FaThin

Nurusifah Fauziah
Chapter #9

Mengapa?

Selesai sudah aktivitasku di sekolah selama tiga tahun. Sekarang adalah waktunya untuk berlibur. Kami juga sudah merencanakan berlibur ke Bali saat itu namun, kami menutuskan untuk membatalkannya. Bagaimana pun semua tak akan sama jika tidak ada ibu.

Ayah semakin sibuk dengan pekerjaannya. Aku pun tak kalah sibuk. Sibuk di depan televisi sembari makan ini dan itu. Aku merasa menyukai duniaku yang seperti ini. Di rumah ini. Rumah yang isinya adalah kenangan ibu dan ayah. Aku sangat menyukai berada di rumah, karena aku benar-benar menjadi diriku tanpa tuduhan bising yang selama ini kudapatkan dari teman-teman.

Waktu mendekati jam makan malam. Ayah memanggilku untuk segera keluar kamar. Kami akan pergi untuk makan beef steak sesuai perjanjian siang tadi. Kami bergegas keluar.

Aku membuka kaca mobil melihat sekeliling. Udara malam yang sangat dingin. Begitu dingin sampai aku merintikkan air mata. Aku memandang ke arah ibu dan anak yang tengah menari membawa kantong belanjanya. Mereka terlihat sangat gembira. Tiba-tiba saja mobil terhenti, kemudian ayah memanggilku. Dengan sigap aku mengusap pipi yang sudah basah dengan telapak tangan.

“Kak? Kakak kenapa?” tanya ayah.

“Gak apa-apa Yah hanya kelilipan,” jawabku sembari tersenyum.

“Kita sudah sampai kak, ayo turun,” ucap ayah.

Ini adalah restoran kesukaan keluargaku. Suasana yang sangat nyaman. Restoran yang memiliki banyak titik bagus untuk berfoto. Tak hanya itu, di sini juga terdapat beberapa alat musik, jadi siapa saja bisa memainkannya.

Aku duduk di kursi sembari memandang ke arah panggung karaoke yang berada tepat di depan mejaku. Teringat ketika ayah dan ibu pernah bermain piano dan biola di hari ulang tahunku. Tepat di panggung itu membawa semua harmoni yang gembira ke seluruh ruangan. Mengingatnya membuatku merasa baru saja terjadi kemarin.

Ayah memesan menu yang biasa kami santap, kemudian memanggilku yang sedang asyik termenung.

“Kak, kakak kan sudah lulus. Kakak ingin sekolah dimana?” tanya ayah.

“Dimana saja Yah, kakak ikut keinginan Ayah saja,” jawabku pasrah.

“Ada yang ingin Ayah bicarakan, sebenarnya Ayah akan di mutasi ke Bandung. Ayah harus menyelesaikan tugas kantor disana sampai waktu yang Ayah juga belum tahu kapan selesainya. Jadi kalau kakak ingin tetap sekolah di sini nanti Ayah akan panggil asisten rumah tangga untuk menemani kakak, mungkin Ayah bisa atur pulang ke rumah satu minggu sekali,” ucap ayah menjelaskan.

“Kalau kakak ingin ikut Ayah bagaimana?”

“Ya gak apa-apa kalau kakak ingin ikut Ayah. Tetapi di Bandung kak. Itu berarti kakak harus adaptasi ulang. Kakak yakin ingin ikut?” tanya ayah memegang tanganku.

“Tak apa Yah, kakak tetap ingin bersama Ayah saja. Ya walaupun Ayah juga pulangnya larut malam, tapi kakak bisa lihat Ayah setiap hari,” jawabku memutuskan.

“Yasudah mulai besok kita harus mempersiapkan diri untuk berangkat. Lusa kita akan meninggalkan Jakarta. Ayah akan coba carikan sekolah yang bagus untuk kakak, lagi pula nilai kakak juga bagus semua jadi, Ayah tak akan kesulitan mencari sekolah terbaik untuk kakak. Terimakasih ya kak karena sudah berusaha keras mendapat nilai sebagus itu. Ayah bangga sama kakak!” ucap ayah memujiku.

