Hufffftt.....
Aku manarik napas panjang dari amarah yang kurasakan saat ini.
Mengurung diri di dalam kamar baruku ini, sedangkan ayah masih terus mengetuk pintu kamarku.
"Kak, makan dahulu kak. Kakak jangan seperti ini. Kalau kakak sakit bagaimana? Kakak gak kasihan sama Ayah?" ucap ayah membujuk.
Aku tak menjawabnya.
"Kak seandainya Ibu tahu kakak begini, Ibu pasti sedih," ucapnya lagi.
"Kak buka pintunya, lebih baik kakak bicarakan dengan Ayah daripada seperti ini," bujuk ayah.
"Bicara apa? Ayah saja menyembunyikannya dari kakak," Aku menjawab.
"Ayah tak bermaksud untuk menyembunyikan kejadian itu namun, Ayah memiliki pertimbangan lain. Kak maafkan Ayah ya kak, ayolah nak!" ucap ayah kembali mengetuk pintu.
"Apa maksud Ayah pertimbangan lain?"
"Ayah masih belum tahu siapa pelaku yang sebenarnya kak. Maka dari itu kakak keluar dahulu. Mari kita bicarakan. Ayah janji gak akan menutupi apapun lagi," tutur ayah.
Rasa penasaran begitu memuncak di kepalaku. Kuputuskan untuk membuka pintu kamar.
Kulihat ayah duduk bersimpuh dengan nampan yang berisi makananku.
"Kak, maafkan Ayah ya," ucap ayah memegang tanganku.
Aku menatapnya tanpa sepatah kata, kemudian kembali duduk di kursi kamar dengan pintu yang terbuka.
"Kak," Ayah terus memanggilku sembari melangkah dengan makananku yang ada di tangannya, kemudian meletakkannya di meja putih dengan hati-hati.
"Kakak makan dahulu ya," bujuk ayah.
"Kakak buka pintu untuk mendengar penjelasan Ayah, bukan untuk makan," jawabku menatap mata ayah.
Ayah menghela napas dan menghapus air matanya.
"Kak, Ayah pun juga merasa marah. Rasanya ingin membalas apa yang dilakukan pelaku itu," ucap ayah memegang pundakku.