Berkat jam pemberian Ivan, Bima bisa bangun lebih awal. Ia pergi ke mesjid untuk segera mandi dan menunggu sholat Subuh. Memang lebih gelap dari biasanya, tapi lampu mesjid memberi petunjuk arah mana yang mesti Bima ambil. Dan memang banyak rintangan sampah, tapi hanya perlu hati-hati melangkah untuk bisa mencapainya. Setelah selesai mandi, ia menunggu sholat Subuh di teras mesjid (karena teras mesjid satu-satunya tempat yang terang) sambil meneruskan ceritanya.
Rumahnya telah terbakar habis. Itu membuat Ahmad tak kuasa menahan tangis. Lututnya yang mendadak lemas membuatnya berlutut di hadapan yang dulunya adalah pintu rumahnya.
“Ayah… Ibu…,” isaknya.
Bima baca sebentar paragrap yang terakhir ia tulis, berpikir satu detik, dan kemudian menulis.
Ahmad biarkan air matanya berjatuhan. Dadanya terasa sesak. Tapi, kemudian ia mendadak berhenti menangis. Melihat air matanya berjatuhan ke tanah tandus, ia menyadari sesuatu. Ia segera berdiri dan memperhatikan tanah di depan puing rumahnya.
Ia melihat jejak ayahnya!
Dari jejak ayahnya, Ahmad bisa menduga kalau ayahnya sedang bertarung. Dan ayahnya tidak sendirian. Ahmad bisa bayangkan, ketika ayahnya datang menembus pasukan bertanduk itu dari belakang barisan mereka, menuju rumahnya, dan seiring dengan itu penduduk desa yang selamat mengikutinya, merapatkan barisan, mempertahankan desa.
“Tapi bagaimana dengan Ibu?” gumam Ahmad.
Ia perhatikan lagi jejak-jejak di tanah itu, lalu tampak jelas olehnya jejak barisan ayahnya membentuk lingkar lengkungan seolah memunggungi orang yang perlu dilindungi. Dan memang, Ahmad menyaksikan adanya jejak-jejak yang lebih kecil di belakang jejak barisan ayahnya. Beberapa jelas tampak jejak anak-anak, tapi ada satu jejak yang membuat Ahmad merasa lega. Ia melihat jejak yang ia kenali sebagai jejak ibunya, dan dari cara ibunya berdiri, Ahmad bisa membayangkan ibunya sedang merentangkan busur, membantu barisan ayahnya melawan musuh. Ahmad juga menyadari barisan ayah dan ibunya itu bergeser, bergeser dan bergeser hingga mencapai batas desa. Ahmad menyadari jejak itu memiliki tujuan tertentu. Ia berdiri tegak dan pandangannya berpaling ke luar desa dan melihat bongkahan batu karang yang tidak jauh dari desa. Ahmad segera mengerti apa yang sedang dilakukan ayahnya.
Segera Ahmad berlari menuju batu karang itu. Di batu karang itu terdapat sebuah gua kecil yang biasa disebut penduduk desa, “lubang cacing”. Gua itu merupakan pintu masuk rangkaian gua nan panjang di bawah tanah. Di dalam gua itu terdapat sungai bawah tanah yang merupakan sumber air penduduk desa. Tidak ada yang mengetahuinya selain penduduk desa.
Setelah mendekati mulut ‘lubang cacing’ itu, Ahmad melihat banyak tubuh-tubuh musuh berserakan. Ayahnya memanfaatkan mulut gua itu untuk mempersempit daya serang musuh, membuat musuh segera berpikir untuk mundur. Tapi dari jejak yang Ahmad perhatikan, tidak ada jejak musuh yang mundur. Semuanya mati di sini, atau….
Ahmad segera memasuki gua itu. Beberapa mayat musuh tampak bergelimpangan di dalam gua, tapi tidak terlalu dalam. Serangan mereka hanya sampai beberapa langkah dari mulut gua, dan Ahmad bersyukur tak ada mayat yang Ahmad kenali.
