Lepas dari gerbang sekolah, Bima dan Ivan beralih arah ke kiri yang bukan biasanya arah yang mereka ambil saat pulang sekolah. Sempat Bima merasakan banyak tatapan mengikuti langkahnya, tapi kini Bima sudah tidak peduli. Mereka menuju bengkel las tempat Bima memesan sudut pentagram.
“Yang dah jadi baru tiga,” kata pemilik bengkel las itu. “Paling besok. Aku dah kasih tugas orang khusus buat kerjain ini.”
Bima dan Ivan saling menatap. Tapi Ivan segera kembali menghadap pemilik bengkel itu dan berkata, “Bisa tambah satu pesanan lagi?”
Bima mengerenyit heran. Ia lihat Ivan mengeluarkan satu buku tulisnya secara acak, membuka bagian paling belakang lalu mengambil pensil. Ia gambar sebuah elips yang agak tebal dan garis tebal tegak lurus yang satu ujungnya menempel pada elips itu. Ia juga menambahkan ujung lain dari garis tegak lurus itu meruncing.
“Buat apa?” tanya Bima.
“Buat pegangan,” jawab Ivan singkat.
Selesai menggambar itu ia jelaskan kepada pemilik bengkel las itu apa yang dikehendaki Ivan, bahkan sempat pula ia menunjuk bahan yang ia mau seiring mata Ivan berkeliling melihat isi bengkel las itu.
Lalu, Bima pun segera tahu maksud Ivan. Dari yang ia baca di buku FATEBENDER, setiap kejadian saat portal itu terbentuk, suasananya selalu menjadi liar, menerbangkan sekitarnya, meniup dan menghembus kencang. Mereka mesti berpegangan ketika portal itu terbentuk; dipuncak bukit sampah itu tidak ada tempat untuk berpegangan. Tapi, ada hal yang mengganjal dari rencana mereka sejauh ini, seperti ada kurang yang belum mereka lakukan. Bima termenung sendiri.
“Tapi ini jadi kerjaan yang terpisah, ya?” kata pemilik bengkel itu.
“Ya, tidak masalah,” jawab Ivan.
Pemilik bengkel itu mengerenyit heran dan menatap Ivan curiga. “Memangnya mau bikin apa sih? Ini bukan harga yang murah buat anak SD, lho.”
Ivan sempat gelagapan, tapi Bima dengan santainya menjawab, “Saya juga sudah bilang, Pak. Buang-buang uang tabungan. Tapi dia pengen sempurna katanya, biar nilainya bagus.”
“Buat tugas sekolah?” Pemilik bengkel itu mengangkat alis.
Dua bocah laki-laki itu mengangguk bersamaan.
Lalu Bima berkata, “Van, kita belum memikirkan pusatnya.”
“Pusat apa?” tanya Ivan tidak mengerti.
“Nanti saja aku jelaskan.”
Setelah pesanan baru Ivan itu disampaikan dan Ivan mendapatkan tanda terima baru, mereka pergi meninggalkan bengkel las. Mereka berniat menuju rumah Pak Anwar untuk membereskan dan membawa barang-barang Bima dan ibunya. Hanya saja, setelah Bima menjelaskan, arah mereka beralih sedikit.
“Kamu tidak lupa pusat pentagramnya, kan? Kakak kamu memakai kawat yang digantung dari atap gudang itu, ya, kan?” kata Bima.
“Aku tidak lupa,” tukas Ivan. “Aku berniat memakai besi panjang yang ditancapkan di tengah pentagram. Bukit itu cukup tinggi untuk memancing kilat.”
“Apa kita sudah punya?”
Ivan menghentikan langkah dan menatap Bima. Lalu menepuk keningnya sendiri. “Kita beli sekarang?”
Bima mendengus, “Nanti sudah sholat Jumat!”
Mereka mempercepat langkah menuju mesjid.
Ivan menunggu diluar mesjid sementara Bima sholat Jum’at. Selesai sholat, Bima secepatnya memakai sepatu untuk kembali meneruskan misi mereka, tapi agak terhambat oleh Pak Anwar yang memanggil.
“Kita ke rumah Bapak sekarang, Bim?” tanya Pak Anwar.
“Umm, saya sama Ivan mau beli bahan buat tugas sekolah dulu, Pak,” jawab Bima.
“Oh. Sudah itu jangan ke mana-mana lagi. Langsung ke rumah Bapak, ya? Kamu juga, Van. Bapak tunggu, lho.”
“Siap, Pak,” jawab Bima, sementara Ivan hanya mengangguk.
Bergegas mereka menuju toko bahan bangunan di kompleks ruko dekat Arrisa’s Laundry. Langkah Bima sempat terhenti saat mendekati toko bangunan itu, dan Ivan bisa mengerti kalau tatapan Bima menembus kerumunan orang di toko bangunan, melewati beberapa ruko yang menghalangi laundry tempat ibunya bekerja. Ivan pun ikut menghentikan langkahnya. Ia tatap temannya itu. memperhatikan tatapan Bima yang beralih mengeras, menegas dan menunjukkan determinasi—keputusan yang tidak lagi bisa berubah.
Ivan menghela nafas panjang.
Secepatnya mereka beli besi beton yang hanya bisa dibeli hanya dengan satuan sepanjang empat meter. Sempat juga pemilik toko itu bertanya kepada Ivan tujuan membeli besi itu, dan Bima mengulang akting yang sama ketika di bengkel las. Dan tak lama kemudian mereka meninggalkan toko bahan bangunan itu setelah meminta besi itu dipotong jadi dua sama panjang. Mereka angkat potongan besi itu bersama. Bima di depan dan Ivan di belakang, dan yakin tidak akan ada lagi raksasa yang membantu mereka.
Mereka simpan potongan besi itu di gudang mesjid, bersama dengan potongan pipa yang lainnya. Lalu, mereka kembali ke tujuan awal ke rumah Pak Anwar untuk membereskan barang-barang Bima dan ibunya. Itupun setelah Bima duduk sebentar di teras mesjid dan termenung…
“Banyak hal yang sudah terjadi, ya?” kata Bima lirih dengan tatapan menerawang.
Ivan ikut duduk di samping Bima. “Ya, aku tahu.”
“Ibuku berhak mendapatkan lebih dari ini, kamu tahu itu?” kata Bima pelan sambil menitikkan air mata.
“Ya, aku tahu,” kata Ivan juga lirih. Mengerti perasaan Bima karena Ivan juga merasakannya, bahkan lebih. Ia merasakan ketidak pastian yang lebih banyak dari Bima. Ibunya, ayahnya dan kakaknya, entah bagaimana nasib mereka.
“Kesalahan apa yang Ibu lakukan hingga bisa bertemu… ayahku?”
“Aku tidak tahu….”
“Apa juga kesalahan ayahku hingga dia memilih jadi seperti itu?”
Ivan mengerenyit. “Kamu bersimpati sama ayahmu?”
Bima mendengus. “Aku terpaksa. Darahnya ada dalam nadiku.”
“Tapi kamu bukan dia!”
“Ya, aku tahu itu! Aku hanya…. Coba perhatikan tadi di sekolah! Kamu bisa lihat tatapan mereka? Aku sungguh tidak mengerti! Jika mereka kasihan, kenapa tidak langsung temui aku dan bilang ikut bersedih? Jika mereka jijik atau marah atau tidak peduli, apa perlu tatapan mereka itu? Abaikan saja aku!”