FaThin

Nurusifah Fauziah
Chapter #6

Penyesalan Tak Berujung

Satu hari berlalu, pasca kepergian ibu. Rumah ini tampak redup dan begitu dingin seperti tanpa sinar matahari yang senantiasa menghangatkan dunia untuk kehidupan. Lebih tepatnya, ini duniaku saat ini. Seperti memaksa hidup atau bernafas dengan hampa. Jiwa ini menjadi rapuh.

Meski raganya telah tertutup tanah tak terjangkau oleh mata, namun aroma tubuhnya masih bisa kurasa seperti memeluk rumah ini. Tuhan, bisakah aku bertemu ibu walau lewat mimpi?

Terpuruk di dalam kamar tanpa suara menyapa. Ayah bilang akan pulang malam hari ini karena ada sesuatu yang perlu diurus. Semuanya menjadi hening.

Aku rindu ibu. Lebih baik aku berkunjung ke makamnya. Aku segera bergegas.

Di siang hari yang teduh, aku menanti ojek online yang sudah kupesan dari aplikasi. Saat tengah menanti tiba-tiba saja ponselku berdering. Rupanya Kak Roby lagi. Aku menghiraukannya. Dari pesan masuknya ia berkata bahwa ada yang ingin dibicarakan padaku.

Tak lama kemudian ojek online tiba.

"Siang Kak, ini benar Kak Fathin ya?" tanya driver sembari melihat ke arah ponselnya.

"Iya pak, saya," jawabku mengangguk.

Kemudian bapak tersebut memberikan helm-nya padaku.

Kami bergegas menuju pemakaman ibu. Ditengah perjalanan aku teringat akan bunga krisan ungu kesukaan ibu. Aku memberitahu driver untuk singgah sejenak ke toko bunga untuk membelinya.

Setibanya di toko bunga, mataku langsung mencari bunga krisan ungu. Beruntungnya aku, karena bunganya masih tersedia. Aku memandang jauh kenangan bunga ini akan ibu. Kupeluk erat bunga ini seakan memeluk ibuku. Kemudian kami melanjutkan perjalanan.

Sepuluh menit kemudian kami tiba di pemakaman. Dengan bunga krisan dan air mawar aku mulai melangkah masuk. Perlahan kakiku semakin bergetar. Tapi bagaimana pun caranya aku harus menemui ibu. Kupejamkan mata dan menarik napas panjang untuk mengumpulkan kekuatan. Aku kembali melangkah.

Sekarang semakin mendekat namun, kulihat seseorang tampak berdiri dengan payung hitam disebelah makam ibu. Aku bergegas mendekatinya.

Ternyata....

"Ayah. Ayah kok kesini gak bilang kakak?!" ucapku yang terkejut mendapatinya disini.

"Lho kakak kesini sama siapa?" tanya ayah.

"Kakak pakai aplikasi ojek online. Ayah bilang ada urusan sampai malam, tapi kok Ayah di sini?" tanyaku mendesaknya.

"Hmmm, u... urusannya tak ayah kira selesai lebih cepat kak, jadi ayah kebetulan juga lewat sini dan berkunjung menemui ibu," kata ayah memegang pundakku.

"Tapi Ayah gak boleh begini lagi ya, Ayah harus ajak kakak juga lain kali," ucapku dengan wajah cemberut.

Kemudian aku meletakkan bunga krisan ungu diatas makam ibu. Tak lupa juga menuangkan air mawar. Ayah membimbingku untuk mendoakan agar ibu tenang di surga. Aku hanya bisa mengelus papan nisan ibu yang berwarna putih. Kupandang terus namanya dengan hati yang terasa perih. Aku merindukanmu ibu. Tuhan tolong jaga ibuku. Aku menangis lagi untuknya.

Waktu menunjukkan pukul tiga sore. Ayah mengajakku untuk kembali ke rumah. Kami meninggalkan ibu lagi.

Di sini.

**

Di tengah perjalanan ayah membawa mobilnya ke restoran ayam goreng terkenal.

"Ayah lapar nih, kakak lapar gak? Kita makan disini ya," ajak ayah.

"Hmm kakak juga belum makan sih Yah, yasudah ayo kita makan," jawabku menyetujuinya.

Ayah merangkulku memasuki restoran.

"Ayah ingin pesan 1 paket ayam isi 4 potong tanpa nasi, spaghetti, ice cream sundae dan soda. Kakak ingin apa?" ucap ayah bertanya.

"Kakaaaakk hmmmm sama dehh. Kakak pesan yang sama seperti Ayah, tapi sodanya diganti ice chocolate ya Yah," jawabku menunjuk menu ice chocolate.

Setelah memesan, kami mencari meja dekat taman bermain anak-anak yang terlihat kosong. Kami menuju kesana. Ayah tak henti memegang erat tanganku di atas meja. Aku diam tak bergeming beberapa saat.

"Yah, kakak mau cuci tangan dahulu sebelum makan. Kakak dahulu ya nanti gantian," ucapku melepas genggaman ayah.

Aku beranjak dari kursi. Pada saat mencuci tangan aku memandang ke kaca. Berkali-kali harus kuyakini bahwa saat ini adalah kenyataan yang sesungguhnya. Tak apa, aku masih punya ayah. Bagiku mungkin cukup meski, aku membutuhkan waktu untuk terbiasa menerima semuanya. Setelah selesai aku kembali menghampiri ayah. Aku hampir menjangkaunya namun, kulihat ayah tengah berbicara dengan ponselnya.

"Baik pak terimakasih informasinya. Malam ini saya segera kesana. Baik pak selamat sore," ucap ayah menutup panggilannya.

Setelah ayah meletakkan ponselnya, aku kembali melangkah.

"Ayah," ucapku memanggil.

"Iya Kak, ada apa?" jawab ayah terlihat terkejut melihatku yang tiba-tiba saja datang.

"Aku sudah cuci tangan, sekarang giliran Ayah," ucapku.

"Aaa... oh iya Kak sebentar ya," jawab ayah.

Aku melihat sekitar. Banyak anak-anak tertawa riang gembira. Bahagianya anak kecil sungguh sederhana. Apa ini? Kok rasanya aku menjadi iri dengan anak-anak itu.

Tak lama kemudian ayah datang. Di hadapan kami sudah tersedia semua makanan yg kami pesan. Aku melihat ayah yang begitu lahap menyantap makanannya,

"Ayo kak makan," ucap ayah menyuruhku untuk segera makan juga. Namun, tiba-tiba saja kulihat matanya berkaca-kaca. Aku terus menatapnya untuk beberapa saat.

"Baiklah ayo makan!" ucapku melahap ayam goreng yang besar ini.

Lihat selengkapnya