TV menyala dan Ivan menontonnya, tapi tidak memperhatikan. Sesekali ia lirik Bima yang sedang membaca buku FATEBENDER miliknya. Dilihatnya Bima kadang menggumamkan apa yang tertulis, lalu melirik kamus bahasa Inggris yang terbuka di samping Bima. Ia ingin menyelami warisan kakek dan kakek buyut Ivan. Ada kalanya Bima menanyakan kepada Ivan ungkapan yang tertera di buku itu yang Bima tidak mengerti, tapi itu jarang sekali.
Ivan kembali menatap TV setelah entah keberapa kalinya ia melirik Bima. Ia lihat di sudut TV jam digital yang bertuliskan angka, 9:43.
“Ini, sambil makan pisang goreng,” kata Mak Wasri yang datang membawa nampan dengan sepiring pisang goreng hangat di atasnya. Beliau simpan nampannya di atas meja di samping sofa.
“Cep Ivan, tiru Cep Bima atuh. Belajar yang rajin. Sebentar lagi kan THB,” kata Mak Wasri sambil memperhatikan dua bocah laki-laki yang benar-benar bertolak belakang. Satu besar, satu kecil; satu belajar, satu… tengil?
Ivan langsung mencomot satu pisang goreng, “Bima bukan belajar, tapi lagi baca cerita,” kata Ivan.
“Daripada cuma nonton,” tukas Bima.
“Huuu!” balas Ivan sambil melempar pisang gorengnya ke Bima dan Bima menangkapnya.
“Iih, jangan lempar-lempar makanan. Pamali!” seru Mak Wasri. “Sudah! Minumnya ambil sendiri! Emak mau jemur cucian dulu. Besok Cep Bima mau sekolah, kan? Emak sudah cuci seragamnya.” Lalu beliau melangkah pergi.
“Umm, terima kasih, Mak,” ucap Bima.
Ivan mengambil lagi satu pisang goreng untuk dirinya. Lalu duduk di samping Bima. Mereka berdua menatap TV sejenak, tapi sepertinya bukan TV yang mereka perhatikan.
“Kita harus berbekal,” kata Bima pelan. “Kita tidak tahu apa yang ada di balik portal itu.”
Ivan habiskan pisang gorengnya. “Ikut aku,” katanya setelah menelan.
Bima habiskan pisang gorengnya, menutup kamus dan buku FATEBENDER, beranjak sambil membawa dua buku itu, lalu mengikuti Ivan. Mereka pergi ke kamar Ivan.
Di kamar, Ivan membuka lemarinya. Ia jongkok untuk meraih bagian bawah lemarinya dan mengeluarkan tas ransel yang tampak kokoh dan penuh.
“Kamu sudah siap?” Bima tertegun. “Apa saja isinya?”
“Makanan, air dan emas,” jawab Ivan singkat.
“Emas?”
“Kita tidak tahu apa yang menanti kita di balik portal itu, tapi aku pikir emas bisa menjadi alat tukar yang bisa membuat kita bertahan hidup di sana,” jelas Ivan.
“Tapi, aku belum siap,” gumam Bima lemah, merasa kerdil.
“Tenang. Aku akan berbagi. Tapi sebaiknya kita menambah makanan dan airnya.”
“Ya. Bagaimana dengan senjata? Kita juga mungkin perlu alat untuk membela diri bila perlu,” usul Bima.
Ivan termenung. “Itu tidak terpikir olehku. Tapi, ide bagus. Tapi apa? Pisau?”
“Ya. Kecil dan bisa disembunyikan,” tambah Bima.
Lalu, terdengar suara Mak Wasri dari tangga.
“Cep Ivan! Ada telepon! Dari Bi Anita!”
Ivan berpaling ke Bima, “Kita teruskan nanti.” Lalu ia kembalikan tas ransel itu ke dalam lemari.
Ivan pergi ke dapur, dan Bima mengikuti. Di terima telepon dari Bi Anita dan Bima mendengarkan.
“Halo?”
“Halo! Van, bisa kamu antar Bima ke rumah sakit? Pakai taksi saja seperti tadi pagi! Penting! Sudah ya! Bibi tunggu!”