Gua itu cukup gelap dan Ahmad berniat menyalakan obor untuk membantunya menyusuri jejak ayahnya. Hanya saja, mendadak perhatiannya tersita oleh sesuatu yang mengkilat di dinding gua. Ia hampiri benda mengkilat itu dan menemukan kalung ibunya tertambat di sebongkah batu. Kalung itu terlilit sehelai kain yang bernoda merah. Ahmad kenali kain itu merupakan robekan kain hijab ibunya. Ia buka lilitan kain itu dan menghamparkannya di telapak tangan. Ia melihat tulisan ibunya yang sepertinya ditulisi dengan darah. Karena gelap, ia tidak bisa membacanya. Ia mesti mendekat ke mulut gua yang lebih terang.
“Ibu harap kamu baik-baik saja, Ahmad, dan menemukan ini. Kami baik-baik saja. Kami akan ke Hutan Nabi Ayub. Susullah kami ke sana. Hati-hati, dan jangan ragu. Allah bersama kita!”
Ahmad merunduk dan bersyukur.
“Alhamdulillah…. Mereka masih hidup…, ya, setidaknya mereka masih hidup!”
Bima hentikan goresan pena di bukunya. Ia merasa puas. Ia baca ulang, tapi tidak sempat selesai karena terdengar suara langkah.
“Assalamualaikum. Sudah bangun, Bim?” suara Pak Anwar muncul dari gelap, lebih dulu daripada sosoknya yang berjalan menghampiri teras mesjid. Ia memakai kopiah hitam dan baju koko berikut sorban putih.
“Waalaikumsalam. Sudah, Pak,” jawab Bima yang tanpa sadar mengusap lengan kirinya, tepat di bagian jam pemberian Ivan yang sempat melingkar selama ia tidur. Saat ini ia tidak memakainya; ia simpan jam itu di tas koper ibunya.
“Lagi mengerjakan PR? Harusnya kemarin, kan? Mumpung libur,” kata Pak Anwar sambil menghampiri pintu mesjid dan membuka kuncinya.
Bima sempat hendak menyangkal perkataan Pak Anwar, tapi urung. Ia diam saja, membiarkan Pak Anwar dengan asumsinya.
“Mau adzan, Bim?” tawar Pak Anwar kepada Bima setelah membuka pintu dan hendak masuk.
“Ya. Siap, Pak,” jawab Bima dan menghampiri mikrofon mesjid ketika melihat Pak Anwar menyalakan sound system mesjid.
“Allahuakbar! Allahuakbar!”
Sholat Subuh telah didirikan, dan Bima hendak pulang untuk sarapan, lalu berniat berangkat sekolah. Tapi sebelum itu, ia menunggu Pak Anwar selesai berdzikir dan berdoa, lalu bertanya, “Maaf, Pak, boleh tanya?”
“Tanya apa?” Pak Anwar tersenyum.
“Bapak tahu cara mendapatkan tanah liat di sekitar sini?”
Mendapati pertanyaan itu, Pak Anwar berpaling dari Bima, celingak-celinguk mencari seseorang.
“Sep, lain maneh sok ngajual taneuh liket? (Sep, bukankah kamu jual tanah liat?)” tanya Pak Anwar setelah menemukan seorang jemaat yang masih duduk bersimpuh di sisi mesjid. Seorang pria paruh baya yang kurang-lebih seusia dengan Pak Anwar.
“Aya, Kang. Periyogi sakumaha? (Ada, Bang. Perlu berapa?)”
“Cing menta lah sakilo mah, (Aku minta lah sekilo,)”
“Mangga, Kang. Engke siang atuh nya, ku abdi dikintun ka bumi. (Baik, Bang, Nanti siang saya akan antar ke rumah.)”
“Nuhun, nya, Sep. (Terima kasih, ya, Sep)”
“Muhun, Pa Aji. Mun kitu mah, abdi ti payun. (Baik, Pak Haji. Kalau begitu, saya duluan.)”
Orang itu tampak berdiri dan meninggalkan mesjid seolah bergegas melaksanakan permintaan Pak Anwar.
