Kebingungan membuat Anita gamang. Ia tidak bisa berpikir apa-apa, dan pilihan yang ada setelah meninggalkan Sari hanyalah menjemput Ivan di sekolah. Jadi, ia parkirkan mobilnya di dekat gerbang sekolah Ivan dan menunggu. Beberapa jam lagi.
Anita pejamkan mata dan menyandarkan kepalanya ke sandaran kepala kursi mobilnya. Membayangkan opsi lain selain menunggu Ivan; apapun yang bisa ia lakukan yang bisa memberi penerang akan situasi yang dihadapi Sari. Akan tetapi….
Aku senang melihat perempuan meronta-ronta….
Anita terbelalak dan bergidik. Entah bagaimana kata-kata keji raksasa itu bisa merasuki benaknya.
Ia rasakan tangannya gemetar. Ia angkat kedua tangannya dan menatapnya. Kemudian ia mengatur nafas. Ia tatap tajam tangannya sambil tetap mengatur nafas. Lalu, tangan itu berhenti gemetar.
“Get a grip, girl….” gumam Anita pada dirinya sendiri. Ia simpan kedua tangannya di atas kemudi, mengepal, tapi ia usahakan tenang. Kau seorang dokter! Kamu pernah bekerja di Gawat Darurat! Kamu pernah melihat darah dan potongan tubuh manusia! Kamu sendiri pernah menyayat tubuh seseorang! Kamu punya saraf baja, Anita!
Hey, Anita…
Anita tercenung. Seolah ada suara gaib memanggilnya. Tapi ia tahu suara itu berasal dari kenangannya.
“Apa?” ucapnya yang juga ia sadari mengulang tanyanya sepuluh tahun silam yang ia ajukan kepada kakaknya, Athena.
Apa kamu mau menjadi Muslim hanya untuk membuat marah Ayah sama Bunda saja?
Anita terdiam, juga sepuluh tahun lalu.
Atau karena seseorang bernama Chandra?
Anita ingat sepuluh tahun silam ia berpaling menatap kakaknya, terpana karena ia tidak menyangka kakaknya tahu. Sekarang ia tidak bisa karena tidak ada siapa-siapa di sisinya
Apa yang kamu lihat dari dirinya?
Anita ingat kala itu dia tidak menjawab, tapi kali ini tersungging senyum di bibirnya.
“Aku tidak berhutang penjelasan padamu, Athena,” gumamnya pelan dan masih mempertahankan senyumnya, yang sebenarnya senyum itu ia tujukan pada rasa syukur kala itu ia tidak mengatakannya. Karena…, sebenarnya banyak yang ingin ia jelaskan, banyak yang ingin ia bicarakan dengan kakaknya, tapi….
Dengar, Anita! Kamu nggak usah jawab! Tapi berjanjilah, jangan pernah kamu sendirian ketika emosi overwhelm you! Okay? Lindungi dirimu dengan orang-orang yang kamu sendiri bisa percaya. Aku percaya kamu punya penilaian yang baik terhadap orang lain—yah, lihat kamu suka sama seseorang seperti Chandra saja sudah jadi bukti, ya, kan?
Ia ingat kala itu ia mendengus dan berkata, “Katakan itu sama Ayah-Bunda.”
Shut up! Just promise me, okay? Jangan pernah kamu sendirian! Kamu mungkin nggak percaya, tapi aku sayang kamu!
Ya, aku juga sayang kamu, Sis…. Matanya berkaca-kaca. Ia tarik nafas panjang dan menengadah, mencegah air matanya jatuh.
“Oke, aku tidak boleh sendiri!” serunya pada dirinya sendiri. Benaknya seketika memindai daftar orang-orang yang bisa ia percaya. Dan ternyata itu daftar yang sangat pendek. Agak mengejutkan, tapi nyata.
Nama Mak Wasri menyala-nyala di urutan teratas, tapi Anita abaikan karena ia merasa masalah yang Sari hadapi akan terlalu berat bagi Mak Wasri. Selain itu, ia sedikit-banyak bisa memprediksi respon Mak Wasri; doa dan sabar. Meski memang benar, tapi bagi Anita kurang beraksi.
“Aku butuh spektrum baru,” gumam Anita sambil melirik jendela samping mobilnya dan menatap gedung sekolah Ivan. Nama Ridwan seketika muncul, tapi… nama itu malah menyulut ide lain dan membuatnya beranjak keluar dari mobil. Ia melangkah menuju Warung Telekomunikasi (Wartel) yang tak jauh dari sana. Ia berniat memanfaatkan layanan informasi untuk mendapatkan sebuah alamat.
