The sincere alone can recognize sincerity.
—Thomas Carlyle
“Tiit…. Tiit…. Tiit….”
Mesin EKG yang terhubung ke dada Bu Sari mengeraskan suara denyut jantungnya. Mengiringi rapalan batin Bima yang memohon ibunya baik-baik saja. Kata Bi Anita, ibunya mengalami koma, tapi Bima tidak mengerti maksud sebenarnya dengan “koma”. Apa “koma” artinya sebelum “titik”?
Bima duduk di kursi, di samping tempat tidur rumah sakit memakai gaun pasien rumah sakit dan celana pendek. Ia sedang sendirian dan hanya bisa menatap tubuh lemah ibunya yang terbaring dengan tangan tertusuk jarum infus. Tapi Ibu tidak tahan melihat jarum….
Sebelumnya ia sempat tidur di tempat tidur yang bersebelahan dengan tempat tidur ibunya, tapi tidak bisa nyenyak. Ia bangun sekitar jam tiga malam dan beralih ke kursi.
“Otaknya mengalami pembengkakan akibat trauma benturan,” jelas Bi Anita kepada Pak Ridwan setelah memeriksa Bu Sari semalam. “Ada bagian sistem Reticular-nya yang rusak, tapi aku tidak tahu seberapa parah. Besok aku akan coba jadwalkan CT scan. Memang masa kritis sudah lewat, tapi terlalu dini kalau bilang stabil. Kita lihat perkembangan delapan jam ke depan.”
Bima merunduk. Oh, Allah, tolong….
Bukankah kemarin siang mereka sedang duduk di teras mesjid sambil makan es krim? Kenapa bisa dengan cepat berubah menjadi seperti ini?
Sore kemarin, Pak Ridwan tidak membawa Bima ke mobil seperti yang diminta Bi Anita, tapi membawanya ke sekolah. Bima ingat Pak Ridwan menggedor-gedor gerbang sekolah dan Pak Daus tergopoh-gopoh membukakan pintu gerbang. Pak Daus membantu memapah Bima ke ruang Unit Kesehatan Siswa.
“Pak Daus, bisa tolong buatkan teh manis panas?” kata Pak Ridwan setelah menduduk Bima di kursi. “Juga seember air hangat untuk merendam kaki Bima.”
“Ba-baik, Pak,” kata Pak Daus segera menuruti permintaan Pak Ridwan meski tampak jelas penasaran apa yang sebenarnya terjadi.
Bima menggigil kedinginan.
Pak Ridwan ambil selimut di tempat tidur UKS, membukakan baju seragam Bima lalu melilit badan Bima dengan selimut.
“Dengar, Bim. Bapak akan menghubungi ambulan dan pergi membantu bibinya Ivan. Kamu tunggu di sini. Hangatkan diri dan tetap sehat, demi ibumu! Jangan membantah. Nanti Pak Daus datang, minum teh manisnya.”
Awalnya Bima memang hendak membantah, tapi mendengar Pak Ridwan mengatakan “Demi ibumu!” Segala hal yang logis kembali ke dalam kepalanya. Bima mengangguk. Dia harus bertenaga terlebih dahulu untuk bisa menolong ibunya.
“Bagus! Anak hebat!” Pak Ridwan menepuk pundak Bima sebelum dengan sigap berlari keluar.
Tak lama kemudian Pak Daus masuk, membawakan Bima teh manis panas. Bima meminumnya.
“Sebenernye ade ape, Bim?” tanya Pak Daus tidak kuat menahan penasaran.
“Ada… yang mau… bunuh ibu saya, Pak.” kata Bima menggigil.
Tampak mata Pak Daus terbelalak.
Dan aku membunuh pelakunya, ucap batin Bima seraya memejamkan matanya. Ia tidak melihat darah, tapi benak Bima masih bisa mengingat bagaimana tubuh yang menghantam badan truk itu terpental. Namun bukan tubuh yang remuk itu yang mengganggu Bima, tapi kenyataan raksasa itu melepas tangannya saat ia hendak tertabrak. Bukankah secara insting manusia akan meraih dan berpegangan ketika berada dalam bahaya? Adakah kiranya kebaikan dalam hatinya sehingga dia sanggup melepas tangan Bima sehingga Bima tidak ikut terseret?
“Em, ane periksa dulu airnye, ye? mendidih ape belon,” kata Pak Daus sambil keluar dari UKS.
Bima buka matanya, menatap gelas teh manisnya, mencengkramnya, merasakan panasnya. Bima merintih dan berbisik, “Kau bisa memilih jadi orang baik! Kau bisa memilih jadi baik sejak dulu!”
Tidak ada yang mendengarnya merintih. Bima ingat itu.
“Tiit…. Tiit…. Tiit….”
Suara mesin EKG itu menyamarkan suara Bima terisak. Ia raih tangan ibunya dan terasa dingin. “Sadarlah, Bu…. Bima mohon….”
Bima merunduk dan menempatkan keningnya di atas tangan ibunya. Namun, tidak bisa lama. Ia dengar langkah kaki memasuki ruangannya. Ia angkat kepalanya dan menemukan Bi Anita dan Pak Ridwan.
“Kamu sudah bangun, Bim?” tanya Bi Anita lembut. Beliau mengenakan jas putih dokter dan stetoskop tampak menyembul di saku kanan jasnya. “Sebaiknya kamu banyak istirahat.”
“Nggak bisa tidur, ya?” tanya Pak Ridwan. “Mau ikut Bapak? Biar Bi Anita memeriksa ibumu dulu.”
Bima mengangguk dan beranjak.
Saat itu Pak Ridwan mengenakan jaket tebal berwarna hitam. Beliau buka jaketnya dan memakaikannya ke Bima. “Biar nggak kedinginan,” kata Pak Ridwan.
Bima hanya mengangguk dan membiarkan Pak Ridwan merangkul pundaknya dan menggiringnya keluar ruangan.
“Kamu sudah sholat Subuh, Bim?” tanya Pak Ridwan.
“Sudah adzan, Pak?”
“Sudah. Nggak terdengar, ya? Yuk, Bapak antar ke mushola.”