Prejudice is the reasoning of the stupid.
—Voltaire
It is never too late to give up your prejudices.
—Thoreau
Bima tidak menyangka kalau Ivan ternyata terbiasa bangun sangat pagi. Bahkan, ia kalah cepat menggunakan kamar mandi dari Ivan. Bima menunggu Ivan keluar kamar mandi sambil membaca buku FATEBENDER di kamar Ivan. Hanya saja, benaknya malah menerawang.
Semalam ia tidur di kamar tamu dan ia baru menyadari kalau dia belum pernah tidur sendirian. Itu membuatnya rindu ibunya. Sempat tidak nyenyak, lalu ia pindah ke lantai beralaskan setengah dari selimutnya, barulah ia bisa tidur pulas.
Kemarin, ketika Bi Anita menjemput mereka dari rumah Pak Ridwan, Bi Anita sempat menegaskan kalau nanti ketika ibunya sudah sembuh, mereka harus tinggal bersamanya, tidak ada tapi-tapian. Pak Ridwan sempat juga mengutarakan keberatannya, karena itu agak memaksakan kehendak dan tidak menghormati perasaan dan kebebasan Bu Sari dan Bima. Tapi Bi Anita bersikeras.
Pak Ridwan tersenyum dan mengangkat ke dua tangannya tanda menyerah. “Tapi percayalah, Anita, aku yakin Sari punya cara yang jitu untuk menghadapimu soal ini.”
“Apa itu?” Bi Anita cemberut dan kedua alisnya tampak menyatu.
“Yah, kita lihat saja nanti,” kata Pak Ridwan sambil mempertahankan senyumnya.
Mereka berdua sedang duduk di ruang tamu, sementara Ivan dan Bima di ruang keluarga. TV sempat menyala, itupun dinyalakan oleh Bu Yati, tapi setelah melihat Ivan dan Bima perhatiannya tenggelam pada novel serial Trio Detektif, Bu Yati mematikan TV itu.
Sebenarnya Bu Yati tidak terlalu tepat kalau menyangka Bima dan Ivan tengah “tenggelam” dalam cerita Alfred Hitchcock itu, karena perhatian Bima sendiri terbagi antara membaca dan mendengarkan pembicaraan Bi Anita dan Pak Ridwan—entah dengan perhatian Ivan.
Bu Yati lewat di hadapan Bima dan Ivan, membawakan dua mug kopi untuk Bi Anita dan Pak Ridwan.
“Lho, kenapa, Anita? Cemberut begitu?” tanya Bu Yati sambil meletakan dua mug itu di atas meja.
“Bu, apa salah kalau saya meminta Sari dan Bima untuk tinggal di rumah saya, kalau nanti Sari sudah sembuh?” tanya Bi Anita, dan bagi Bima terdengar seperti anak kecil yang manja.
“Kamu mau pendapat Ibu?” tanggap Bu Yati yang kemudian malah menyanyi, “Que sera, sera… Whatever will be, will be. The future not ours to see…. Que sera, sera….”
“Iih, Ibu!” rajuk Bi Anita.
“Yah, untuk saat ini kita berdoa dulu supaya Sari cepat sadar dan cepat sembuh. Diminum kopinya, Anita.” Bu Yati kemudian duduk di sofa bersama Anita. “Terus terang, Ibu jadi penasaran bagaimana sosok Sari ini. Sepertinya sosok yang mengagumkan sampai kamu bersikap seperti ini.”
Bi Anita meraih mug kopinya dan menyeruputnya perlahan. Ketika menyimpannya lagi di atas meja, raut wajah Bi Anita menjadi sedih, hampir menangis. “Dada saya terasa perih, Bu, waktu melihat kondisi rumahnya. Benar-benar tidak layak. Saya sungguh tidak menyangka mereka tinggal di tempat sampah.”
“Tapi itu nyata, kan? Lepas dari Sari dan Bima, banyak orang yang tinggal di tempat yang tidak layak; di kolong jembatan, pinggir jalan, tempat sampah, dan pastilah ada alasannya kenapa mereka sampai terpaksa tinggal di tempat seperti itu. Jawaban yang segera terpikir adalah masalah ekonomi. Tapi mungkin Sari dan Bima punya alasan lain.”