Ia memang mendapatkan alamat itu, dan kemudian muncul dua opsi dalam benaknya setelah menutup gagang telepon. Dengan cepat ia memilih opsi kedua dan tanpa perlu kita tahu opsi pertamanya, opsi kedua yang ia pilih menyuruhnya untuk pulang dan berganti pakaian terlebih dahulu. Pagi ini dia memakai sweater abu-abu bertuliskan “Mind Over Sh**”, jeans panjang yang agak longgar, dan sepatu jogging warna putih. Jelas bukan penampilan yang pantas untuk menemui… ehm, calon mertua?
Setengah jam kemudian ia sampai di rumahnya. Ia sempat bingung untuk pakai baju yang mana. Tapi waktu yang mendesak membuatnya memilih blus satin warna putih yang ia tutupi dengan blazer abu-abu dan celana panjang hitam. Sebuah ritual berpakaian yang hampir mirip ketika ia hendak bekerja.
Sempat terpikir memakai kerudung—bahkan sempat pula ia memakainya sebagaimana yang pernah Sari ajarkan, tapi mendadak ia ragu. Sangat ragu.
Apa nggak terkesan munafik? Aku yang biasa nggak pakai kerudung, lalu tiba-tiba…. Memang aku ingin ibunya Ridwan terkesan, tapi…. Aku juga ingin tahu apa ibunya Ridwan akan bersikap judgmental kalau lihat aku nggak pakai kerudung.
Alhasil, ia jadikan kerudung putih bermotif bunga itu menjadi syal bersematkan bros perak di dada kirinya. Jika situasinya menuntut lain, ia bisa menarik syal itu menutupi kepalanya.
Sebelum keluar rumah, ia sempat berpesan kepada Mak Wasri untuk menjemput Ivan.
“Lho, bukannya Neng Nita mau libur?” tanya Mak Wasri.
“Memang. Cuma janjian sama seseorang,” jawab Anita sambil memilih sepatu, tapi alih-alih memilih sandal berhak yang tidak terlalu tinggi.
“Seseorang?” Mak Wasri tampak cemas, “Laki-laki? Pak Ridwan bagaimana?”
Anita tergelak. “Ya itu, janjian sama ibunya Pak Ridwan.”
Mak Wasri mengangkat alis dan rahangnya menggantung membuat mulutnya terbuka.
“Pergi dulu, Mak. Tolong, ya, jemput Ivan di sekolah.”
“Eh. Oh, baik, Neng.”
Empat puluh menit kemudian ia sudah sampai di alamat yang dituju. Sebenarnya tidak terlalu jauh, hanya ketidaktahuan saja yang menghambatnya. Ia beberapa kali bertanya sebelum mendapatkan rumah yang asri dengan pagar tembok setinggi pinggang orang dewasa dengan pintu besi bercat coklat. Rumah itu berada di jalan yang tidak besar dan juga tidak ramai, suasananya terkesan hening. Rumah itu juga tampak hening. Terkesan tua tapi bersih dan terpelihara. Gentingnya telah menghitam semua, dan hanya satu yang tampak baru. Melihat itu Anita bisa bayangkan Ridwan memanjat atap itu untuk mengganti genting yang pecah.
Kalau bukan sama Ridwan, sama siapa lagi? pikir Anita.
Lalu, ia melihat sosok perempuan mendekati pintu pagar rumah itu sambil membawa keranjang belanja berisi sayuran di kedua tangannya. Sosok itu agak kurus dan tinggi, terbungkus baju gamis merah tua dan berkerudung coklat muda. Ia berkacamata, dan raut wajahnya persis Ridwan. Anita tersenyum.
Ia telah parkir di seberang rumah itu, di samping tembok tinggi sebuah gudang atau semacamnya. Sepertinya tidak akan mengganggu kalau ia parkir di sana.
Ia keluar dari mobil dan mendekati sosok perempuan itu.
“Here we go!” Setengah berlari ia menyeberang jalan.
“Assalamualaikum, Bu. Maaf, apa saya dengan Bu Yati?” tanya Anita setelah dekat.
Perempuan itu tampak heran menatap Anita. “Waalaikumsalam. Benar. Siapa, ya?”
“Saya Anita, teman Ridwan.”
Perempuan itu terbelalak. Jelas terkejut.
“Aduh! Kenapa nggak telepon dulu? Ini jadi—jadi kayak yang ketangkap basah,” seru beliau gugup dan gelagapan. Hampir-hampir beliau menjatuhkan keranjang belanjanya.
