Tidak peduli seberapa sempit celah di gerbang itu,
Atau seberapa berat beban dosa di kitabku.
Aku adalah tuan bagi nasibku,
Aku adalah kapten bagi jiwaku.
—Terjemah kasar dari “Invictus” karya, W. E. Henley.
Anita terisak. Berurai air mata. Menangis. Di lain tempat, di lain waktu. Di tempat yang selang sehari sebelumnya ia merasakan suasana riang makan bersama. Anita menangis di teras rumah Pak Anwar. Tangis yang menyeruak dari luka sedih yang tidak bisa ia sangka.
Umm, kalau… suatu hari nanti aku bisa bertemu Mama lagi, aku akan bilang Bibi sudah mengurusku dengan baik.
Kata-kata Ivan itu terngiang di benak Anita, membuatnya membatin, Inikah yang seharusnya aku antisipasi dari perkataanmu itu, Van?
Dilihatnya Bima duduk merunduk di hadapannya. Bocah itu sedang terluka, lahir dan batin. Di lengan kanan Bima tampak bebatan perban dan plester yang menutupi luka melingkar. Bocah itu terisak, menangis setelah panjang lebar bercerita. Cerita yang sulit Anita percaya, tetapi memekik kebenaran yang sulit ia sangkal. Yang menuduh kejam kalau sebagai bibinya, Anita, seharusnya bisa menyangkanya. Sialan kamu, Van!
Tapi bagaimana dia bisa menyangkanya? Seperti halnya pada Sabtu pagi, saat ia mengantar Ivan dan Bima ke sekolah. Dilihatnya tas sekolah keponakannya menggelembung penuh.
“Bawa apa saja sih? Penuh gitu?” tanyanya.
“Proyek kami,” jawab Ivan. “Bibi nanti menjemput sekitar jam satu, kan? Aku dan Bima akan berada di teras mesjid.”
Anita memicingkan matanya menatap Ivan. “Seharusnya kalian belajar buat hari Senin!”
“Ya, kami juga sebenarnya mau belajar juga,” kata Bima sambil menunjukkan tasnya yang tak kalah menggelembung dari tas milik Ivan. “Saya membawakan buku-bukunya. Ivan membawa… lebih banyak tanah liat.”
Dan Anita memercayai mereka.
Lalu, apa ketika sekarang Bima berkata jujur, aku kesulitan percaya? Apa-apaan ini?
Bima telah bercerita kalau Ivan berencana menyusul kakaknya, yang juga menyusul papa dan mamanya. Bima ceritakan juga kakek buyutnya Ivan yang menemukan desa terpencil di Mesir dan pengetahuan tentang sebuah gerbang yang bisa menembus ruang dan waktu—setidaknya secara teori. Bima juga bercerita tentang kakeknya Ivan yang menjadi sebab hilangnya papa dan mamanya Ivan dan bagaimana cerita mereka atas kejadian yang sebenarnya tertolak menjadi celoteh imajinasi anak-anak. Bima ceritakan juga hilangnya kakaknya Ivan dua tahun silam, dan niat bulat Ivan untuk menyusul mereka.
Bima juga menceritakan hari Sabtu kemarin, sepulang sekolah, mereka telah melengkapi komponen terakhir dari proyek mereka; dua sudut dari pentagramnya, berikut besi panjang yang salah satu ujungnya memiliki bentuk elips—sebuah pasak yang menurut Ivan akan digunakan sebagai pegangan, tapi ternyata… lebih dari sekedar pegangan bagi Ivan. Sepulang sekolah, mereka langsung menuju bengkel las untuk mendapatkan semua itu. lalu mereka simpan di gudang mesjid, juga sebagian dari perbekalan mereka.
