Delapan tahun kemudian….
Bima melangkah agak zig-zag, berusaha keluar dari Sherman Fairchild Library. Hari masih relatif pagi, tapi perpustakaan itu telah banyak orang. Kebanyakan dari mereka adalah freshmen seperti Bima. Dan kebanyakan dari mereka masih kebingungan dengan tahun pertama mereka di Caltech (Institut Teknologi California). Ketakutan dengan musim panas yang kian mendekat, yang artinya tahun pertama mereka hampir berakhir; teror ujian akhir tahun mengambang di cakrawala.
Sekeluarnya Bima dari perpustakaan, ia langkahi undakan tangga yang hanya terdiri dari tiga anak tangga. Lalu ia ambil arah kanan. Melewati beberapa mahasiswi yang duduk di tangga.
“Yo, Bim!” seseorang memanggil Bima dari belakang.
Bima menoleh. Dilihatnya seorang kulit hitam berkacamata melambai.
“Pizza course, Man? Wanna come? I got a hook with guys at JPL! (Waktunya Pizza, Bung! Mau ikut? Aku dapat koneksi sama orang-orang di JPL!)”. Bima sebenarnya mengerti kalau maksud teman Bima itu bukan aktual makan pizza, melainkan sebuah seminar kecil yang hanya diadakan di waktu makan siang dan menghadirkan peneliti-peneliti fakultas-fakultas yang ada di Caltech. Semacam frontier course yang diadakan saat makan siang bagi para freshmen. Dan teman Bima itu mendapat semacam koneksi dengan peneliti dari divisi JPL atau Jet Propulsion Laboratory; divisi yang dikelola Caltech untuk NASA (National Aeronautic and Space Administration/Badan Antariksa dan Penerbangan Nasional Amerika Serikat).
“Sorry! Got a date! (Sori! Ada kencan!)” jawab Bima, langsung melanjutkan langkah, memunggungi temannya sambil melambaikan tangan yang memegang sebuah buku.
“With who? (Dengan siapa?)” pekik mahasiswa kulit hitam itu terdengar kaget.
“My Mom! (Ibuku!)” jawab Bima agak kencang. Tak pelak jawaban Bima itu menarik perhatian beberapa mahasiswi yang duduk di tangga, dan kemudian mereka saling berbisik-bisik saat Bima lewat. Bima sempat melirik mereka dan mendapati mereka tersenyum kepadanya. Bima balas tersenyum dan mengangguk sopan. Bisik-bisik mereka makin intens setelah Bima berlalu.
Bima mungkin tidak terlalu tampan, tapi dia punya karisma yang mendominasi, aura yang menuntut perhatian. Di usianya yang sembilan belas tahun, Bima tumbuh menjadi pemuda yang atletis; bahunya lebar, lekuk bisep dan trisepnya terbentuk sempurna nyaris tanpa lemak dan tinggi besar untuk standar orang Asia. Saat ini dia sedang mengenakan kemeja flannel biru tua yang lengannya tergulung hingga sikut, jeans dan sepatu lari, juga tas ransel yang berayun seiring langkahnya. Satu tangannya tampak memegang sebuah buku bersampul hitam dengan tulisan di salah satu sisinya, Collection of Poems of Rudyard Kipling.
Ia melenggang menuju San Pasqual Walk dan kemudian mengambil arah kiri untuk mencapai Baxter Hall dan belok kanan menapaki Beckman Mall. Ia lewati Beckman Auditorium dengan mengambil arah melingkar ke kiri. Sempat ia memperhatikan gedung auditorium itu; bentuknya seperti tabung dengan pilar-pilar tinggi mengelilinginya, menyulut imajinasi Bima yang membayangkan sinar biru dan putih berpendar memancar dari puncak bangunan itu ke langit yang membuat langit yang cerah itu mendadak mendung dan perpusar pada menara sinar yang berpendar biru dan putih.
Bima tersenyum. Oh, tentu saja Bima tidak akan lupa hari itu; hari di mana Ivan memasuki portal itu.
Langkah Bima sejenak terhenti. Ia mendengar seseorang menyapanya.
“Excuse me. Umm …, are you Bima Anggadipati? (Permisi. Umm …, apakah Anda Bima Anggadipati?)”
Bima menoleh, ia lihat seorang gadis sebayanya menghampiri dan menatapnya. Ia sesaat tertegun, karena nalar laki-lakinya seketika memberi sinyal kalau gadis itu cantik. Berkulit coklat dengan rambut hitam tergerai melebihi bahu tertata dan tertahan rapi oleh bandana merah. Ia mengenakan jaket jeans dengn kaus hitam di dalamnya, celana jeans dan sepatu kanvas. Di bahunya menggantung tas dan tangannya memegang sebuah buku. Dari raut wajahnya, Bima bisa menyangka dia berasal dari India atau Pakistan, atau setidaknya leluhurnya yang berasal dari kawasan itu.
“Y-yes?” jawab Bima agak ragu.
“Excuse me…, ummm… may I have your autograph? (Permisi…, ummm… boleh saya minta tanda tangan Anda?)” ucap gadis itu sambil menyodorkan buku yang dipegangnya.