“Tuh, nanti siang ke rumah, ya, Bim. Apa buat tugas sekolah?”
“Sebenarnya saya dan Ivan sedang melakukan percobaan, Pak. Membuat alat cetak untuk membentuk bahan plastik.”
“Oh, kalau begitu nanti kamu sama Ivan datang ke rumah, ya?”
“Ba-baik, Pak. Insya Allah.”
Satu jam kemudian, Bima telah dalam perjalanan ke sekolah. Di lubang tembok pembatas, Ivan telah menunggu.
“Soal bangun pagi sepertinya aku mengalahkan kamu,” kata Ivan bangga.
Mata Bima memicing, “Pagi-pagi sudah ngajak berantem? Paling kamu bangun pagi karena dipaksa Bi Anita. Ya, kan?”
Ivan meringis. “Ya, kamu benar. Bibi mesti lebih pagi ke rumah sakit.”
Mereka memulai langkah menuju sekolah.
Sebelum keluar dari gang, Bima sempat terkekeh sendiri.
“Apa yang kamu tertawakan?” tanya Ivan heran.
“Kamu tahu? Ternyata Bahasa Indonesia itu bahasa yang terlalu… apa, ya? Selalu melihat hal yang negatifnya.”
Ivan mengerenyit heran, “Maksudmu, pesimis?”
“Mungkin, entahlah. Tapi kamu tahu kalau orang yang tidak bisa melihat dekat disebutnya ‘rabun dekat’, ya, kan? Sementara aku pernah lihat di kamus, rabun dekat itu Bahasa Inggrisnya, far sighted—hanya bisa melihat jauh. Jadi Bahasa Inggris lebih melihat kemampuan melihat jauhnya daripada tidak bisa melihat dekat. ‘Rabun dekat’ terkesan pesimis, kan Lalu kata ‘Rumah Sakit’—apa maksudnya orang yang sehat terus masuk ke sana dan keluar menjadi sakit?”
Ivan tergelak. “Iya juga, ya. Kenapa nggak disebut Rumah Sehat?”
“Atau Rumah Sembuh,” tambah Bima.
Mereka sampai di jalan dan belok ke kiri menuju sekolah.
“Kamu bawa batunya? Insya Allah nanti siang tanah liatnya ada di Pak Anwar,” kata Bima.
“Terus terang aku belum mengerti?” tanya Ivan, “Bagaimana kamu mau membuat tiruannya?”
“Aku pernah lihat di tempat rongsok, tanah liat yang masih basah ditekan oleh benda yang mau kita tiru, lalu kita tekan lagi sisi satunya dengan tanah liat lagi, terus dibakar atau dijemur sampai kering. Setelah kering, kita buka lagi tanah liat itu, jadi sebuah cetakan benda yang mau kita tiru, kan?”
“Lalu?”
“Lalu kita masukkan bijih plastik ke dalam cekungan di tanah liat itu sambil membakarnya… juga menekannya supaya semua sudut cetakannya terisi.”
“Kenapa nggak pakai resin?”
Mendadak Bima dan Ivan kaget. Ia berpaling ke belakang dan melihat Pak Ridwan sedang menuntun sepedanya, berjalan mengikuti mereka.
Pak Ridwan tertawa melihat mereka kaget.
Tapi, Bima segera menguasai diri dan bertanya, “Resin? Apa itu, Pak?”
“Semacam plastik juga, atau lebih tepatnya mungkin fiber glass. Bentuknya cair, tapi ketika diberi hardener… semeacam katalis, dia akan mengeras,” jawab Pak Ridwan.
“Katalis?” Bima mengatakannya hanya karena istilah itu sama dengan yang Ivan sebut untuk berlian-berliannya.
“Katalis itu zat yang bisa mempercepat terjadinya reaksi. Memangnya kalian mau buat tiruan apa? Mainan?”
“Ya, semacam mainan. Mendapatkannya di mana, Pak?” tanya Ivan.
“Di toko bahan bangunan. Tapi sebaiknya hati-hati. Mau Bapak bantu?”