“Boleh Ibu cerita sesuatu?” kata Bu Yati saat melihat Anita terdiam setelah panjang lebar menjelaskan pertemuannya dengan Ridwan. “Mungkin ada manfaatnya buat kamu.”
“Tentu, Bu. Saya akan mendengarkan dengan senang hati,” jawab Anita. Sempat batinnya tergelak karena melihat Bu Yati agak memicingkan matanya, persis Ridwan.
Bu Yati tersenyum lebar. “Kalau begitu sambil Ibu masak, nggak apa-apa? Kita makan siang sama-sama.”
“Saya bantu, Bu.”
Mereka beranjak dan melangkah ke dapur.
“Rencananya Ibu mau bikin oseng touge dan teri,” kata Bu Yati, “Kita tambah menunya apa, ya? Kamu suka rendang telur?”
Anita mengangguk. “Ya, tapi jangan terlalu pedas.”
“Ridwan juga sama tidak terlalu suka pedas. Kalau begitu bisa tolong bersihkan tougenya?” Bu Yati memberi Anita sekantung plastik touge.
“Baik, Bu.” Anita juga menerima mangkuk besar dari bahan stainless steel untuk wadah tougenya.
Bu Yati kemudian berpaling ke wastafel dan untuk mencuci telur dan merebusnya.
“Cerita Ibu mungkin terlalu religius, ya, karena memang asalnya dari Quran,” kata Bu Yati memulai ceritanya. “Dari Surat Al Qasas, kalau tidak salah. Kisah Nabi Musa.”
Anita telah duduk di kursi dan telah membuka plastik touge itu dan mulai membersihkan touge dari kulit kacang hijau yang masih menempel di kecambahnya.
“Bagaimanapun nasihat datang dari religi, kan, Bu? Addiinnu nasihah—agama itu nasihat,” timpal Anita.
“Wah, nggak nyangka kamu mengutip hadis!” seru Bu Yati senang.
Anita tersipu. “Saya sering dengar ceramah di radio setiap pagi di mobil, Bu. Lagipula cuma itu yang bisa saya kutip.”
Bu Yati telah menyalakan api kecil di kompor untuk merebus telur, lalu beliau membawa sewadah bawang merah dan bawang putih berikut sebilah pisau ke meja makan. Beliau duduk di meja makan dekat Anita.
“Kamu tahu kalau Nabi Musa pernah membunuh, kan?” kata Bu Yati sambil mulai mengupas bawang.
“Ya, Bu. Di kota Memphis, kalau tidak salah. Membela seorang Bani Israil. Tapi konon ternyata orang yang bersalah itu ternyata orang yang dibela Nabi Musa.”
Bu Yati mengangguk. “Lalu, Nabi Musa kabur dari Mesir. Menjadi buronan dan lari ke negeri Madyan. Kamu tahu kisah selanjutnya?”
Anita terdiam, sementara benaknya menggali memorinya, tapi kalah cepat dari Bu Yati.
“Dalam pelariannya itu, Nabi Musa beristirahat di pinggir sebuah danau dan melihat sekelompok penggembala memberi minum hewan ternak mereka. Sementara tidak jauh dari Nabi Musa, ada juga dua perempuan yang berusaha mencegah hewan ternak mereka untuk ikut minum di danau itu. Nabi Musa heran dan menghampiri mereka. Singkatnya, Nabi Musa membantu mereka memberi minum ternak mereka. Lalu kembali beristirahat di bawah sebatang pohon. Kemudian ia berdoa, ‘Rabbi inni lima anzalta ilaya min khoiri fakir,’ arti sederhananya mungkin, ‘Wahai Tuhan, sungguh aku memerlukan karunia kebaikan dari sisiMu karena aku lemah.’ Tapi sebenarnya ada dua penafsiran dari doa ini; yang pertama, ya seperti tadi itu, Nabi Musa membutuhkan bantuan setelah kabur dari Mesir, tapi yang kedua, bisa merupakan bentuk penyesalan Nabi Musa karena pernah membunuh, seolah Nabi Musa bilang, ‘Ya, Allah, kebaikan apalagi yang bisa aku lakukan setelah membantu dua perempuan itu, karena aku dihantui rasa bersalah,’”
Anita tampak termenung dan mengangguk-angguk meski tangannya tidak berhenti dari pekerjaannya membersihkan touge. “Dua entiti itu terangkum dalam satu doa?” gumam Anita yang sebenarnya pada dirinya sendiri.