Aku hanya menjawabnya dengan mengangguk.

Kemudian pesanan kami pun datang. Kami menikmati makanannya. Hanya beberapa menit saja makananku habis, tetapi anehnya aku masih merasa lapar. Aku memanggil pelayan dan memesan satu porsi lagi. Terlihat ayah menjadi kaget dan tersenyum melihatku.

Makan malam porsi keduaku selesai. Waktu menunjukkan pukul 8 malam. Ayah mengajakku pergi ke mall untuk membeli beberapa pakaian. Ayah berkata bahwa aku mulai tumbuh dewasa, jadi aku memerlukan pakaian yang sesuai untuk usiaku. Aku merasa bersyukur karena ayah sangat menyayangiku.

Setelah membeli beberapa pakaian, aku melihat ke arah toko kue dan donat yang sangat ramai pembeli. Kupikir mungkin karena rasanya yang lezat. Akhirnya aku memutuskan untuk ikut antre di barisan untuk membelinya juga. Aku melirik ke arah ayah, ayah hanya mengangguk dan tertawa melihatku sembari memberikan kartu debitnya. Aku begitu terpesona dengan bentuk semua kue dan donat yang ada. Kenapa ini sangat menggiurkan? Kenapa selama ini aku tak bersahabat dengan mereka? Kini aku mengerti kenapa ayah sangat menyukai mereka. Aku menunjuk ini, ini dan itu. Tetapi aku bingung untuk memilihnya, karena sangat banyak pilihan tersedia. Akhirnya kutunjuk semua yang ada masing-masing 1 jenis.

Selesai sudah waktu berbelanja kami. Ayah membawa pakaian yang sudah dibeli, sedangkan aku membawa semua donat dengan riang.

Setibanya di rumah, aku segera membuka kardus donat yang sudah sepanjang jalan kupikirkan untuk langsung menyantapnya. Aku berlari ke dapur untuk mengambil soda yang berada di dalam kulkas kemudian bergegas kembali ke ruang keluarga, tempat kuletakkan semua donat di sana. Aku memulainya dengan donat yang berbentuk hati. Gigitan pertama rasanya sangat enak dan begitu empuk. Kulihat rupanya donat ini berisi krim keju. Pantas saja toko donat ini begitu ramai pembeli. Tapi sayangnya sebentar lagi aku akan pindah ke Bandung. Itu artinya aku akan berpisah dengan donat-donat ini.

Setengah lusin donat sudah habis kusantap. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. Ayah menghampiriku untuk pergi tidur dan mengingatkan agar aku tak lupa menggosok gigi sebelum tidur.

***

Keesokan harinya...

Aku dan ayah mulai untuk berkemas. Kami hanya membawa beberapa pakaian dan berkas saja. Tak semua barang diangkut ke sana, karena ayah berkata kalau kami memiliki rumah dinas di sana. Ternyata berkemas itu melelahkan. Membuatku menjadi lapar. Seketika aku teringat akan donat-donat yang masih tersisa semalam. Aku bergegas mengambilnya dan membawa kembali untuk dinikmati bersama ayah. Ayah begitu terkejut ketika melihat donat ini sudah banyak dihabiskan olehku seorang diri semalam.

“Yah besok kan kita pergi ke Bandung, boleh tidak jika kita beli donat ini lagi untuk amunisi sepanjang jalan?” ucapku membujuk ayah.

“Iya kak boleh, nanti sore kita beli lagi ya,” jawab ayah.

Mendengarnya membuatku merasa sangat gembira. Kami pun melanjutkan pekerjaan. Disaat seperti ini pasti menyenangkan kalau ibu ada bersama kami. Entah kenapa ayah tak pernah membicarakan ibu. Tiba-tiba saja ayah pergi menuju kamarnya tanpa sepatah kata. Melihatnya pergi begitu saja tentu membuatku bingung. Ada apa dengan ayah?

