FaThin

Nurusifah Fauziah
Chapter #11

Serigala Berbulu Domba

Hari-hari di sekolah yang penuh dengan siswi cantik kota Bandung. Aku seperti melihat diriku yang dulu. Tapi tidak dengan sekarang.

Sebelas bulan sudah aku berada di sekolah ini. Bagiku begitu terasa, sebab sudah 4 kali aku membeli baju seragam baru. Berat badanku kini naik drastis. Sekarang berada di angka 72kg.

Aku melihat Ella yang datang menghampiriku,

"Tuh kan benar apa kubilang saat itu, terbukti kan kamu teh sekarang jadi gendut sekali," ucapnya sembari tertawa melihatku. Kemudian ia pergi dengan genk-nya yang centil.

Jangankan pacar, teman saja sulit bagiku. Aku hanya memiliki cokelat sebagai teman sejati. Ah tak apa lah setidaknya cokelat membuatku senang.

Bel pelajaran berbunyi...

"Anak-anak, ibu sudah menulis soal di papan tulis. Yang bisa menjawab akan mendapat nilai lebih dari ibu," ucap Bu Gea sebagai guru matematika.

Itu adalah kalimat paling indah yang kudengar. Sebuah kompetisi yang sangat memacu adrenalin. Aku berusaha mencari jawaban di atas kertas kosong. Tak butuh waktu yang lama aku mengacungkan jariku untuk mengisi soal yang tertera di depan. Aku melangkah maju dan mulai menjawab soal yang kupilih.

"Wah bagus sekali Fathin, kamu menjawab dengan benar di soal tersulit. Tingkatkan terus ya," ucap Bu Gea memujiku.

Aku kembali ke mejaku.

"Ayo masih ada beberapa soal yang belum dijawab. Siapa lagi yang ingin nilai lebih?" suara Bu Gea kembali terdengar.

Aku melihat kanan dan kiri. Mereka semua hening dan merunduk. Apa yang mereka pikirkan? Memangnya tak mau nilai tambah? Aku begitu geregetan dan tak kuasa menahan kesabaranku apabila nilai-nilai itu terbuang percuma begitu saja, karena sebentar lagi jam pelajaran ini akan berakhir.

Aku melihat ke arah jam dinding. Detik demi detik terus berjalan. Sangat jelas terdengar di telingaku bagaimana suara jarum jam itu terus bergeser. Aku tak bisa membendungnya lagi. Akhirnya kuputuskan untuk kembali maju dan mengerjakan semua soal yang ada di papan tulis. Dengan singkat aku menjelaskan jawabanku di hadapan teman-teman. Mereka begitu terkejut melihatku. Begitu aku menyelesaikan penjelasannya, bel pergantian pelajaran berbunyi. Aku menarik nafas lega karena telah menyelesaikannya dengan baik dan tepat waktu.

Setelah jam pelajaran ini berakhir, Ella dan genk nya datang menghampiriku.

"Fathin kamu serakah sekali sih menjawab semua soal yang diberikan Bu Gea seorang diri," ucap Lily dengan sinis.

"Itu bukan soal yang sulit," jawabku singkat sembari makan cokelat.

"Tapi kamu gak berbagi nilai jadinya!" ucap Dina meninggi.

"Lalu kenapa kalian diam saja seperti patung saat diberi kesempatan?" jawabku menatap mereka.

"Stop girls kalian jangan begitu. Oh iya Fathin, gimana kalo kamu ikut jadi anggota genk kita?" ajak Ella.

"Untuk apa aku ikut kalian?" tanyaku lagi sembari membaca materi buku Pkn.

"Kalau kamu ikut jadi anggota genk kita, kamu bisa terkenal lho," ucap Ella menjawab.

"Ish apaan sih kamu La!" ucap Lily.

"Untuk apa terkenal? Aku sudah pernah merasa di posisi kalian saat SMP," jawabku menatap mereka.

"Hah?!! Kamu? Ahahahahahaha." Mereka kompak menertawaiku.

"Lho kenapa? Kalian gak percaya?" jawabku.

"Ya mana bisa kita percaya? Lihat tuh kamu saja gendut begitu!" Dina menunjuk jarinya ke perutku.

"Kalian percaya atau tidak itu bukan urusanku," jawabku mengakhiri percakapan.

"Ada-ada saja leluconnya. Apakah dia berhalusinasi?"

"Tentu saja dia berhalusinasi," ucap mereka saling melempar sindiran dan tertawa meninggalkanku.

Aku menghiraukan perkataan mereka dan kembali makan cokelatku. Tak terasa aku sudah menghabiskan satu bungkus cokelat. Saat hendak membuka cokelat yang kedua, guru mata pelajaran Pkn tiba.

"Selamat siang," sapa Pak Bagus.

"Siang pak," sahut siswa/i serentak.

"Siapkan kertas kosong, hari ini kita ulangan," ucap Pak Bagus dengan nada yang datar.

