FATEBENDER

DMRamdhan
Chapter #22

Menari Bersama Kegelapan

Finish, good lady; the bright day is done,

And we are for the dark.

--William Shakespeare—

 

Adzan Isya sebentar lagi berkumandang. Mesjid tidak akan seramai waktu Maghrib, apa lagi pada hari-hari tertentu, jemaat yang ada di sholat Isya, hanya Pak Anwar dan Bima. Maka, saat-saat mesjid sepi itu, Bima mengajak ibunya ke mesjid. Menghadap Pak Anwar.

Terdapat bengkak di wajah Pak Anwar. Memar membiru di rahang kiri beliau, dan selembar plester menempel di sudut bibir beliau. Bima yakin beliau kesakitan saat memaksakan senyum, tapi beliau teruskan tersenyum.

“Jangan terlalu dipikirkan,” kata beliau. “Justru aku melihat kalian korban juga… Malah lebih parah. Aku hanya… di usia yang setua ini seharusnya bisa menyangka ada manusia macam dia, tapi… tetap saja tidak siap menghadapinya. Tidak akan pernah, sepertinya.”

“Tapi, tetap saja kami berhutang maaf,” kata Bu Sari sambil memasang tatapan teduh ke lantai mesjid. “Saya tidak cerita soal suami saya.”

“Dan aku mengerti itu. Sempat juga terpikir seandainya kamu cerita, mungkin aku bisa berbuat sesuatu supaya dia tidak akan menemukan kalian, tapi itu hanya angan-angan saja. Ketidaktahuan aku malah akan memperparah keadaan, dan sepertinya kamu sudah menyangkanya. Inikah alasan kamu selalu menolak bantuan kami?”

“Salah satunya, Pak Anwar,” Bu Sari mengalihkan tatapannya ke Bima yang duduk di sampingnya, beliau raih kepala Bima dan mengusapnya. “Saya saat ini hanya berusaha menjaga Bima… supaya tidak… terjatuh ke dalam kegelapan.”

Bima melirik ibunya dan mendapatkan senyum ibunya, meski tampak mata beliau berkaca-kaca.

“Bima tidak akan menjadi… menjadi seperti dia, Bu,” ucap Bima.

“Ibu tahu, Bim. Tapi… kita tidak bisa berlama-lama. Kamu mungkin belum mengerti, tapi kegelapan itu… ilusif; terlalu lama dalam kegelapan, maka kamu pun mulai terbiasa dan menyangka kamu bukan berada dalam kegelapan.”

“Begitu pula dengan Terang, Sar,” komentar Pak Anwar tiba-tiba. “Kamu pikir cahaya tidak ilusif? Rasanya cukup banyak orang yang terpapar cahaya ilahiah tapi yang mereka lihat hanya… fatamorgana, seperti di surat Nur ayat tiga-sembilan. Terpapar cahaya agama tapi korup dan menghakimi; merasa benar dan merasa surga adalah milik mereka. Sebaliknya, di ayat ke empat puluhnya, Allah gambarkan kegelapan demi kegelapan yang bertumpuk, tapi Allah gambarkan orang dalam kegelapan itu ‘hampir’ tidak bisa melihat tangannya; yang artinya dia masih punya harapan untuk berusaha keluar dari kegelapan itu.”

Bima berpaling menatap Pak Anwar, begitu pula Bu Sari.

“Silau dan gelap sama-sama sulit melihat, dan mudah untuk lupa kalau kita terus bergerak menuju Allah dan Hari PenghakimanNya. Suka atau tidak.”

Sementara itu di rumah Ivan.

Ivan ceritakan semuanya kepada Bi Anita setelah makan malam. Tidak ada yang ingin Ivan sembunyikan tapi tidak ingin juga disangka melebih-lebihkan. Oh, dia punya pengalaman bagaimana rasanya tidak dipercaya, meski telah menceritakan yang sebenarnya. Ia tatap Bi Anita setelah selesai menceritakannya. Tampak Bi Anita merundukkan tatapan matanya dan berpikir. Telunjuk dan ibu jarinya menjepit dagunya.