Anita tergelak dan segera meraih salah satu keranjang belanjaan Bu Yati. “Biar saya bantu, Bu.”
“Nggak usah—”
“Tidak apa-apa, Bu. Ibu repot gitu,” tanggap Anita yang telah menjinjing salah satu keranjang.
“Mari masuk.” Bu Yati membukakan pintu pagar, dan mereka melangkah masuk.
Mereka tapaki halaman yang tertutupi oleh paving block. Di sisi kiri Anita melihat Vespa Ridwan yang tertutupi terpal plastik, sementara di sisi kanannya penuh pot dengan aneka tanaman yang sepertinya semuanya merupakan tanaman apotik hidup—ia lihat undakan dari bahan bambu yang dililit oleh tanaman sirih.
“Ridwan masih di sekolah,” kata Bu Yati seraya merogoh saku bajunya dan mengeluarkan kunci pintu.
“Saya tahu, Bu. Saya sengaja ingin bertemu Ibu tanpa kehadirannya. Supaya dia tidak turut campur. Kadang ada urusan perempuan yang hanya boleh tetap ada di kalangan kita, ya, kan, Bu?”
Bu Yati tertawa renyah. “Nona Anita bisa saja.”
“Panggil saya Anita saja, Bu.”
Pintu telah terbuka. Mereka pun masuk. Melihat Bu Yati membuka sandalnya. Anita pun melakukan hal yang sama.
Ia temukan sebuah ruang tamu yang terasa… antik. Kursi dan meja tamu tanpa ukiran yang Anita bisa sangka usianya melebihi dirinya. Lalu lemari kaca penuh pernak-pernik souvenir; lebar dan kokoh membagi ruang yang besar menjadi dua. Ketika mereka melangkah melewati lemari besar itu, ia lihat sebuah ruang keluarga dengan sofa yang menghadap seperangkat televisi dan stereo set—berikut koleksi kasetnya. Televisi dan stereo set itu berada di atas sebuah lemari buku yang memang banyak bukunya, tapi yang lebih menarik perhatian Anita adalah dua bingkai foto yang mengapit televisi itu.
Salah satu bingkai itu berisi gambar ayahnya Ridwan yang berseragam lengkap seorang perwira polisi. Bingkai yang lain bergambar Ridwan kecil, diapit ayah dan ibunya. Di foto itu Anita menyangka Ridwan seusia dengan Ivan. Anita tersenyum melihatnya.
Anita terus ikuti Bu Yati hingga ke ruang makan yang merangkap dapur. Bu Yati meletakkan keranjangnya di atas meja makan, Anita pun melakukan hal yang sama.
“Terima kasih, ya, Anita,” kata Bu Yati tulus. “Mari kita ke ruang tamu.”
“Umm, boleh di sini saja, Bu. Sepertinya di sini lebih nyaman,” pinta Anita, agak ragu, berharap permintaannya itu tidak dianggap kurang sopan. Tapi, memang, Anita merasa nyaman di ruang makan itu. Seolah, dari dua ruang yang ia lalui sebelumnya, ruang makan itu yang terasa hidup. Anita bisa membayangkan Ridwan kecil belajar di meja makan itu.
Bu Yati menatap Anita, agak memiringkan wajahnya dan tersenyum.
Anita tersipu. “Ada apa, Bu?”
“Nggak apa-apa. Hanya… konon ada mitos, kalau ada perempuan yang nyaman berada di ruang makan atau dapur, dia akan menjadi ibu yang baik,” jawab Bu Yati sambil berpaling untuk mengangkat keranjang belanja dari meja dan memindahkannya ke lantai di dekat meja beton yang menopang satu unit kompor gas.
Anita tersipu, tapi masih bisa tertawa. Ia juga mengikuti langkah Bu Yati memindahkan keranjang yang lain. “Kalau saya memilih ruang tamu, saya jadi apa, dong, Bu?”
Bu Yati tertawa. “Itu hanya mitos. Memangnya kamu percaya?”
Bu Yati menarik salah satu kursi di meja makan dan mempersilahkan Anita duduk.
“Tidak juga, tapi… saya pikir setiap mitos ada karena ada pengamatan. Dan dalam pengamatan selalu ada kearifan yang bisa kita ambil pelajaran,” jawab Anita seraya duduk di kursi.
“Wah, bijak sekali!” Bu Yati terkesan. “Kamu suka kopi? Ibu buatkan, ya?”