Gelap bukanlah hal yang perlu ditakutkan, karena sifat alamiah jagat raya adalah gelap. Gelap menjadi terang hanya karena benda-benda kecil di sekitarnya yang Tuhan beri mereka kemampuan bercahaya. Seperti halnya lilin yang Bima pakai membantunya menyiapkan pelajaran esok. Jika lilin itu ditiup, maka gelap akan menelannya, Bima mengerti itu, dan dia memang tidak takut gelap. Yang tidak Bima mengerti, jika gelap seharusnya hal yang biasa, kenapa kita tidak terbiasa melihat dalam gelap?
Sejenak ia melirik ibunya sedang melipat baju seragamnya yang katanya sudah dicuci tadi siang di rumah Ivan. Ada keinginan untuk bertanya, tapi ia tahan karena mereka sudah terlalu lelah.
Tungku kecil telah dinyalakan untuk menghangatkan ruangan. Bau bakaran karet ban bekas sebenarnya cukup menyengat, tapi lembaran seng yang dipasang miring di atasnya melempar asap tungku itu keluar. Bima kembali ke buku tulisnya karena detak waktu yang ada di benaknya mengatakan ibunya sebentar lagi akan menyuruhnya tidur.
Pelajaran esok sebenarnya sudah selesai ia siapkan sebelum sholat Isya. Sedikit waktu yang ada sebelum tidur ini, ia manfaatkan untuk melanjutkan ceritanya.
Ahmad tarik tali kekang kudanya, membuat kudanya berjalan mundur. Ia turun dan menambatkannya ke sebongkah batu. Ia rapatkan badannya ke tanah di puncak bukit, menyaksikan pertempuran di dasar lembah. Ia tidak bisa menyangkal pungkiri apa yang dilihatnya; kota Baraqah telah runtuh. Ketika melihat bendera panji kerajaan kesultanan di puncak istana diturunkan, Ahmad tidak bisa lagi berdiam diri.
Entah telah gugur atau telah melarikan diri, Sang Sultan bukan lagi tumpuan harapannya. Ia mesti kembali ke desanya membantu ayahnya. Entah mempertahankan desanya atau melarikan diri. Mungkin melarikan diri lebih baik. Ayahnya akan tahu apa yang mesti dilakukan setelah melarikan diri, meski pada dasarnya Ahmad bisa menduga langkah apa yang akan diambil ayahnya. Mereka akan menyusun kekuatan untuk menyerang balik.
Sesampainya di desanya, Ahmad tidak bisa menahan pilu melihat desanya telah hancur menjadi puing. Tidak ada siapa-siapa lagi di sana, selain tubuh-tubuh tak bernyawa yang berserakan, yang sebagiannya Ahmad kenali. Dada Ahmad berdebar kuat, berharap tidak ia temukan diantaranya ayah dan ibunya. Ia turun dari kudanya dan menuntunnya menuju rumahnya.
Rumahnya telah terbakar habis. Itu membuat Ahmad tak kuasa menahan tangis. Lututnya yang mendadak lemas membuatnya berlutut di hadapan yang dulunya adalah pintu rumahnya.
“Ayah… Ibu…,” isaknya.
Bima berhenti menulis. Entah kenapa mendadak ia merasa aneh. Ia melirik ke ibunya dan melihat ibunya menatapnya… dan tersenyum.
“Kamu suka menulis cerita, Bim?” tanya ibunya pelan.
Bima agak terkejut. Darimana Ibu tahu?
“Bi Anita cerita. Dia menemukan bungkus rokok yang kamu berikan sama Ivan,” jawab Bu Sari seolah tahu apa yang ada di benak Bima.
Ivan kampret! maki Bima dalam hati. Tapi, ia tidak marah sebenarnya, malah ada perasaan senang dan bangga, tapi yang lebih besar dari itu adalah penasaran. Apa pendapatnya tentang ceritaku?
“Apa… nanti Ibu boleh baca?”
Bima sesaat terperangah. “Umm, nanti kalau sudah jadi,” jawab Bima.
Bu Sari tersenyum. “Kamu tahu, Bim? Kamu bisa cerita apa saja ke Ibu. Ibu ingin kamu terbuka sama Ibu.”
Bima mengerenyit. Alarm dalam benaknya menyala. Apa Ibu tahu soal rencana Ivan?
“Misalnya…, kamu pernah bermimpi, Bim?” tanya Bu Sari.
Bima mengangkat alis. Alarm di benaknya mendadak mati. “Pernah. Tapi waktu bangun, selalu lupa.”
“Kalau kamu ingat, kamu mau cerita?”
“Kalau selalu lupa?”
Bu Sari tertawa pelan, tapi kemudian menarik nafas panjang. Lalu menatap Bima dengan tatapan yang teduh, seolah penuh harapan. “Akan ada mimpi yang akan kamu ingat. Mungkin bukan mimpinya, tapi akan ada bekasnya.”
Bima termenung. “Bima ingat, dulu pernah bermimpi bertemu laki-laki yang menakutkan. Saking menakutkannya, dia punya kumis lebat terbuat dari besi. Kalau ingat itu sekarang, Bima malah jadi ketawa.”
Bu Sari tertawa, lalu berkata, “Mungkin sekarang kamu sebaiknya cepat tidur, siapa tahu nanti bermimpi indah. Kalaupun mimpinya ketemu laki-laki berkumis besi lagi, tinggal tunjuk dia dan tertawakan.”
Bima tergelak sebentar, sebelum menutup buku tulisnya. Lalu, ia beringsut dan berbaring di dipannya.
