FATEBENDER

DMRamdhan
Chapter #20

Inspirasi

Cetakan tanah liat yang Bima buat belum kering benar, tapi Bima berhasil membuka dan mengeluarkan batu berlian berselimut plastik dari dalamnya. Ia kembalikan batu berlian itu kepada Ivan dan menutup kembali cetakannya.

“Jadi kita masukan cairan resin itu lewat lubang dari lidi itu, ya?” kata Ivan mulai mengerti. Ia kembalikan batu berliannya ke dalam kantung kecil berwarna hitam di dalam tasnya.

“Tapi kita membutuhkan alat suntik buat memasukan cairan resinnya,” ujar Bima.

A syringe?”

A, apa?”

A syringe. Alat suntik.”

“Iya, alat suntik. Aku juga bilang begitu, kan?”

Ivan memicing menatap Bima.

Bima balas memicing. “Jangan sok Bahasa Inggris-Bahasa Inggrisan sama aku! Aku nggak mengerti!”

Tiba-tiba terdengar tawa Pak Anwar di halaman. Beliau sedang cuci kaki dan cuci tangan. Beliau tampak bermandikan peluh. Sepertinya telah selesai memperbaiki pagar di kebunnya.

“Kalian benar-benar lucu, ya?” seru beliau di akhir tawanya. Beliau mendekati mereka dan duduk di bangku kayu. “Bagaimana? Sudah jadi?”

“Belum, Pak. Kami perlu alat suntik,” jawab Bima.

“Nanti aku tanya sama Bibi,” tanggap Ivan. “Dia punya banyak.”

Bima menarik nafas panjang. “Baiklah. Kita sudahi saja hari ini. Kalau ada, besok kamu bawa alat suntiknya.”

“Tapi pagerku belum berbunyi,” kata Ivan. “Bibiku belum jemput.”

“Sesekali kamu yang menunggu Bi Anita, nggak apa-apa, kan?”

Ivan mengerucutkan bibirnya.

“Kita bereskan dulu,” kata Bima sambil memunguti serpihan tanah liat di meja teras Pak Anwar. “Kamu mau bawa semua tanah liatnya?”

Ivan terperangah. “Ehm, bolehkah?” Ia melirik antara Bima dan Pak Anwar.

Pak Anwar tersenyum. “Bawa saja, Van.”

“Eh, terima kasih,” ujar Ivan senang.

Bima sodorkan bongkah persegi tanah liat yang masih utuh kepada Ivan. Lalu memunguti serpihan tanah liat dan membungkusnya dengan plastik tanah liat yang sebelumnya digunakan membungkus batu berlian.

Ivan bawa semua sisa tanah liatnya, entah untuk apa, tapi Ivan sangat senang. Sementara cetakan dan cairan resinnya, Bima yang bawa. Lalu mereka berpamitan kepada Pak Anwar.

Pak Anwar memanggil istrinya sebelum Ivan dan Bima bisa pulang. Mereka juga berpamitan kepada Bu Anwar.

Sepeninggal Bima dan Ivan, Bu Anwar melirik Pak Anwar dan melihat suaminya tersenyum.

“Kenapa, Pak?”

“Nggak apa-apa. Cuma, aku lihat, Bima punya ciri sosok pemimpin.”

“Cocok ya, kalau jadi tentara?”

“Ya, tapi jadi pemimpin bukan cuma di ketentaraan, Bu. Bima sepertinya… tidak bisa dibatasi rantai komando,” jawab Pak Anwar sambil beralih ke pintu rumah.

Bu Anwar mengerenyit tidak mengerti.

Bima juga sama tidak mengerti, tapi tidak sama dengan apa yang Bu Anwar tidak mengerti. Bima tidak mengerti melihat Ivan berjalan sambil meremas-remas segenggam tanah liat. Dilihatnya temannya itu membentuk sesuatu yang tak jelas, kemudian meremasnya lagi, membentuk lagi, kemudian meremasnya lagi. Berulang-ulang. Tapi ia tidak berkomentar apa-apa. Bima cukup mengerti kalau tiap orang punya seleranya masing-masing.

