itu membawa karung yang ia buka, agar bocah laki-laki lain di depannya bisa memasukkan apapun benda plastik yang ia temukan.
“Ya. Lumayan sering,” jawab Bima seraya memungut dan melempar botol plastik ke dalam karung yang dipegang Ivan.
Mereka hati-hati melangkah karena beberapa jenis sampah jelas tidak bersahabat; logam berkarat dan potongan kaca yang sulit terlihat, meski memang jarang terlihat karena menurut Bima sampah logam dan kaca punya kelas tersendiri di antara jenis sampah sehingga lebih cepat dipungut oleh para pemulung.
Ivan dan Bima sebenarnya tidak bisa menyangka bisa berhasil berada di Tempat Pembuangan Sampah ini. Ivan pikir ia dan Bima akan tertahan oleh Bi Anita yang sudah punya rencana sendiri untuk mereka, tapi ternyata….
Ketika Ivan bangun, ia temukan Bima sedang sholat. Ia menggeliat sebentar, sebelum bangkit dan menghampiri jendela. Di luar sana masih gelap, dan Ivan bergidik membayangkan dinginnya. Tapi kemudian sesuatu menarik perhatiannya; ia melihat di balik pagar rumahnya sepasang remaja berjalan melintas, berkostum olah raga. Itu memberi Ivan ide.
Ia berpaling dan melihat Bima hampir selesai sholat Subuh. Ia tunggu Bima selesai sebelum berkata, “Kita bisa bilang mau lari pagi, tapi kita pergi ke….” Ivan tidak menyelesaikan kalimatnya dan merasa yakin Bima mengerti maksudnya.
Bima menjawab Ivan hanya dengan anggukan, tidak lebih.
“Ayo, kita bilang ke Bi Anita,” kata Ivan seraya berjalan menuju koridor.
Bima bangkit dan mengikuti.
Mereka temui Bi Anita dan Bu Sari sedang duduk di meja makan. Sedang berbincang-bincang, dan berhenti ketika melihat Ivan dan Bima menuruni tangga.
Bi Anita tersenyum, “Kalian punya rencana buat hari ini?” tanya Bi Anita.
Ivan sedikit terperangah mendengarnya, karena tidak menyangka pertanyaan itu. “Aku dan Bima mau lari pagi. Tapi mungkin sampai agak siang.”
“Kalau begitu sarapan dulu, dan tunggu satu jam sebelum lari,” ujar Anita sambil bangkit dari duduk. “Bibi bikinin telur dadar, mau? Mak Wasri sedang ke pasar. Kamu juga mau, Bim?”
“Ya,” jawab Ivan dengan benak masih menelan perasaan terperangah karena tidak menyangka ia bisa lalui ini tanpa adu mulut terlebih dahulu dengan Bi Anita.
Sementara Bima hanya mengangguk.
“Nyenyak tidurnya, Bim?” tanya Bu Sari kepada Bima.
Bima mengangguk lagi, meski kali ini hati menyangkalnya. Ia sulit tertidur semalam.
“Duduk di sini. Mau minum dulu?”
“Ya,” jawab Bima seraya mendekat dan duduk di kursi di samping ibunya, sementara Bu Sari beranjak membawakan Bima segelas air.
Bima perhatikan ibunya sudah mandi dan sudah menanggalkan gamis birunya, kembali ke seragam laundry yang kemarin beliau pakai. Setelah melihat dirinya minum, ibunya mengusap kepala Bima dan mengecupnya.
“Mau lari pagi ke mana?” tanya Bu Sari.
Ivan ikut duduk di meja makan. Memperhatikan.
“Umm, Ivan yang mengajak. Bima tidak tahu,” jawab Bima sambil melirik Ivan.
“Paling keliling komplek,” tanggap Bi Anita yang sedang mengocok telur di dalam mangkuk.
“Tapi sampai siang,” timpal Ivan. “Aku mau tunjukkan Bima sesuatu.”
“Sesuatu apa?” tanya Bu Sari sambil tersenyum menatap Ivan. Menatap dengan tatapan teduh dan terasa oleh Ivan penuh kasih sayang.
Ivan termenung sejenak. “Ada deh!” ujarnya agak tersipu.
“Huu!” seru Bi Anita seraya mengacak rambut Ivan sambil lalu. Ia simpan mangkuk telurnya di dekat kompor, mengambil penggorengan dan melumurinya dengan margarine, lalu mulai menggoreng setelah menyalakan kompor.
“Sar, kamu mau juga telurnya? Sekalian kita sarapan sama-sama?” tanya Anita, agak ragu, seraya sejenak melirik Sari. Ia tersenyum lega ketika melihat Sari tersenyum dan menjawab.
“Ya, tentu. Terima kasih.”
Setelah apa yang terjadi semalam, Anita merasa mesti lebih hati-hati terhadap Sari.
Anita ingat semalam, setelah melepas pelukannya, ia berkata kepada Sari, “Sebaiknya kamu segera tidur.”
“Ya,” jawab Sari serak, “Aku akan tidur dekat Bima.”
“Ya, tentu. Tapi, Ehmm, boleh aku ikutan? Maksudku…, sepertinya setelah malam ini aku bakal sulit tidur sendirian.”
“Iih, Neng Nita teh sudah dewasa!” seru Mak Wasri diikuti tawa kecil.
Sari tak pelak ikut tergelak, meski hanya berupa desahan dan senyum kaku. “Tidak apa-apa, Mak. Biar Sari yang menjaga Neng Nita,” kata Sari lirih dengan sedikit bumbu canda di intonasinya.
Anita tersenyum mengenangnya dan berpikir kalau semalam berakhir cukup baik. Meski, ketika ia terbangun, ia temukan Sari telah mandi dan berganti pakaian.
Telur dadar terhidang, bersama nasi yang sebelumnya telah ia tanak dengan rice cooker. Ivan dan Bima tampak agak cepat-cepat makannya.
“Kalian terburu-buru mau ke mana?” tanya Bi Anita.
“Mau lihat sesuatu,” jawab Ivan dengan mulut penuh.
“Telan dulu! Sesuatu apa?”
“Sesuatu aja. Bi Anita nggak akan mengerti.”
Anita terperangah dan sejenak melirik Sari, dan Sari hanya melebarkan senyumnya tanpa berkata apa-apa.
“Oke. Bawa pager-mu dan tunggu satu jam setelah makan.”
“Setengah jam,” tawar Ivan.
“Satu.”
“Setengah!”
Anita memicing menatap keponakannya yang dibalas Ivan dengan tatapan yang sama.
Anita menyerah dan mendengus, “Baiklah, baiklah,” lalu kemudian ia berpaling ke Bima, “tapi Bim, apa kamu mau lari pagi pakai itu?” Anita menatap baju koko yang masih dipakai Bima.
“Sebentar, sepertinya aku menyimpan baju training punya Greg.” Anita beranjak pergi, dan kembali membawa sepasang baju olah raga abu-abu.
“Sepertinya sama ukurannya,” tanggap Ivan.
Bima agak sungkan menerima baju itu. “Umm, nggak apa-apa aku pakai?” tanya Bima ke Ivan.
Ivan hanya mengangkat bahu seolah tak peduli. Agak berbeda ketika Bima sudah memakai baju olah raga itu; ia terperangah dan berkomentar, “Kamu versi gelap kakakku.”
Anita tertawa.