FaThin

Nurusifah Fauziah
Chapter #8

Penampilan Terakhir Untuk Perpisahan

Satu bulan sudah kepergian ibu telah kami lewati dengan saling menguatkan. Sudah tiga hari pula ayah bertugas ke luar kota. Terkurung seorang diri di rumah yang penuh dengan kesunyian. Waktu terus berputar kian mengantarkanku pada kekosongan.

Tak seperti biasanya, aku tak lagi menyentuh alat-alat musikku. Sudah lama aku tak memasuki rungan itu. Mungkin saat ini mereka sudah berdebu.

Jam menunjukkan pukul 3 sore dan aku merasa lapar. Teringat, kemarin ayah mengirimkan beberapa kue yang belum sempat kumakan. Aku bergegas menuju kulkas. Mataku terhenti pada kue yang sangat cantik dengan cokelat menyelimuti seluruh permukaannya. Aku sangat menikmatinya. Ini memberiku rasa manis dan sedikit ketenangan. Tiba-tiba saja ponselku berdering. Rupanya panggilan dari ayah

“Halo kak, kakak sedang apa?” tanya ayah.

“Sedang makan kue yang kemarin Ayah kirim. Ini enak Yah kakak suka!” jawabku sembari mengunyah.

“Ayah senang kalau kakak suka. Oh iya kak besok pagi penerbangan Ayah menuju Jakarta jadi, Ayah akan sampai rumah mungkin di siang hari. Kakak gak apa-apa kan jika Ayah baru tiba di rumah saat siang?” tanya ayah lagi.

“Gak apa-apa Yah, kakak sudah mulai terbiasa kok. Ayah harus berhati-hati sepanjang jalan,” ucapku menutup panggilan.

Aku melirik ke arah televisi. Kurasa menonton film akan menghilangkan rasa bosan. Aku memutar film bersama kue ayah. Suasananya terasa seperti sedang menikmati film bersama ayah.

Marathon menonton film sampai tengah malam tak kusadari menghabiskan setengah isi kulkas seorang diri dan mulai tertidur di sofa.

***

Keesokan harinya…

Waktu menunjukkan pukul 10 pagi. Aku terbangun dan mendapati diriku di sofa. Ahh rupanya aku benar-benar tidur di sini sepanjang malam. Kubersihkan meja yang penuh dengan bungkus cokelat, ice cream dan snack lainnya kemudian beranjak mandi.

Membasahi diri dengan shower, aku kembali menangis. Tak bisa diungkapkan dengan kata-kata tentang hatiku yang hancur merindukan ibu, begitu juga dengan Kak Roby. Merintih pilu seorang diri. Aku berusaha keras menahannya. Menjaga kewarasanku. Berusaha bernapas meski sulit bagiku. Memohon agar dunia perlu mengerti tentang kesedihanku, karena aku tak ingin membagi air mataku di depan ayah. Aku berusaha keras menyembunyikannya.

Ayah berkata akan tiba di rumah dalam satu jam, tetapi aku sudah sangat merindukannya. Aku memandang bingkai foto yang tertempel di dinding kamarku. Terlihat senyum cerah wajah ayah dan ibu yang menatapku. Andai bisa kuputar waktu, aku akan menemani ibu selalu. Aku takkan peduli meski harus terjaga siang dan malam. Aku ingin selalu di sisinya.

Tiba-tiba bel rumah berbunyi. Rupanya ayah sudah tiba. Aku berlari menyambut dengan memeluknya. Ayah tersenyum mencubit pipiku. Ayah bertanya bagaimana hariku. Aku hanya menjawab dengan tersenyum berusaha menyembunyikan kesedihan yang selalu mengelilingiku, kemudian bergegas membawa masuk koper ayah ke dalam.

Ayah memasuki dapur menuju ke kulkas. Ketika sampai dan membuka kulkasnya ayah begitu terkejut karena isi kulkas sudah setengahnya habis.

“Kak, selama Ayah pergi ada teman kakak yang main kesini?” tanya ayah.

“Gak ada Yah, kakak di rumah sendiri nonton film sepanjang hari,” jawabku menggeleng.

“Berarti isi kulkas kakak yang makan semuanya?” tanya ayah terkejut.

Aku hanya mengangguk sembari tertawa kecil.

"Yasudah nanti kita belanja lagi ya kak," ucap ayah mendekat, memeluk dan membelai rambutku.

"Oh iya kak, bagaimana nilai ujian nasional kakak? Apakah sudah keluar hasilnya? Pasti bagus kan?" tanya ayah penasaran.

"Hayoo tebak berapa nilai kakak?" jawabku meledek ayah.

"Hmmmm... Ayah yakin semua nilai kakak ada di angka 9," jawab ayah menerka-nerka.

"Betuuuul Ayah hebat bisa menebaknya, tetapi itu hampir benar!" jawabku kembali.

"Lho kok hampir benar memangnya ada yang berbeda?" tanya ayah.

"Ada dong Yah, nilai bahasa Inggris kakak adalaaaahhh 100," jawabku melompat.

"Wah anak Ayah benar-benar hebat. Lalu siapa yang tertinggi nilainya di sekolah kak?" tanya ayah lagi.

"Hehehe..." jawabku tersenyum menggaruk kepala.

"Aaaaahh itu pastiii anak Ayaaah!!! Kakak terbaik! Ayah benar-benar bangga sama kakak, terimakasih ya kak atas usaha kerasnya," ucap ayah memelukku.

Aku bersyukur atas pencapaianku yang telah berusaha keras selama ini namun, ini bukanlah akhir karena masih ada ujian panjang menantiku setelah lulus SMP.

***

Malam telah usai, matahari pagi mulai memberikan salam pada dunia. Hari ini aku bangun lebih pagi, karena ayah akan bersiap berangkat ke tempat kerja. Aku menuju meja makan, karena mendengar seperti ayah sedang memasak.

"Pagi!! Ayah masak apa?" tanyaku sembari menuangkan air putih ke dalam gelas.

"Ini Ayah sedang buat nasi goreng kak, kakak mau kan?" tanya ayah memastikan.

"Wah apakah itu pedas?" tanyaku penasaran.

"Tentu saja!" jawab ayah gembira.

Mendengarnya membuatku bertepuk tangan dengan riang seketika.

"Ini dia nasi gorengnya tuan puteri," ucap ayah memberikan sepiring nasi goreng yang terlihat lezat.

"Terimakasih, ini pasti enak!" ucapku menyiapkan sendok dan garpu.

Kami sarapan dengan lahap.

"Kak hari ini Ayah hanya melaporkan hasil dari pekerjaan kemarin jadi, Ayah akan pulang lebih awal," ucap ayah menatapku.

"Horeeee!! Ayah jangan lupa beli kue lagi ya, dan jangan lupa hati-hati dalam perjalanan ya!" jawabku kegirangan.

Beberapa menit kemudian ayah menancapkan gas-nya dan pergi meninggalkanku. Aku mengantarnya sampai ke garasi dan melambaikan tangan ke arahnya, kemudian kembali masuk untuk membersihkan rumah. Ahhh rumah ini hening lagi. Tiba-tiba saja handphone-ku berdering. Rupanya panggilan dari Pak Anton yang merupakan pembimbing ekskul seni musik,

“Selamat pagi Pak, ada apa ya?” tanya ku.

“Gimana kabarnya Fathin? Apakah bapak mengganggu waktumu? tanya Pak Anton.

Lihat selengkapnya