Mendengar kalimat itu, sontak membuat para siswa/i menjadi gaduh. Ulangan harian dadakan seperti ini tentu saja merupakan hal yang mengejutkan. Untung saja aku sempat membaca beberapa materi sewaktu Bu Gea meninggalkan ruangan, mungkin aku siap menghadapi ulangan ini.

"Lima menit lagi kita mulai dan soalnya hanya akan dibacakan satu kali," ucap Pak Bagus.

"Ahh benar-benar guru yang kejam!" ucap Via bergumam.

Kepalaku menoleh saat mendengar perkataan Via. Tepat di belakangnya adalah kursi yang diduduki Zia. Zia selalu sendiri di kursi paling pojok belakang. Tak ada yang ingin duduk dengannya saat di kelas. Mereka berkata bahwa Zia bisa melihat hantu, selain itu penampilannya juga terlihat cupu. Itu sebabnya tak ada yang mau berteman dengannya, karena Zia sering kedapatan berbicara seorang diri. Sepekan lalu pun Zia menangis histeris karena kemampuannya itu. Aku menatapnya yang tertunduk untuk beberapa detik.

"Baiklah kita mulai!" ucap Pak Bagus membuka waktu ulangan.

Aku mencoba kembali memfokuskan diri. Aku mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut Pak Bagus dengan hati-hati agar bisa menjawab soalnya dengan benar.

Sepuluh menit kemudian, kami sampai di soal terakhir.

"Bapak berikan waktu lima belas menit untuk menjawab semua soal. Yang terlihat mencontek akan langsung mendapat nilai 0," ucap Pak Bagus membuat mulut para siswa mengaga mendengarnya.

Aku mulai menjawab soal satu persatu. Tak begitu sulit bagiku karena aku memang sudah membacanya tadi.

Hanya membutuhkan waktu tujuh menit, aku sampai di jawaban soal terakhir. Aku menutup lembar kertas dan berdiam diri.

"Fathin sudah selesai?" tanya Pak Bagus.

"Sudah Pak," jawabku terkejut.

"Kumpulkan ke depan. Kamu bisa tunggu di luar," ucap Pak Bagus memerintahkan.

Aku menurutinya dan berjalan maju mengumpulkan lembar jawaban.

Aku menunggu di luar ruang kelas, tapi rasanya aku ingin ke toilet. Kurasa, aku masih memiliki waktu yang cukup untuk ke toilet. Aku bergegas menuju toilet.

Saat hendak menuju toilet, aku melihat seorang siswa sedang dihukum hormat di bawah tiang bendera. Siang hari yang sangat terik seperti ini, aku jadi kasihan melihatnya. Aku bertanya-tanya kesalahan apa yang diperbuat? Ah sudahlah aku kembali melanjutkan langkahku menuju toilet.

Langkahku semakin cepat namun, saat tiba di depan toilet kakiku tergelincir. Lantainya begitu licin sampai aku kehilangan keseimbangan. Tiba-tiba saja seseorang menahanku yang sedikit lagi menyentuh lantai. Mataku terbelalak begitu melihat wajah Kak Tio yang berusaha menopangku. Mataku terpejam karena merasa sangat malu. Tak lama kemudian usaha Kak Tio menjadi sia-sia. Kami terjatuh dan aku menimpa kakinya.

Krrekkkk..

Terdengar suara yang begitu mengejutkan.

Kurasa rok bagian belakangku sobek!!! Mataku melotot. Mulutku menganga lebar. Seperti kehilangan oksigen. Napasku hilang. Rasa malu memenuhi seluruh jiwa ragaku.

Ayaaaahhhhh!!!!!!!!!!

"Aw!" suara kak Tio terdengar.

Aku menoleh ke arahnya yang juga terjatuh tepat di sebelahku.

"Maafin aku kaakk maaaf.." ucapku menutup wajah dengan kedua telapak tangan.

"Itu tadi suara apa?" tanya Kak Tio.

Aku tak menjawab pertanyaannya.

Kak Tio terlihat bergegas berdiri. Ia mengulurkan tangannya ingin membangunkanku juga. Namun aku diam tak berkutik sedikit pun.

"Lho kenapa?" tanya Kak Tio.

"Eee, itu kak haaaa," jawabku kebingungan.

"Sobek ya? Apa yang sobek?" tanya Kak Tio lagi.

Aku kembali menutup wajahku.

Tak lama kemudian, Kak Tio memberikan seragamnya kepadaku.

"Pakai ini untuk menutupi yang sobek," ucap Kak Tio.

Aku terkejut melihatnya yang sudah melepas seragamnya dan hanya mengenakan kaos putih berlengan sebagai baju dalamannya.

Aku hanya diam tanpa gerak.

"Kalau kamu diam begini terus sebentar lagi akan ada bel istirahat. Kamu mau begini terus? Lebih baik kamu pakai ini untuk menutupinya kemudian bergegaslah ke koperasi untuk beli rok yang baru," ucap Kak Tio.

Lihat selengkapnya