FATEBENDER

DMRamdhan
Chapter #25

David and Goliath

“Bu! Ini Ridwan macam-macam!” pekik Anita tiba-tiba.

Ridwan menghentikan tawanya, menatap Anita heran. Benaknya kalut karena tidak bisa memprediksinya.

Tergopoh-gopoh Bu Yati keluar menemui mereka. “Ada apa, Anita?”

Ridwan dan Anita beranjak berdiri bersamaan. Ridwan tampak kebingungan, sementara Anita tersenyum-senyum sendiri.

“Nggak apa-apa, Bu. Cuma saya mau pamit,” kata Anita sambil melangkah mendekati Bu Yati. Sempat ia melirik Ridwan dan mengedipkan mata.

“Maaf, ya, Bu. Saya ada permintaan. Jangan kasih Ridwan ke yang lain, ya?” kata Anita sambil meraih tangan Bu Yati. “Soalnya dia sudah melamar saya.”

Bu Yati terperangah. Beliau berpaling ke Ridwan. “Ridwan?”

Ridwan sendiri tersipu, namun bibirnya tersenyum. “Saya sudah cukup umur, Bu.”

“Iya, sih, tapi kok rasanya Ibu seperti yang nggak dilibatkan.”

“Justru Ibu yang memulainya. Ibu kasih Anita album foto itu. Satu-satunya cara mendapatkannya lagi ya menikahinya,” tanggap Ridwan sambil mengedipkan mata ke Anita.

“Oh, begitu, ya?” timpal Anita. “Aku akan simpan album itu di kotak deposit, kalau begitu.”

“Ih, tunggu!” pekik Bu Yati. “Kalian ini serius?”

Ridwan menghampiri ibunya, meraih tangan ibunya, berdiri di samping Anita. “Maaf, kami terlalu banyak bercanda. Tapi saya serius, Bu. Mohon restunya.”

Bu Yati berpaling ke Anita. Berharap Anita juga menjawabnya.

Anita menjawabnya dengan cara lain. Lidahnya mendadak kelu dan entah kenapa air matanya mendadak tumpah, tapi ia mengangguk cepat. Cepat seolah tidak ingin kehilangan kesempatan.

Wajah Bu Yati menekuk menahan haru. Ia rangkul dua insan di hadapannya itu. “Oh, anak-anakku! Doa Ibu menyertai kalian! Semoga kalian bahagia selamanya! Berhasil melewati segala rintangan hidup bersama!”

“Aamiin,” ucap Ridwan sementara Anita hanya mampu dalam hati. Aamiin….

Bu Yati melepaskan rangkulannya. “Apa ada detil yang perlu Ibu ketahui?”

“Belum, Bu,” jawab Ridwan, lalu berpaling ke Anita, “Kami mesti banyak berbenah terlebih dahulu.”

“Ya, variabelnya terlalu banyak untuk bisa memprediksi detil,” timpal Anita agak lirih, juga berpaling ke Ridwan.

“Yah, Ibu hanya bisa mengiringi dengan doa. Ibu percaya sama kalian. Tapi tetap hati-hati, ya.”

Mereka terdiam. Mereka bertiga saling melempar tatapan dan kemudian mereka tertawa.

“Kalau begitu saya pulang dulu, ya, Bu,” kata Anita.

“Tinggallah sampai nanti makan malam,” ucap Bu Yati, memohon seraya mengguncang tangan Anita.

“Mungkin lain kali, Bu. Seperti kata Ridwan, kami mesti banyak berbenah. Banyak yang mesti saya selesaikan,” jawab Anita.

“Baiklah kalau begitu,” Bu Yati pasrah. “Hati-hati di jalan.”

“Aku antar ke mobil,” kata Ridwan.

“Assalamualaikum, Bu.”

“Waalaikumsalam.”

Anita memutar langkah menuju pintu pagar, didampingi Ridwan.

“Kita akan menolong Bima dan ibunya. Kamu jangan terlalu cemas,” kata Ridwan.

“Ya,” jawab Anita lirih.

Ridwan bukakan pintu pagar dan kemudian mereka menyeberang jalan. Anita merogoh saku samping blazernya, menemukan kunci mobilnya. Menekan tombol untuk melepas kunci mobil yang diikuti suara khas matinya alarm mobil. Ridwan yang membukakan pintu kabin depan mobil untuk Anita. Anita memasuki mobilnya namun merasa berat untuk menutup pintu.

“Kenapa?” tanya Ridwan, melihat Anita termenung.

“Kedua orang tuaku….”

“Tenang, sayang. Jangan terburu-buru. Kita akan hadapi bersama.”

“Ya, kamu benar. Tidak ada gunanya memikirkan yang belum saatnya dipikirkan, ya?” tanggap Anita. Lalu ia menutup pintu mobilnya dan membuka jendela.

“Sepertinya aku tidak bisa… kiss you goodbye, ya. Ibu mengawasi kita,” ucap Anita, sesaat sempat melirik teras dan Bu Yati masih berdiri di sana.

Ridwan tergelak. “Tapi aku punya imajinasi, dan mengenang… yang tadi sepertinya sudah cukup.”

“Kamu, ya!” Anita mencoba mencubit Ridwan tapi Ridwan menghindar dan tergelak.

“Salam buat Mak Wasri sama Ivan, ya?” kata Ridwan kemudian. “Ingatkan Ivan belajar. Minggu depan Tes Hasil Belajar.”

Anita mengangguk. “Akan aku sampaikan. Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

Sebelum menutup jendela mobil, Anita sempatkan melambai ke ibunya Ridwan, lalu mobil melaju perlahan. Parting is such a sweet sorrow….

Dalam perjalanan pulang itu, benak Anita sedikit mengawang-awang. Menerawang potensi di masa depan ketika ia menjadi istri Ridwan. Ada kedamaian di sana….

Lihat selengkapnya