“Benar. Lalu, seorang dari dua perempuan itu menghampiri Nabi Musa dan meminta Nabi Musa untuk menemui ayahnya karena ayahnya ingin memberi imbalan. Bertemulah Nabi Musa dengan ayah dari perempuan itu dan Nabi Musa menceritakan keadaannya. Lewat satu ayat, ayah perempuan itu berkata pada Nabi Musa, ‘Kamu sudah aman di sini dan aku berniat menikahkan kamu dengan salah satu anak perempuanku.’ Dan terus terang, waktu Ibu baca ayat itu, Ibu sempat tercengang.”
Anita melirik menatap Bu Sari yang telah mengupas bawang merah dan tinggal beberapa suing bawang putih.
“Coba bayangkan, Anita. Ridwan datang memperkenalkan kamu kepada Ibu, lalu kamu mulai bercerita kalau kamu itu pernah membunuh, dan seorang buronan dari negeri seberang. Kira-kira bagaimana perasaan Ibu? Apa Ibu rela menikahkan Ridwan sama kamu?”
Mata Anita terbelalak. Tangannya berhenti sejenak dari membersihkan touge itu.
Bu Yati tergelak. “Maaf, maaf, kalau Ibu agak keterlaluan! Hihihi, tapi kamu lucu juga waktu kaget seperti itu. Tapi kamu bisa mengerti, kan, maksud Ibu? Melihat ayah perempuan itu berniat menikahkan putrinya kepada seorang pria yang latar belakangnya tidak jelas, mengaku buronan, pernah membunuh pula. Apa yang terjadi sebenarnya? Apa yang dipikirkannya?”
“Mungkin ayahnya bisa membaca karakter baik Nabi Musa karena telah membantu putrinya,” jawab Anita.
“Benar. Atau juga, ayahnya percaya pada keputusan anaknya. Anaknya itu membantu ayahnya menggembalakan ternak, itu saja sudah memperlihatkan kepercayaan si ayah, ya, kan?”
Anita termenung, sejenak sebelum bisa berkata, “Ridwan pernah mengatakan hal yang hampir sama, tapi narasinya dari kisah Nabi Yusuf, Bu. Hubungan rasa percaya orang tua kepada anaknya. Tapi, Bu, seandainya anaknya menyalahgunakan kepercayaan orang tuanya itu atau vice versa, hubungan saling percaya itu akan hancur. Apa ada dalam Quran… bentuk kehati-hatian orang tua terhadap menaruh kepercayaan pada anak? Maksud saya, keseimbangan dalam memberi beban tanggung jawab kepada anak, misalnya. Itu agak rumit juga.”
Bu Yati tersenyum, “Di ayat selanjutnya surat Al Qasash itu, si ayah menikahkan anaknya kepada Nabi Musa dengan mas kawin, Nabi Musa bekerja padanya selama… delapan atau sepuluh tahun. Bagaimana menurutmu?”
Mendadak Anita memekik, “Pengawasan! Meski memberi kepercayaan, tapi tidak lepas dari pengawasan!”
Bu Yati mengerucutkan bibirnya sedikit, memberi petunjuk kalau beliau setuju, tapi tidak terlalu setuju. “Ibu lebih cenderung menyebutnya pengkaderan. Kalau dilihat dari perspektif Allah, dalam masa bekerja untuk memenuhi mas kawin Nabi Musa itu, menjadi semacam pelatihan Nabi Musa sebagai Nabi, karena ternyata ayah perempuan itu juga seorang Nabi; Nabi Suhaib. Setelah pengkaderan itu selesai, Nabi Musa bisa bertemu dengan Allah dan menerima titah untuk menghadapi Firaun.”
“Wow, terus terang, Bu, sa-saya belum pernah melihat kisah para Nabi dari sudut pandang seperti ini,” ucap Anita sedikit terpana. Tangannya sempat berhenti, namun segera kembali membersihkan touge.
