FATEBENDER

DMRamdhan
Chapter #32

Tawanan

Sekelompok milisi bersenjata berlari menembus hutan di pesisir sungai Citarum. Melarikan diri setelah mengalihkan perhatian pasukan Sekutu supaya rekan mereka yang lain berhasil meledakan gudang mesiu yang akan menjadi puncak dari peristiwa Bandung Lautan Api. Awalanya mereka berjumlah cukup banyak, namun saat melarikan diri, menjadi terpencar dan terpecah-pecah, sebagai taktik mengecoh pasukan Sekutu. Kini yang tampak hanya berenam dan mereka tidak berhenti sejak matahari terbit.

Kela, Kang, leulues! (Sebentar, Kang, lemes!)” kata seorang milisi berhenti berlari.

Yang lain ikut berhenti.

Montong eureun! Musuh masih ngudag! (Jangan berhenti! Musuh masih mengejar!)” bentak seorang milisi yang tampak lebih tua dan sepertinya pemimpinnya.

Tapi, Kang, gudangna geus ngabeledug. Boa musuh baralik deui, (Tapi, Kang, gudangnya sudah meledak. Bisa jadi musuh telah mundur,)”

Seolah menjawab prasangka mereka, desing peluru menghantam batang pohon dekat mereka, memberi tahu mereka kalau pasukan Sekutu masih mengejar mereka.

Mereka seketika merunduk.

Kang Wardi! Kumaha ieu? (Kang Wardi! Bagaimana ini?)” pekik seorang milisi termuda kebingungan.

Maraneh mundur! Keun ieu ku aing! (Kalian mundur! Biar ini aku urus!)” pekik milisi tertua itu sambil membalas tembakan dengan senapannya. “Dieukeun pelor maraneh! (Berikan peluru kalian!)”

 “Beak, Kang. (Habis, Kang.)”

Sami. Abi ge seep! (Sama. Saya juga habis.)”

Milisi bernama Kang Wardi itu menggeram sambil sekali menembak. “Heuh! Maraneh mah! Gues ingkah! Gancang! (Huh! Kalian ini! Pergi sana! Cepat!)”

Mereka berlima meninggalkan Kang Wardi sambil merangkak dan kemudian berlari setelah agak jauh. Kang Wardi pun tidak tinggal diam. Ia pun merangkak mundur sambil sesekali menembak. Ia bergerak agak menyamping, menjauhkan musuh dari arah melarikan diri teman-temannya.

Ketika pelurunya habis, Kang Wardi membalikan badan dan berlari zig zag di antara pepohonan. Dia sangat cepat, tapi tiba-tiba kepalanya membentur sesuatu. Ia terjengkang dan secepatnya hendak bangkit tapi moncong sepucuk senapan mencegahnya. Ia lihat seorang tentara sekutu menodongkan senjata ke arahnya. Ia tatap wajah tentara itu, merekam wajah orang yang hendak merenggut nyawanya. Tapi wajah tentara itu tampak terkejut.

“Pak Anwar?” katanya pelan.

Kang Wardi mengerenyit heran. Kepalanya masih berdenyut sakit.

Sir! You got him? (Pak, Anda menangkapnya?)” Tiba-tiba terdengar suara memanggil tentara itu. Lalu tampak beberapa orang tentara mendekat dari belakang tentara itu.

STOP! Don’t come any closer! (STOP! Jangan mendekat!)” pekik tentara itu keras.

But, Captain Ivan? (Tapi, Kapten Ivan?)”

He’s got dynamite! (Dia punya dinamit!)” pekik tentara itu lagi sambil mengangkat senapannya dan juga mengangkat kedua tangannya tanda menyerah.

Para tentara di belakangnya berhenti mendekat. Mereka ketakutan. Mereka tidak melihat milisi itu karena terhalang tentara bernama Kapten Ivan itu, tapi tetap aprehensif terpancar di wajah mereka.

Tentara yang dipanggil Kapten Ivan itu berpaling ke Kang Wardi. “Please, Sir! I beg of you to let them go. They are still young, (Saya mohon, Pak! Saya mohon lepas mereka. Mereka masih muda,)” katanya.

Kang Wardi yang masih terjengkang di tanah semakin tidak mengerti, lebih-lebih dia tidak mengerti bahasa Inggris.

Go! Withdraw! Tell HQ they’ve got me captive! (Pergi! Mundur! Katakan pada markas mereka menawanku!)” pekik Kapten Ivan, masih mengangkat kedua tangannya.