Bima ingat, saat itu Ivan mengusulkan untuk membeli pisau untuk mempertahankan diri. Dan mereka mendapatkannya dari toko kelontong yang bersebelahan dengan toko bahan bangunan. Pisau itu sebenarnya sebilah pisau dapur, namun memiliki sarung pengaman. Ivan membeli dua; satu untuk dirinya dan satu lagi untuk Bima. Lalu mereka kembali ke mesjid. Sempat pula mereka mengunjungi puncak bukit sampah itu sebelum pager Ivan berbunyi.
Lalu pagi tadi, Bima dan Ivan minta ijin untuk lari pagi, dan Anita mengijinkannya. Tidak menyadari sama sekali kalau sebelum adzan Subuh Ivan dan Bima telah mengeluarkan tas ransel mereka lewat jendela kamar Ivan dengan menggunakan tali plastik. Lalu, ketika mereka hendak “lari pagi”, mereka mengendap-ngendap ke taman kecil di hadapan mobil Anita untuk mengambil tas ransel mereka. Dan sambil mengendap-ngendap juga, mereka keluar pagar.
Mereka pergi menuju Tempat Pembuangan Sampah.
Bodohnya aku! pekik batin Anita.
Ia ingat setelah lepas Dzuhur, ia baru menyadari Ivan dan Bima belum pulang. Ia coba panggil Ivan lewat pager-nya. Tapi setelah satu jam tidak mendengar kabar apa-apa, ia mulai cemas dan berniat mencari mereka. Anita juga meminta Mak Wasri mencari sekitar kompleks sementara ia memakai mobil untuk jangkauan yang lebih luas. Ia ingat saat itu mendung menggelayut berat di cakrawala dan bergerak mendekat. Perasaannya mulai tidak menentu.
Sedikit diketahui Anita kalau mendung yang ia tatap adalah mendung yang sama yang dilihat Ivan dan Bima. Mendung yang sebenarnya diharapkan oleh kedua bocah itu. Saat itu pentagramnya telah mereka pasang. Sempurna di atas bukit sampah itu. Di tengah pentagram itu telah ditancapkan batang besi panjang sebagai pusatnya—yang Ivan ketahui dari pengalaman dan Bima ketahui dari buku—sebagai tempat portal itu akan terbentuk.
Bima juga sudah memasang pasak yang akan mereka gunakan sebagai pegangan. Pasak itu ia tanam dalam-dalam dengan menginjak-injaknya, memanfaatkan berat badannya supaya besi itu melesak ke dalam tumpukan sampah dan tanah yang telah mengeras. Terletak agak jauh dari pentagram, sekitar satu meter dari lereng.
“Tinggal berliannya!” seru Ivan sambil mengeluarkan kantung hitam dari tas pinggangnya. Ia tumpahkan isi kantung itu ke telapak tangannya, lalu membagikan dua butir berlian ke Bima. Lalu, mereka pasangkan berlian-berlian itu di lubang yang tersedia di tiap sudut pentagram.
Ketika tinggal satu lagi berlian yang hendak dipasang, Ivan berikan sisa berlian itu ke tangan Bima.
“Kamu pasang yang terakhir,” kata Ivan.
“Kenapa mesti aku?”
“Kamu larinya cepat. Ayo, sebelum ada petir yang menyambar!” Lalu Ivan lari tergopoh-gopoh dengan beban berat dipunggungnya menuju pasak di dekat lereng.
Bima pasangkan berlian terakhir lalu langsung berlari mendekati Ivan. Mereka berpegangan pada pasak itu sambil memperhatikan langit.
Mereka bisa merasakan angin mulai bertiup kencang. Dingin dan semakin dingin. Mendung diatas mereka semakin menggumpal lalu….
GLAAAR!
Petir menyambar, persis di tengah pentagram itu. Bima dan Ivan sempat terperanjat meski benak mereka sudah mengantisipasinya.
GLAAAAR!
Petir menyambar lagi. Bima bisa melihat ada pendar di setiap sudut pentagram itu.
Apakah ini berhasil? pikir Bima