FATEBENDER

DMRamdhan
Chapter #27

Memaksakan Harapan

Di mobil, Bima dan Ivan duduk di kursi belakang, saling membelakangi dan menatap jendela masing-masing. Mereka terdiam.

“Kok kalian diam saja?” tanya Bi Anita sambil melirik cermin.

“Biarkan mereka. Mereka sedang bicara lewat telepati,” timpal Pak Ridwan.

Ivan mendengus dan tertawa. Ia melirik Bima, dan Bima pun meliriknya.

Bima tersenyum. “Hanya mencoba siapa yang tidak tahan diam,” kata Bima.

“Dan Bibi kalah,” tandas Ivan.

“Apa!” pekik Bi Anita.

“Sudah, sudah. Biarkan. Kamu cukup cerdas untuk membalasnya nanti,” lerai Pak Ridwan. “Hati-hati, nanti kamu, Van. Entah berapa lipat pembalasan bibi kamu.”

“Kamu dengar? Watch it, young man!” Bi Anita memicingkan mata ke Ivan lewat cermin.

Ivan menjulurkan lidah.

Bima tersenyum lebar.

“Kamu baik-baik saja?” tanya Ivan kepada Bima.

“Ya. Aku baik-baik saja.”

Lalu mereka kembali terdiam, dan kembali berpaling ke jendela masing-masing.

Bi Anita dan Pak Ridwan saling melempar senyum. Keduanya berpikiran mereka berhasil memerankan drama spontan sebuah keluarga kecil.

Sementara benak Bima penuh dengan ibunya. Tapi Ivan agak berbeda. Ada perasaan berkecamuk dalam dadanya, seperti ombak yang tidak mau tenang.

Ia masih heran dan penasaran bagaimana Bi Anita bisa menyangka kalau Bima memiliki niat lain hanya karena Bima meminjam pisau cutter miliknya. Itu memang membuatnya merasa bersalah. Bukankah seharusnya dia yang pertama kali menyadari niat lain Bima?

Ivan ingat, ketika Bi Anita menyuruhnya mencari bantuan, dan ia berniat menemukan Pak Anwar, benaknya penuh kata, “Bodoh!” yang tertuju pada dirinya sendiri. Ia temukan Pak Anwar di rumahnya dan langsung mendapatkan respon hanya dengan kalimat yang terpotong, “Ibunya Bima—” dan Ivan mesti mengejar langkah Pak Anwar yang mendahuluinya. Ketika sampai di rumah Bima, ia temukan Pak Ridwan sudah ada di sana.

“Kamu tidak tahu mereka tinggal di tempat sampah!” bentak Bi Anita pada Pak Ridwan.

“A-aku tidak tahu.” Pak Ridwan tertegun.

“Kalau soal itu, saya yang patut disalahkan,” kata Pak Anwar sambil mendekati Bu Sari yang tidak sadarkan diri, “karena selalu gagal untuk membujuk mereka. Kalian gurunya Bima?”

“Saya, gurunya Bima, dan ini teman Sari,” jawab Pak Ridwan dan kemudian beliau berlutut di dekat Bi Anita. “Apa yang harus aku lakukan?”

“Sudah telepon ambulan?” tanya Bi Anita.

“Sudah.”

“Di mana Bima?” tanya Pak Anwar yang juga berlutut di samping Pak Ridwan.

“Saya bawa ke sekolah, di UKS, bersama penjaga sekolah,” jawab Pak Ridwan.

“Kita pindahkan Sari ke tempat yang kering!” kata Bi Anita.

Lalu dengan arahan Bi Anita, Pak Ridwan dan Pak Anwar mengangkat Bu Sari dan membawanya ke rumahnya. Membaringkannya di atas dipan dan Bi Anita mempersiapkan Bu Sari untuk nanti siap diangkut ambulan. Bi Anita sempat meringis beberapa kali melihat kondisi rumah Sari.

Ivan hanya menyaksikan. Merasa tidak berguna. Merasa tidak berdaya. Merasakan perasaan yang sama ketika kakaknya hilang ditelan portal dua tahun silam.

Kejadian yang berbeda, tapi perasaannya sama, batin Ivan sambil menghela nafas panjang. Ia masih menatap jendela mobil yang menawarkan pemandangan pagi yang tengah menggeliat, tapi bukan itu yang ia perhatikan.

Karena jarak rumah Bi Anita lebih dekat, Ivan dan Bima diturunkan lebih dulu. Ketika turun, Ivan segera mendapat mandat untuk mencarikan pakaian kakaknya yang bisa dipakai Bima.

“Tidak banyak pilihannya,” kata Ivan saat mereka menghadap sebuah lemari di kamar tamu. Ivan telah membukanya dan hendak membiarkan Bima memilih. “Cuma baju yang tertinggal Kakak waktu menginap—”

“Maafkan aku, Van,” potong Bima cepat. “Aku… aku menghilangkan jam tangan kamu… dan pisaunya.”

Ivan tertegun.

“Dia merebutnya, kamu tahu itu?” kata Bima lirih sambil merunduk. “Jam tangan kamu direbutnya, dan menantang aku mengambilnya kembali. Mengambilnya kembali dengan cara apapun…. Aku pikir, aku bisa mengambilnya kembali waktu dia tertidur…, pakai pisau kamu. Tapi… kenapa jadi seperti ini?”

Well, good riddance! seru batin Ivan. “Dia mengejarmu dan dia tertabrak?” tanya Ivan.

Bima mengangguk. Tapi kemudian tatapannya mengeras. Ia menengadah, menatap Ivan. “Aku harus ikut, Van. Aku harus ikut masuk ke portalmu itu!”

Ivan kembali tertegun. Ia tatap Bima dan yang dilihatnya itu tampak teguh, tidak berkedip menatapnya. Tapi, Ivan bisa melihat penderitaan di balik tatapan teguh itu. Tatapan yang pernah ia temukan di mata kakaknya ketika tidak ada yang percaya kejadian yang sebenarnya yang menimpa papa dan mama mereka. Apakah tatapanku juga pernah seperti itu?

 “Kenapa tiba-tiba? Bagaimana ibumu?” tanya Ivan.

Lihat selengkapnya