“Kamu cerita sama Pak Ridwan?” tanya Bi Anita kemudian.

Ivan menggeleng. “Aku merasa mesti cerita sama Bibi dulu. Aku… takut kalau Pak Ridwan akan bertindak yang bisa membahayakan Bima.”

Bi Anita awalnya tampak mengerenyit, tapi kemudian menghela nafas. Mungkin ia sempat berpikir kalau Ivan sebaiknya cerita sama Pak Ridwan, tapi setelah mendengar penjelasan Ivan, Bi Anita tampaknya bisa mengerti atau malah setuju dengan Ivan.

“Kamu benar. Kamu telah melakukan hal yang benar, Van,” tanggap Bi Anita seraya nyandarkan punggungnya ke sandaran kursi makan. Ia menengadah, memindai langkah yang terbaik, tapi yang jelas-jelas menyala-nyala dalam benaknya adalah, “Besok aku harus bertemu Sari!”

“Mungkin besok Bibi bisa datang ke laundry tempat ibunya Bima bekerja,” usul Ivan.

“Ya, ide bagus.”

Ivan tersenyum. Merasa lega, dan lebih lagi, ketika dipercayai sepenuhnya.

“Baiklah,” ujar Bi Anita seraya berdiri. “Aku mesti telepon banyak orang biar besok bisa bebas.” Ia berjalan ke tangga.

Ivan tidak beranjak. Ia merunduk menatap meja yang telah dibereskan Mak Wasri. Ada yang mengganggu dirinya. Bukan soal Bima, tapi lebih ke dirinya sendiri. Ada yang berubah dalam diri Ivan, tapi ia sendiri tidak tahu apa itu. Yang bisa ia terjemahkan hanya, ia akan melangkah memasuki portal itu kalau urusan Bima sudah beres, tapi itu entah kapan.

“Cep Ivan? Nggak apa-apa?” tanya Mak Wasri.

“Nggak apa-apa, Mak,” jawab Ivan cepat sambil berpaling menatap Mak Wasri.

“Mau segelas susu?”

“Mau,” jawabnya yang kini menjadi lirih dan pelan. Ia kembali merunduk. Ia rasakan ada yang menyita perhatiannya, tapi ia sendiri tidak tahu apa. Lalu sempat terpikir cetakan tanah liat yang telah berisi cairan resin. Tapi hati kecilnya berkata bukan itu yang ada dibenaknya, meski Ivan beranjak juga untuk mengambil cetakan tanah liat itu.

“Mau dibawa ke kamar, susunya?” tanya Mak Wasri.

“Nggak usah, Mak. Aku ke sini lagi,” jawab Ivan seraya bergegas ke kamarnya.

Ia kembali ke meja makan membawa cetakan tanah liat itu. Tak lupa ia juga membawa pisau cutter. Memang seharusnya besok ia buka cetakan tanah liat itu. Tapi Ivan pikir, melihat plastik bening yang sudah mengering dari lubang lidinya, sepertinya dalamnya pun sudah kering. Jikapun tidak, ia bisa membuatnya lagi. Ia tidak terburu-buru.

Mendadak mata Ivan terbelalak.

“Ada apa, Cep? Kok kayak yang baru lihat hantu,” kata Mak Wasri sambil menyimpan segela susu di dekat Ivan.

“Nggak apa-apa, Mak. Ehm, terima kasih susunya.”

Mak Wasri tersenyum dan meninggalkan Ivan untuk cuci piring.

Kening Ivan mengerenyit. Matanya menatap cetakan tanah liat itu. Dalam benaknya merayap sebuah asumsi. Bisa jadi ia tidak perlu terburu-buru, tapi situasi yang Bima hadapi bisa membuat Bima terburu-buru dan bertindak gegabah dan… dan melihat portal yang mereka bangun sebagai jalan keluar dari masalahnya.

