FaThin

Nurusifah Fauziah
Chapter #5

Petir di Siang Bolong

Waktu terus berjalan. Hari ini adalah hari Ujian Nasional terakhir. Aku harus tetap fokus meski sebentar lagi keluargaku akan pergi berlibur.

Rencananya kami akan pergi melihat pantai di Bali. Uuuhh tak sabar rasanya!

Pagi ini ibu mengantarku ke sekolah lebih awal dari biasanya. Diantar ibu sudah merupakan sumber kekuatan terbesarku. Kami berbincang perihal berlibur nanti.

Hampir sampai di sekolahku, tiba-tiba ibu menghentikan mobilnya. Dengan terburu-buru ibu mengambil tas perlengkapan medis yang memang selalu ibu bawa di kursi belakang, kemudian bergegas keluar.

Aku terkejut melihat tingkah ibu yang tiba-tiba keluar dari mobil, kemudian aku menyusul ibu keluar. Rupanya ibu melihat seorang wanita dewasa yang tersimpuh kesakitan di pinggir jalan. Wanita itu tampak memegang dadanya seperti susah bernapas.

Aku pun menjadi panik melihatnya. Dengan sigap ibu membuka tasnya, mengeluarkan oksigen berbentuk tabung kecil dan langsung mengarahkannya pada wanita tersebut. Ibu membimbingnya agar oksigen tersebut dapat berfungsi untuknya. Ketika ibu melakukan pertolongan pertamanya tersebut, ibu memintaku untuk menghubungi ambulance.

Sekitar lima belas menit kemudian ambulance datang menjemput. Aku melihat ibu yang tengah berbicara dengan salah satu petugas ambulance tersebut, kemudian menghampiriku ke dalam mobil dan melanjutkan perjalanan menuju sekolahku.

"Bu apakah wanita tadi selamat?" tanyaku penasaran.

"Ibu sudah memberikan oksigen tadi, wanita itu bisa selamat karena kakak membantu ibu menghubungi ambulance. Terimakasih ya kak sudah bantu ibu," jawab ibu memegang tanganku.

Tak terasa kami tiba di sekolahku. Sebelum beranjak aku mencium kening ibu.

"Bu nanti sepulang ujian, kakak ke rumah sakit ya Bu," ucapku meminta izin.

"Kakak mau ke sana dengan siapa?" tanya ibu.

"Kan ada ojek online Bu tenang saja," ucapku tersenyum.

"Yasudah kabari ibu ya kak," jawab ibu mengelus rambutku.

Aku turun dari mobil dan melambaikan tangan ke arah ibu. Ibu pun bergegas pergi menuju rumah sakit tempatnya bekerja. Aku berlari menuju ruang kelas yang sebentar lagi akan memulai ujian.

Aku tiba di ruang ujian lima menit sebelum bel berbunyi. Aku mengatur napas sejenak. Terlihat bangku Tia yang masih kosong. Aku terus memandang kursinya sampai bel berbunyi, namun Tia tak kunjung datang.

Seisi ruangan tampak hening dengan wajah pucat. Ada yang memainkan pensilnya, ada juga yang masih tampak membuka lembar catatannya. Beginilah rasanya. Beban yang harus dipikul dari harapan orang tua yang besar. Setiap anak pasti tak ingin mengecewakan orang tuanya.

Lihat selengkapnya