Bima kenali buku itu. Sebuah novel, berjudul “Chronicle of Ahmad”. Ia kenal karena ia yang menulisnya.
“Oh, sure! (Tentu!)” Bima raih buku itu.
Gadis itu kemudian meminjamkan Bima sebatang pena.
“Ummm, to whom do I owe this honor? (Ummm, kepada siapakah saya berhutang kehormatan ini?)” kata Bima setelah siap menandatangani buku itu.
“Ayeza Malik—A-y-e-z-a-M-a-l-i-k,” jawab gadis itu, menyebutkan nama dan mengejanya.
Bima menandatangani buku itu. “Wow, beautiful name. Ayeza. It’s mean ‘Honorable’, right? (Wow, nama yang indah. Ayeza. Artinya ‘Terhormat’, ya, kan?)”
Gadis itu tersipu malu, wajahnya memerah, tapi senyumnya melebar.
“I-I don’t know…, I suppose. (S-saya tidak tahu…, saya kira begitu.)” Dia tampak gugup dan gelagapan. Ia terima bukunya kembali, tapi Bima tidak segera melepasnya.
“Forgive me for being obnoxious, but is there a chance I could acquire your phone number? (Maafkan saya karena bersikap kurang ajar, tapi adakah kesempatan saya mendapatkan nomor telepon kamu?)” tanya Bima sambil melepas buku itu dan menyerahkan pena milik si gadis.
Gadis itu tertegun. Sesaat menatap Bima tapi kemudian merunduk sambil menggigit bibirnya.
“It’s okay if you mind. I’m sorry. (Tidak mengapa kalau kamu keberatan. Maafkan saya.)”
“No, it’s fine! (Tidak, tidak apa-apa!)” seru gadis itu tiba-tiba sambil meraih lengan Bima. Tapi secepat ia menyentuh tangan Bima, secepat itu juga ia melepasnya. “I-It’s… m-my pleasure… really. (Saya senang, sebenarnya.)”
Gadis itu membuka tasnya dan mengambil sebuah buku tulis. Ia robek secarik kertas dan menuliskan nomor teleponnya. Lalu ia serahkan kertas itu kepada Bima.
“Thank you,” ucap Bima setelah menerima kertas itu.
“My pleasure,” jawab gadis itu. Tersenyum lebar.
Mereka sejenak saling menatap dan melempar senyum.
“Umm, I… gotta go, (Umm, saya… harus pergi,)” ucap gadis itu sambil sedikit melangkah mundur.
“Yeah, me too, (Ya, aku juga,)” balas Bima. “I’ll call you, (Aku akan menghubungimu.)”
Gadis itu tertegun sejenak sebelum mengangguk dan membalikkan badan. Ia melangkah menjauhi Bima, sesekali ia melirik Bima dan tersenyum.
Bima balas tersenyum lalu membalikkan badan. Ia mulai melangkah meski ia sempatkan melirik Ayeza. Ia pergoki gadis itu tengah berjingkrak senang.
Senyum Bima makin lebar sambil terus melangkah melanjutkan perjalanan. Ia lipat kertas berisi nomor telepon Ayeza dan menyimpannya di saku kemeja.
Well,well, well, bagaimana menurut, Van? Aku masih cowok normal, kan?
Lalu, tapak kakinya sampai di Michigan Avenue. Ia terus berjalan ke utara, dan sekali ia melihat jam tangannya. Ia percepat langkahnya dan berbelok arah di Del Mar Boulevard ke arah timur, menyeberang jalan, dan kembali mengambil arah utara di Chester Avenue. Di ujung jalan itu terdapat sebuah taman, Bima masuki taman itu.
Bima temukan sebuah bangku di bawah pohon yang rindang, dekat taman bermain anak-anak. Bima duduk di sana dan membuka buku kumpulan puisi dari Rudyard Kipling. Ia sudah menandai bagian dari buku itu, pada sebuah puisi ber judul “If”.
Sebelum membaca, ia memeriksa sekelilingnya kalau-kalau ibunya sudah datang. Ia tidak temukan Bu Sari, lalu ia merunduk menatap bukunya.
Ya, kini Bima dan Bu Sari tinggal di Pasadena, California. Amerika Serikat.
Berkat jasa Pak Ridwan, Bima berhasil melompat beberapa kelas. Bima belajar dan berprestasi hingga sempat kuliah di Institut Teknologi Bandung selama satu tahun lebih sedikit, dan kemudian mendapatkan beasiswa di Caltech. Nasib memudahkannya untuk bisa memboyong ibunya ikut bersama. Hanya kasih Allah yang memudahkannya bisa hijrah ke Amerika di tahun-tahun yang dekat dengan peristiwa sebelas September.
Sudah satu tahun, ya? pikir Bima, mengingat hari pertama ia dan ibunya menjejakkan kaki di tanah Amerika. Matanya menerawang sesaat, sebelum fokus pada bait terakhir dari puisi Rudyard Kipling itu.
If you can fill the unforgiving minute,