Tapi itu tidak ada salahnya, kan? pikir Ivan. Ia bisa ikut bersamaku. Bu Sari juga bisa ikut. Tapi jelas ada yang mengganjal dari ide itu. Ada yang salah dari ide itu.

Ia urung membuka cetakan tanah liat itu. Ia minum susunya dengan cepat dan beranjak menuju kamarnya.

Tapi… seseorang harus ada yang tinggal… untuk mengumpulkan berliannya.

Ia menggelengkan kepalanya cepat-cepat. Mengosongkan pikiran dari apapun dan pergi tidur.

Sambil berbaring di tempat tidurnya, seperti biasa ia menghadap tembok dengan sebatang pensil dan menebalkan coretan yang ada di tembok. Sebentuk bintang dan tulisan FATEBENDER. Ia tertidur beberapa saat kemudian.

Kesesokan harinya, ia bertemu Bima di gerbang sekolah. Bi Anita sempat bertanya ke Bima apakah ibunya sudah berangkat atau belum.

Umm, laundry-nya buka jam delapan,” jawab Bima.

“Oh, oke. Sampai nanti, Bim, Van.”

 Sepeninggal bibinya, Ivan menatap Bima, dan agak sungkan bertanya, “Kamu baik-baik saja?”

Bima mengangkat bahu, “Aku baik-baik saja. Kamu sudah buka cetakan tanah liatnya?”

Ivan menyodorkan cetakan tanah liatnya ke Bima. “Kamu yang buka, deh.”

Bima menerima cetakan itu tanpa membantah. Sambil berjalan ke kelas, Bima membongkar ikatan tali plastik yang melingkupi hampir seluruh permukaan cetakan itu. Tak lama kemudian keluar dari dalamnya bongkahan bening yang mirip berlian milik Ivan, tapi masih belum sempurna karena banyak serpihan resin yang menempel-nempel di sudut-sudut berlian itu. Ia serahkan batu tiruan itu kepada Ivan.

“Kamu yang membersihkannya, biar persis batunya,” kata Bima.

“Bim? Van? Kalian baik-baik saja?” terdengar suara Pak Ridwan dari belakang mereka. Tampak beliau baru saja turun dari sepedanya.

“Ya, kami baik-baik saja,” jawab Bima datar.

Pak Ridwan sempat heran, tapi ia beralih ke Ivan dan melihat Ivan memegang sesuatu. “Apa itu? Resin? Kalian berhasil?”

“Ya, Pak,” jawab Ivan sambil menunjukkan plastik bening berbentuk berlian besar.

“Tapi ini cuma percobaan, Pak,” kata Bima, “kalau aslinya—Van, tunjukkan tanah liat yang kemarin kamu buat. Kamu bawakan? Setidaknya satu?”

Agak tersipu Ivan merogoh saku kemejanya dan mengeluarkan bongkahan kecil tanah liat berbentuk kura-kura, lengkap dengan kotak-kotak kecil di tempurungnya.

Pak Ridwan meraih kura-kura itu, “Wow, keren! Ini relif kotak-kotaknya pakai apa?”

“Pakai ujung pensil,” jawab Ivan, tampak senang.

“Rencananya akan dicetak juga seperti itu?” tanya Pak Ridwan lagi sambil mengembalikan bentuk kura-kura itu dan menunjuk ke berlian plastik di tangan kiri Ivan.

Ivan melirik Bima dan Bima menjawab, “Ya, Pak. Setelah itu kering, baru dibikin lagi cetakan dari tanah liat.”

Pak Ridwan tersenyum lebar. “Benar-benar kreatif! Tapi kalau boleh kasih saran, nih, sebaiknya bentuk kura-kura itu sebelumnya dilapisi terlebih dahulu. Jadi ketika dicetak tanah liat, kura-kuranya nggak malah menempel ke tanah liatnya.”

Lihat selengkapnya