Selang beberapa menit kemudian, aku memutuskan untuk pergi melihat ayah ke kamarnya. Aku melihat dari luar, di depan pintu yang setengah terbuka. Kulihat ayah tampak menangis tanpa suara memeluk sebuah bingkai. Aku mendekatinya dengan melangkah lagi. Ternyata itu adalah foto ibu yang sedang dipeluk ayah. Rupanya ayah juga sangat merindukan ibu. Sepertinya ayah tak ingin menunjukkan kesedihannya di depanku. Sama sepertiku yang juga tak ingin membuat ayah menjadi khawatir. Pada akhirnya kami menyembunyikan semua kesedihan ini masing-masing. Kuputuskan untuk kembali ke kamar saja.

Kami berdiam diri hingga petang tiba.

Ayah memanggilku untuk segera bersiap membeli kue lagi. Aku menghampiri ayah yang sedang berada di dapur dengan cemas.

“Ayah, boleh tidak jika kakak ingin bertemu ibu sebelum kita pergi meninggalkan kota ini? Besok kan kita berangkat pagi sekali, jadi kakak ingin berpamitan sebentar,” ucapku membujuk.

“Iya kak, ayo kita kesana. Kakak ganti baju dulu tapi ya. Pakai baju yang cantik,” jawab ayah memegang tanganku.

Aku kembali ke kamar untuk bersiap. Melihat diriku di depan cermin ketika memakai baju pemberian ibu. Ketika kupakai entah kenapa baju ini terasa begitu sempit. Padahal aku ingin sekali memakai baju ini untuk bertemu ibu. Aku berpikir sejenak untuk tetap memakai baju ini. Aku melihat ke arah gantungan lemari dan mendapati kardigan berwarna hitam. Yap benar! Aku bisa memakainya agar tak terlihat sempit dan tetap memakai baju ini. Masih di depan cermin, aku berkata pada diriku agar tak menangis hari ini. Dengan begitu aku tak membuat ayah bersedih karenaku.

Aku menghampiri ayah yang sudah menunggu di mobilnya. Dengan tersenyum kukatakan mari kita bertemu ibu! Ayah mulai menancapkan gasnya.

Hari ini tampak begitu cerah sehingga lalu lintas begitu padat. Aku memutar lagu untuk membunuh rasa yang kian suntuk karena kemacetan ini. Di tengah perjalanan ayah singgah di sebuah toko bunga. Ayah membeli beberapa bunga. Kulihat bunga krisan ungu yang terpajang diantara bunga matahari dan bunga mawar. Seketika aku mengambil dan memberikan kepada ayah agar membayarnya juga. Setelah ayah membayar, kami melanjutkan perjalanan.

Kami tiba di pemakaman ibu sebelum hari menjadi gelap. Ayah meletakkan bunga krisan di atas makam ibu.

"Bu, Ayah pamit ya ada tugas di Bandung. Ayah bawa kakak juga karena kakak ingin. Bu, kakak dapat nilai yang bagus sekali, jadi kita tak akan kesulitan untuk pendaftaran sekolah. Ibu juga pasti bangga kan sama kakak? Terimakasih ya Bu sudah melahirkan anak perempuan yang cantik dan pintar seperti kakak," ucap ayah mengelus papan nisan ibu.

Aku terdiam memeluk ayah. Semakin lama dan semakin erat. Aku sangat berusaha untuk tidak menangis. Meskipun, pada akhirnya air mata tetap menetes namun, kali ini adalah air mata bahagia dari kami.

Kami meninggalkan ibu hari ini. Bahkan akan lebih jauh dari biasanya. Meski begitu ayah berkata bahwa yang terpenting adalah dimana kita letakkan ibu di hidup kita. Yaitu di dalam hati. Tak peduli seberapa jauh, ibu akan tetap ada di hati bersama kita di setiap langkah.

Lihat selengkapnya