Bi Anita tercenung, ia berpaling ke Pak Ridwan. “Jika alasan Sari tinggal di sana karena berusaha lari dan menghilang dari suaminya, tapi sekarang suaminya sudah tidak ada!”
Pak Ridwan tersenyum, “Ya, dan mungkin sekarang mereka berani untuk mencari tempat tinggal yang lebih layak. Kita tidak tahu. Dan aku yakin Sari juga punya rencana sendiri. Yang mesti kita hormati.”
Bi Anita menarik nafas panjang, dan terasa agak berat. “Ya, kamu benar. Tapi, tetap saja aku ingin mereka tinggal bersamaku.”
“Ya, kita lihat saja nanti. Tapi, jangan terlalu berharap, ya? Pak Anwar saja yang pensiunan tentara ditolaknya mentah-mentah, bahkan berkali-kali. Kamu dengar sendiri, kan ketika di rumah Sari, sebelum ke rumah sakit?” jelas Pak Ridwan.
“Pak Anwar?” gumam Bu Yati.
“Tetangganya Sari,” jawab Pak Ridwan, “Penjaga mesjid di dekat rumah Sari.”
“Ooh.”
Bima mendengarkan semuanya dan pada akhirnya ia tidak bisa fokus pada novel yang dibacanya. Sejauh imajinasinya membayangkan, akan menyenangkan rasanya bisa tinggal di rumah Bi Anita bersama Ivan, tapi benaknya juga bisa membayangkan kalau ibunya akan menolaknya. Ia tidak pernah tahu apa alasan ibunya. Setelah muncul ayahnya, Bima sempat mengerti kenapa ibunya menolak bantuan Pak Anwar; raksasa itu akan jadi masalah bagi orang yang menampung mereka. Tapi, raksasa itu sudah bukan ancaman lagi, tapi Bima masih tetap merasa yakin ibunya akan bisa mengutarakan alasan yang tepat untuk menolak Bi Anita. Bima tidak tahu alasan tepatnya, tapi… setiap melihat cermin, Bima tidak bisa mencegah pemikiran, Apa yang menghalangi aku tidak akan berubah menjadi seperti dia? Meski Bima sendiri yakin pikiran itu mustahil ada di benak ibunya. Itu hanya ada dalam pikirannya sendiri… dan menghantuinya.
Bima menutup novelnya dan termenung. Ia tidak melihat ketiga orang dewasa itu, tapi bisa mendengar obrolan mereka. Bima sadar mereka tidak tahu apa-apa terhadap apa yang dirasakannya. Bima sadar pernah merasakan amarah yang hebat yang tertuju pada ayahnya, dan kini ayahnya sudah tidak ada, tapi amarah itu terasa masih ada. Amarah itu tertuju pada dirinya sendiri yang tidak sanggup menjaga ibunya, tertuju pada gelapnya masa depan yang berpeluang dirinya bisa menjadi seperti ayahnya. Oh, jangan sangkal kemungkinan itu! Darahnya ada di dalam nadimu, Bima! Bima memejamkan mata. Akui kamu sempat berpikir akan membunuhnya, kan? Dan memang tidak secara langsung, tapi kamu tetap punya andil atas kematiannya! Jangan lupa itu!
Bima menarik nafas pelan, Aku tidak akan lupa.
Ya, Bima tidak akan lupa, dan Bima juga punya jalan keluarnya. Ivan dan portalnya.
Ia akan kembali ke masa lalu dan mencegah ibunya bertemu dengan ayahnya. Memang itu artinya dia tidak akan pernah terlahir. Lalu, apa yang akan terjadi? Aku akan menghilang begitu saja? Penasaran juga, ya?
Kembali Bima menghela nafas. “Kita mesti pulang sekarang,” kata Bima kepada Ivan, meski tidak berpaling kepada Ivan.
“Kamu membaca pikiranku,” sahut Ivan setuju. “Tapi kamu yang bilang.”
Bima beranjak, diikuti Ivan.