Sorak-sorai membahana tiba-tiba di kelas lima ketika Pak Ridwan mengumumkan siswa dipulangkan lebih cepat karena guru-guru akan mengadakan rapat. Sementara Bima dan Ivan hanya saling melempar tatapan, tidak sampai bersorak. Mereka jadi punya waktu lebih untuk mengisi cetakan tanah liat itu dengan cairan resin. Ivan memang membawa alat suntiknya, berukuran cukup besar.
“Untuk apa?” tanya Bi Anita heran saat Ivan meminta alat suntik kepadanya.
“Untuk mengisi cetakan tanah liat pakai cairan resin,” jawab Ivan.
Bi Anita sebenarnya belum sepenuhnya mengerti, tapi segera memenuhi permintaan Ivan ketika melihat model-model hewan yang dibuat Ivan. Beliau terkesan.
Mereka berjalan keluar kelas setelah kelas sepi. Mereka keluar gerbang sekolah tanpa tergesa-gesa, malah terkesan menikmati jalan kaki mereka di hari yang masih relatif pagi. Mereka tidak terlalu banyak bicara.
Ivan menunggu di teras mesjid sementara Bima mengambil cetakan tanah liat dan cairan resinnya. Ketika Bima kembali, seperti kemarin, ia melihat Ivan tidak lagi sendirian di teras mesjid. Ibunya sudah duduk bersama Ivan di teras mesjid.
Bima mendekat sambil menatap heran ibunya. Bu Sari malah tersenyum, dan berkata, “Ibu juga sama pulang lebih awal. Cik Arrisa belum pulang dari urusan keluarganya. Jadi laundry-nya tutup.”
“Oh,” tanggap Bima yang kemudian meletakkan apa yang dibawanya dari rumah di teras mesjid.
“Kalian lagi buat apa?” tanya Bu Sari.
“Seperti yang Ivan buat kemarin,” jawab Bima, “tapi sekarang pakai cara mencetak bahan… resin—awalnya Bima mau pakai bijih plastik, tapi Pak Ridwan menyarankan pakai resin.” Bima tunjukkan botol besar berisi cairan bening, dan juga botol kecil yang bening juga namun agak kekuning-kuningan.
“Kalau itu, apa?” tanya Bu Sari menunjuk botol kecilnya.
“Katalis,” jawab Ivan, seolah tidak mau kalah dalam hal menjelaskan. “Untuk mempercepat proses pengerasan resinnya.”
Bu Sari mengangguk-angguk. Lalu membiarkan dua bocah laki-laki itu bekerja.
Bima telah menyiapkan sebuah wadah plastik berupa gayung yang telah patah gagangnya. Gayung itu tampak sudah dicuci bersih. Ia tuangkan cairan resin secukupnya ke dalam wadah itu, sementara Ivan telah membuka tutup botol katalisnya, siap menuangkannya.
“Sedikit saja,” kata Bima. “Terlalu banyak malah jadi susah mengering dan bergelembung.”
“Iya, aku tahu!” seru Ivan seraya menakar katalis itu dengan tutup botolnya, lalu menuangkannya ke dalam wadah.
Bima mengaduknya dengan tongkat bambu.
“Pelan-pelan. Mengaduk terlalu kuat juga bisa jadi banyak bergelembung,” komentar Ivan.
“Iya, tahu!”
Bu Sari tersenyum-senyum sendiri.
Setelah mengaduknya, Bima hisap cairan campuran itu menggunakan alat suntik. Ia serahkan alat suntik yang penuh itu ke Ivan, supaya Ivan yang mengisi cetakannya setelah Bima mengikat kuat-kuat cetakan tanah liatnya dengan tali plastik supaya tidak banyak yang bocor.
“Kalau ada yang bocor, nggak apa-apa?” tanya Ivan.
“Nggak apa-apa. Serpihan dari yang bocornya bisa dipotong kalau sudah kering,” jawab Bima.
“Okay, here we go,” kata Ivan seraya membuka ujung alat suntiknya, memperlihatkan jarum suntik yang besar dan tajam. Lalu ia memasukkan jarum suntik itu ke lubang di cetakan tanah liat. Ia tekan alat suntik itu hingga cairan campuran di dalamnya berpindah ke dalam cetakan tanah liat yang dipegangi Bima.