Sebelum mengantar Ivan kembali ke sekolah, Bima mampir ke rumahnya untuk menyimpan cetakan tanah liat dan cairan resinnya. Ivan tidak ikut ke rumahnya, tapi menunggu di teras mesjid sambil memainkan tanah liatnya. Ketika ia kembali ke mesjid, ternyata Ivan tidak lagi sendirian; ibunya sudah berada di sana menemani Ivan. Sepertinya Bu Sari pulang lebih awal. Bima hentikan langkahnya, tidak segera mendekat. Ia perhatikan sejenak ibunya dan Ivan.

Bima melihat ibunya tersenyum ketika Ivan memperlihatkan beberapa bentuk tanah liat yang ia buat. Ia lihat ibunya berperan sebagai seseorang yang mendengarkan dengan tulus celoteh seorang bocah yang sedang memainkan mainan favoritnya. Memang, Bima melihat Ivan seperti anak kecil saat itu. Tampak lebih mendominasi pembicaraan, tertawa sendiri sambil mengacung-acungkan bentuk-bentuk tanah liat yang menurutnya terbaik. Ibunya hanya mendengarkan dengan baik, berkata seperlunya yang sepertinya sangat dibutuhkan Ivan.

Bima termenung. Apa yang Bima lihat jelas merupakan bentuk kerinduan Ivan akan sosok ibu. Ivan jelas membutuhkan perhatian yang hanya seorang ibu yang bisa memberinya. Bima merasakan sedikit kecemburuan tumbuh dalam hatinya, tapi bukan kecemburuan yang ingin segera mendekat dan merebut ibunya dari Ivan sambil berteriak, “Ini ibuku!” Oh, tidak. Tidak sama sekali. Bima cukup berbesar hati untuk berbagi kasih sayang ibunya dengan Ivan. Hanya saja, melihat ibunya menikmati celoteh dan sikap kekanak-kanakan Ivan saat ini, Bima mulai berpikir, apakah ibunya juga membutuhkan sifat kekanak-kanakan dari dirinya seperti apa yang ditunjukkan Ivan saat ini?

Apa yang dilihat Bima memberinya semacam inspirasi. Bima mulai mendekat.

Ibunya tersenyum padanya saat ia telah dekat.

“Ibu pulang lebih awal?” tanya Bima.

“Iya, Cik Arrisa ada keperluan keluarga, jadi tutup lebih awal,” jawab Bu Sari. “Kamu sudah lihat karya-karya Ivan ini, Bim? Bagus, kan?”

Bima perhatikan di teras mesjid telah berdiri beberapa bentuk kecil dari hewan-hewan. Bentuknya sebenarnya sederhana, tapi mewakili ciri khas tiap hewan, seperti gajah dengan telinga dan belalainya, atau jearapah dengan lehernya yang panjang. Tak perlu detil yang terlalu banyak untuk menunjukkan sesuatu—malah kesederhanannya membuatnya tampak bagus dan… imut. 

“Sebaiknya kamu jemur supaya kering, lalu dicat,” usul Bima.

Hmm, good idea!” seru Ivan.

“Ayo, aku antara ke depan sekolah,” kata Bima. “Sebelum Bi Anita datang.”

“Boleh Ibu ikut antar?” pinta Bu Sari.

Awalnya Bima merasa agak aneh, tapi kemudian kemungkinan bertemu dengan Bi Anita bisa jadi mendorong ibunya untuk ikut mengantar Ivan.

Ivan mengangguk antusias sambil membereskan hewan-hewan kecilnya. Bu Sari membantunya dengan mengeluarkan secarik kantung plastik.

Mereka bertiga berjalan menjauhi mesjid, menuju lubang di tembok beton pembatas, menuju jalan dan berbelok arah menuju sekolah Bima dan Ivan. Di sana mereka tidak melihat Bi Anita, tapi mereka bertemu Pak Ridwan yang baru keluar sambil menuntun sepedanya.

“Eh, Bu Sari,” Pak Ridwan tampak terkejut.

Lihat selengkapnya