Bu Sari mendekat. Beliau selimuti Bima sebelum meniup lilinnya. “Jangan lupa berdoa.”
Bima pun berdoa.
Gelap menelan mereka berdua. Tapi mereka tahu, mentari akan datang membawa terang.
Sementara dalam gelap, Bima tidak segera bisa tertidur. Benaknya mengenang saat mereka berpisah dengan Ivan dan Bi Anita.
Bima ingat sekembalinya ia dan Ivan dari “pura-pura lari pagi”, ibunya segera mengajaknya pulang. Sebenarnya tidak segera, karena ketika Bima temui ibunya dan Bi Anita, ibunya sedang mengajari Bi Anita pakai kerudung. Mereka sepertinya sedang bersenang-senang. Hanya ketika melihat Bima, ibunya tersenyum dan bertanya. “Kita pulang sekarang, Bim?”
Bima ingat jelas saat itu, Bi Anita mendadak sedih seolah tidak mau berpisah. Tapi jelas itu tidak bisa dicegah. Segalanya ada saatnya, segalanya ada akhirnya. Hanya saja, yang menarik bagi Bima, Bi Anita dengan mudah mengutarakan perasaannya.
“Aku tidak ingin berpisah,” katanya lirih, “Kamu tahu itu?”
“Ya, aku tahu,” jawab ibunya Bima. “Tapi itulah sifat Kebahagiaan. Sebentar, dan harus berakhir meski tidak ingin.”
“Tapi kelak kita harus melakukan ini lagi!” seru Bi Anita seolah memberi ultimatum.
“Ya. Kelak. Tapi tidak sekarang. Segalanya ada saatnya…, dan ada tahapan yang mesti ditempuh.”
Bi Anita mendesah, “Ya…. Proses…. Aku mengerti.”
Ibunya dan Bima lalu berkemas. Tidak banyak sebenarnya. Pakaian Bu Sari yang diberi Bi Anita semuanya dititipkan di Bi Anita. Yang Bu Sari bawa hanya kerudung yang sedang dipakainya. Bima sempat hendak mengembalikan baju olah raga milik kakaknya Ivan, tapi Ivan mencegahnya dan bersikeras Bima memakainya. Yang Bima bawa saat pulang hanyalah tas sekolah yang bertambah isinya dengan sepatu, baju koko dan celana corduroy, juga seragam yang telah dicuci menggunakan mesin cuci Bi Anita.
Saat pamitan di teras rumah Bi Anita, ibunya menjulurkan tangan kepada Bi Anita.
“Aku pulang dulu, ya. Terima kasih atas segalanya. Semoga Allah membalas segala kebaikan kamu dengan kebaikan yang lebih,” ucap Bu Sari.
Bi Anita menjabat tangan ibunya, tapi yang tidak disangka Bima, Bi Anita menarik tangan itu dan memeluk ibunya. Tampak mata Bi Anita berkaca-kaca.
“Aku yang berterima kasih. Banyak hal yang aku pelajari dan benar-benar membuka mataku…. Intinya, aku tidak menyesal berteman denganmu.” Bi Anita masih memeluk Bu Sari saat mengatakan itu.
Setelah Bi Anita melepas pelukannya, giliran Bima menjulurkan tangan, dan ketika Bi Anita menyambut tangannya, Bima mencium tangan Bi Anita. “Terima kasih, Bi Anita,” kata Bima.
“Sama-sama, Bim. Sering-sering, ya, main ke sini. Jaga ibumu baik-baik.”
Bima mengangguk. Lalu ia melirik ke Ivan yang hanya tangan kanan yang terangkat sebagai tanda perpisahan. Bima pun melakukan hal yang sama. “Sampai besok di sekolah.”
“Ya, tentu,” jawab Ivan. “Eh, Bim, tunggu.”
Saat itu Bima dan ibunya hendak memutar badan, tapi urung setelah mendengar Ivan memanggilnya.
Bima lihat Ivan membuka jam tangannya dan menjulurkannya ke Bima. “Buat kamu,” katanya.
Bima menatap jam tangan itu dan kemudian menatap Ivan. Ia memicingkan mata dan berkata, “Kamu mau memberiku masalah? Aku akan disangka mencurinya kalau aku pakai itu.”
“Kamu tidak usah memakainya,” jawab Ivan seraya meraih tangan Bima dan memaksakan pemberiannya ke telapak tangan Bima. “Lagipula akan ada saat kamu bisa memakainya nanti.”
Bima terperangah. “Eh, ummm, terima kasih.”
Ivan hanya mengangkat bahu dan melepas tangan Bima.
Bu Sari tersenyum. “Kami pulang dulu. Assalamualaikum.”
Bima juga mengucapkan salam. Lalu ia rasakan bahunya dirangkul Bu Sari dan mereka berpaling menuju gerbang pagar.
“Waalaikumsalam,” jawab Bi Anita. “Sar, setidaknya ijinkan aku mengantarmu.”
“Nggak usah. Terima kasih. Aku perlu berduaan dengan Bima.”
Di luar pagar, mereka berjalan menjauh terlebih dahulu dari rumah Bi Anita, sebelum Bu Sari bertanya ke Bima, “Bagaimana menurutmu, Bim? Selama kita menginap di sana? Menyenangkan?”
Bima agak ragu menjawab, “Ya….”
Tangan Bu Sari menepuk-nepuk bahu Bima.
“Sebenarnya tidak juga,” ralat Bima yang mendapati tepukan tangan ibunya berhenti. “Tidak terbiasa, mungkin.”
“Terlalu silau, ya?”
“Ya, benar, Bu.”