“Cukup. Cukup,” kata Bima saat melihat ada cairan yang mulai tumpah dari lubang cetakan. Ivan berhenti menekan dan mencabut jarum suntiknya.
“Cepat tutup lagi jarum suntiknya!” seru Bu Sari. “Ibu nggak tahan lihat jarum suntik.”
Ivan menurut dan segera menutup jarum suntiknya. “Sisanya buat apa?” tanya Ivan.
Bima hanya mengangkat bahu. Perhatiannya terpusat pada usahanya mengikatkan tali plastik mengelilingi cetakan tanah liat itu hingga lubangnya tertutup rapat.
“Sekarang tinggal tunggu kering,” kata Bima sambil meletakkan cetakan tanah liat yang telah berisi itu di teras mesjid.
“Berapa lama?” tanya Bu Sari.
“Dua puluh empat jam,” jawab Bima. “Kata Pak Ridwan.”
“Lamanya,” keluh Ivan.
“Halo, Sari.”
Tiba-tiba mereka bertiga mendengar suara seseorang.
Mendadak pagi yang cerah itu berubah suram. Nafas Bima mendadak terasa berat karena yang memiliki suara itu adalah laki-laki tinggi besar yang sudah dua kali Bima bertemu dengannya. Sosok raksasa yang terselip di sudut bibirnya sebatang rokok. Dia membuka kacamata hitamnya dan menyelipkannya di leher kaus hitamnya. Dan dia tahu nama ibunya.
“Ya-Yanto!” pekik Bu Sari tertahan. Beliau beranjak cepat. Berdiri. Badan dan tangan beliau menghalangi Bima dan Ivan dari sosok raksasa itu. “Bagaimana kau bisa…”
“Menemukan kalian?” sosok raksasa itu menyambung kalimat Bu Sari sambil melepas batang rokoknya dari mulutnya. “Ayolah, ini Yanto yang kau bicarakan.” Ia merentangkan dua tangannya, penuh keangkuhan.
“Kapan kamu keluar?” tanya Bu Sari tajam.
“Dari penjara, maksudmu?” kata raksasa itu ringan, seolah sengaja menebar rasa takut dengan menyebut kata “penjara”.
“Dua bulan lalu,” jawabnya sambil mengalihkan tatapannya ke Bima yang terhalang tangan ibunya. “Dan kamu pasti Bima?”
“Menjauh darinya!” pekik Bu Sari.
“O’ya? Dan kamu mau apa? Mencegahku?” Raksasa itu mendekat. “Hey, Bim, bisa tolong beliin rokok?” Dia merogoh sakunya dan mengeluarkan selembar uang.
“Jangan turuti dia, Bima!” desis Bu Sari.
“Oh, ayolah, Sar. Apa kamu ingin mereka melihat apa yang hendak aku perbuat padamu?” kata raksasa itu, dingin dan datar, yang seketika menghantam dada Bima.
Bima melirik wajah ibunya. Tampak tatapannya penuh kebencian, tapi juga penuh ketakutan. Belum pernah ia melihat ibunya seperti itu, tapi jauh dari itu, Bima juga bisa merasakan hawa tidak berdaya yang kental. Bima lihat ibunya menggigit bibirnya sendiri.
“Nih, tolong belikan rokok. Nanti kembaliannya buat kamu,” kata raksasa itu sambil menyodorkan selembar uang kepada Bima.
“Pergilah, Bim,” desah Bu Sari.
“Tapi, Bu….”
“Ibu akan baik-baik saja.”
Takut dan ragu membuat Bima meraih uang itu, dan mulai melangkah melewati si rakasasa.
“Rokoknya yang seperti ini, ya,” kata rakasasa itu sambil menyodori Bima batang rokok yang masih menyala. “Kamu mau menghisapnya juga nggak apa-apa.”
Bima raih batang rokok itu.
“Bajingan kau!” desis Bu Sari nyaris tak terdengar.
“Belinya yang lama, ya,” seringai raksasa itu. “Kamu juga ikut dia, Cah,” katanya kepada Ivan.
Ivan yang ketakutan segera mengekor Bima.
“Siapa dia?” tanya Ivan kepada Bima.