“Yah, Ibu juga mulai rajin ke pengajian setelah ayahnya meninggal. Entahlah…. Agak terlambat mungkin. Tapi bagaimana pun, kisah dalam Quran bukan hanya sebagai kisah, tapi pelajaran yang patut diambil. Sebuah nasihat.”
Anita termenung, begitu pula dengan Bu Yati. Untuk sementara mereka terdiam. Yang terdengar hanya suara pisau Bu Yati yang beradu dengan talenan saat beliau mengiris bawang.
Entah dengan Bu Yati, tapi dalam benak Anita, terbayang kisah lain para Nabi yang melibatkan sosok anak; Kisah Daud dan Jalut. David and Goliath…. Dan terbayang sosok Bima menghadapi raksasa macam ayahnya.
Tapi Daud membunuh Jalut! Apa maksudmu Bima harus membunuh ayahnya?
Anita menggelengkan kepalanya.
“Kenapa?” tanya Bu Yati.
“Nggak apa-apa, Bu, hanya teringat satu kisah tentang Nabi Daud yang membunuh Jalut. Sewaktu kecil saya pernah mendengar cerita ini tapi versi Perjanjian Lama. David dan Goliath. Saya harus mempelajari versi Qurannya.”
“Tapi, Anita, kamu perlu tahu. Kisah di Quran memiliki titik berat pada pelajarannya bukan kisahnya. Jadi jangan harap detil yang terlalu banyak. Di surat Al Qasas saja tadi; sebenarnya di surat itu tidak disebutkan kalau ayah perempuan itu Nabi Suhaib. Nama Nabi Suhaib muncul di penjelasannya Rasulullah di salah satu hadisnya.”
Anita mengangguk.
“Tapi sebelum lebih jauh lagi,” ucap Bu Yati, menghentikan tangannya mengiris bawang, “sempat nggak, terpikir oleh kamu, kira-kira kenapa Ibu menceritakan kisah Nabi Musa itu? Apa maksud Ibu sebenarnya sampai menceritakan sekelumit episode kisah Nabi Musa itu sama kamu?”
Anita menatap Bu Yati, agak lama, namun rona wajah Anita tampak jelas bergradasi menuju merah padam. Menikah…, mas kawin…, sinyal yang benar-benar menjurus, ya, kan? Tak pelak wajah Anita memerah.
Bu Yati memasang senyum teduh sambil meletakkan pisaunya dan meraih tangan Anita. “Bukan niat Ibu menakut-nakuti kamu, atau mengintimidasi kamu, tapi sejauh ini, jujur saja, Ibu merasakan kegelisahan dari diri kamu. Ada rasa sungkan, takut atau kuatir salah melangkah, dan Ibu bisa menyangka dari… keterburu-buruan, mungkin? Seolah kamu tidak ingin kehilangan kesempatan—apapun kesempatan itu. Maaf kalau Ibu salah.”
Anita mendengus dan merunduk. “Ridwan juga mengatakan hal yang sama, Bu. Itu artinya Ibu benar. Saya cenderung terburu-buru—meski Ridwan memperhalusnya dengan kata simultaneous. Tapi tetap saja, saya cenderung terburu-buru. Saya harus mengakuinya.”
Bu Yati masih memegang tangan Anita. “Kalau ini bisa membuatmu tenang. Ibu merestui kamu bersama Ridwan. Setelah melihat kamu, Ibu rela.” Beliau tepuk-tepuk punggung tangan Anita sebelum melepasnya dan kembali ke pisau dan bawangnya.
“Kamu mungkin mesti mulai memikirkan mas kawin apa yang hendak kamu minta sama Ridwan, dan entah itu yang akan membuatnya merasa terawasi, atau terkaderisasi, atau dapat dipercaya. Ibu tidak tahu,” sambung Bu Yati setengah bercanda. “Tapi terus terang, ya, Anita. Anak itu sebenarnya kadang terlalu mengawang-awang. Ibu nggak nyangka dia bisa menyatakan perasaannya pada seorang gadis elit seperti kamu.”
Anita merunduk, wajahnya yang memerah mereda. “Elit atau tidak, saya tetap seorang gadis, Bu. Saya tidak pernah menganggap diri saya elit. Saya juga kadang mengawang-awang. Mungkin di taraf ini saya sama dengan Ridwan, dan karenanya sangat butuh bimbingan.”