Tentara di belakang Kapten Ivan itu mundur dan menjauh.

Agak lama Kapten Ivan itu mengangkat tangan. Menunggu. Agak lama juga Kang Wardi terjengkang di tanah. Lalu Kapten Ivan menurunkan kedua tangannya dan mengulurkan tangan kanannya ke Kang Wardi.

Kebingungan, Kang Wardi menerima tangan itu yang membantunya berdiri. Setelah ia berdiri, tentara itu memberikan senapannya kepada Kang Wardi. Kang Wardi semakin bingung. Ia terima senapan itu. Lalu tentara itu menyatukan kedua tangannya dan menyerahkannya kepada Kang Wardi.

“Jadikan saya tawanan Anda, Pak,” katanya.

Kang Wardi semakin bingung. “Saya tidak punya tali.”

“Oh.” Lalu Kapten Ivan itu mengalihkan kedua tangannya ke atas kepala. “Sekarang kita ke mana?”

“Apa-apaan ini? Apa ini semacam jebakan?” desis Kang Wardi sambil mengangkat senapan dan menodongkannya ke dada tentara itu.

“Tidak ada muslihat apa-apa. Hanya saya ingin berjumpa dengan Anwar.”

Wajah Kang Wardi memerah dan tampak marah yang bercampur takut. Ia dorong senapan itu ke dada tentara itu hingga tentara itu terdorong dan punggungnya membentur batang pohon. “Darimana kau tahu nama anakku? Jangan macam-macam! Apa kalian, Sekutu, mulai tega membunuh anak-anak juga seperti Firaun!”

Kapten Ivan meringis, tapi ia semakin tersenyum, tidak hanya tersenyum, tapi juga menangis; air matanya terurai, namun sorot matanya menunjukkan ia bahagia. “Oh, tidak. Hanya hendak memberi tahu kalau anak Bapak, akan tumbuh dewasa, menikmati kemerdekaan, menjadi tentara, menjadi tua dan membangun sebuah mesjid.”

Kang Wardi tertegun.

Ya, itu semua hanya apa yang bisa Bima bayangkan. Tentu tidak akurat, tapi membantunya memahami apa yang ditulis Ivan dalam surat itu. Ivan cenderung berbelit-belit dan banyak detil yang tidak perlu seperti, Aku jadi penasaran, apa Anwar itu singkatan dari Anak Wardi? Mungkin kamu bisa menanyakannya langsung, Bim.

Otomatis, Bima, Bi Anita dan Pak Ridwan mengalihkan pandangan, dari lembaran kertas itu ke Pak Anwar.

“Ada apa?” tanya Pak Anwar heran, melihat mereka bertiga serempak menatapnya.

Umm, apa nama Bapak singkatan dari Anak Wardi?” tanya Bima.

Pak Anwar terbelalak dan tersipu. “Da-darimana kamu tahu itu?”

“Aku juga baru tahu,” timpal Bu Anwar.

Mereka bertiga kembali membaca surat Ivan.

 

Aku sempat ditawan dan diinterogasi oleh Tentara Rakyat. Aku katakan semua yang aku tahu. Aku tidak menahan apapun. Tapi, aku merasa keterbukaanku malah membuat mereka curiga kredibilitas apa yang aku katakan. Kamu lihat, Bim? Manusia itu aneh, bukan? Skeptis menahan manusia untuk melompat jauh, tapi keingintahuan mendorong mereka untuk melompat. Seperti halnya aku. Aku mungkin datang dari masa depan, aku tahu beberapa hal, tapi aku juga sama tidak tahunya dengan mereka karena aku juga seperti mereka, menjalani hidup masing-masing. Menimbang dan memutuskan pilihan masing-masing.

Aku mungkin berasal dari waktu yang berbeda, tapi tetap saja aku masih terikat waktu. Benar, Bim, seperti kata Quran; demi waktu, manusia itu benar-benar rugi. Karena, waktu akan selalu habis. Meski aku kembali ke masa lalu, tetap saja aku tumbuh tua. 

Perlu kamu tahu, Bim. Aku sudah menikah. Punya dua orang putri dan empat cucu. Memang aku sedih meninggalkanmu, meninggalkan kalian, tapi aku tidak bisa bilang aku menyesal. Aku punya hidup yang hebat! Dan aku juga berharap engkau juga sama.

Lihat selengkapnya