Libur telah usai!!!
Hari pertama untuk ke sekolah baru rasanya sungguh membuatku ketar-ketir. Bagaimana tidak? Jantungku rasanya seperti berada di medan tempur!
Aku menatap ke arah cermin. Berat badanku yang naik drastis membuat baju seragam ini menjadi sangat sempit. Ayaaaaaah, haruskah aku tambahkan ukuran bajuku? Aku kembali berbaring dan berguling di kasur. Tiba-tiba saja ayah masuk dan terheran melihatku.
"Kenapa kak?" tanya ayah.
"Sempit Yaaaaah! Bajunyaaaa!" jawabku merengek.
"Tahan kak. Pakai saja dulu ya nanti Ayah belikan seragam yang lebih nyaman. Sekarang ayo kita sarapan dan berangkat," jawab ayah.
"Sarapannya lewati saja yah. Nanti yang ada bajunya semakin sempit. Kita langsung berangkat saja," ucapku mengambil tas dan berjalan keluar kamar.
Saat perjalanan, aku merasa sangat gugup dan tidak percaya diri. Beberapa kali aku memejamkan kedua mata sembari berpikir apakah aku bisa?
"Tenang saja kak. Kakak pasti akan suka nantinya. Percaya deh sama Ayah," ucap ayah berusaha menenangkanku yang terlihat gugup.
"Baiklah Yah," jawabku pasrah.
Setibanya di sekolah baru, aku begitu terpana dibuatnya. Benar-benar sekolah yang indah.
"Wah!!!" ucapku terkejut.
"Bagaimana? Kakak suka kan?" tanya ayah.
Aku mengangguk begitu bersemangat.
"Ayo kak kita turun, dan jangan lupa ceria saat perkenalan diri. Ayah hanya antar kakak sampai bertemu guru di ruangannya, setelah itu Ayah akan berangkat ke kantor. Nanti pulang sekolah kakak bisa naik driver online saja ya," ucap ayah menyemangati.
"Oke Yah tenang saja," jawabku menyetujuinya.
Kami bergegas masuk. Aku melihat kanan dan kiri bangunan sekolah ini sungguh sekolah yang indah.
Ayah mulai berbicara dengan guru yang akan membawaku ke ruang kelasnya. Tak lama kemudian ayah berkata semuanya sudah selesai dan berpamitan untuk berangkat ke kantornya.
Aku mengikuti guru yang akan membawaku menuju ruang kelasnya. Setibanya di depan kelas langkahku terhenti. Aku begitu gugup dan cemas.
"Perhatian semuanya. Kita kedatangan siswi baru mulai sekarang. Fathin silahkan perkenalkan dirimu," ucap Bu Tyas.
Aku berusaha menatap para murid di kelas ini. Aku terkejut begitu mendapati Kathrine ada di ruang kelas ini. Dia terlihat berbeda sekarang. Dia tak lagi gemuk seperti saat SMP. Sekarang dia terlihat cantik dengan postur badan yang ramping.
"Perkenalkan nama saya Fathin. Saya biasa dipanggil Thin. Mohon kerja samanya untuk belajar," ucapku memperkenalkan diri dengan kaki yang terasa gemetar.
Setelah selesai memperkenalkan diri, mereka tampak tertawa kecil melihatku.
"Untuk tas dan barang lainnya bisa kamu letakkan di loker yang berada di paling belakang ruang kelas ini, dan ini kunci lokermu. Tolong jangan sampai lupa atau teledor mengenai penjagaan loker yang sudah menjadi kewajibanmu saat ini. Ruang kelas ini juga terdapat CCTV yang memperlihatkan area loker, meski begitu tetaplah untuk bertanggung jawab sebagai seorang murid yang berbudi. Mengerti Fathin?" tutur Bu Tyas.
"Baik Bu saya mengerti," jawabku mengangguk.
"Kamu duduk di sana ya Thin," ucap Bu Tyas mengarahkan.
"Ya Bu terimakasih," jawabku kemudian melangkah ke arah kursi kosong tersebut.
Beberapa jam kemudian, pelajaran IPA selesai. Bu Tyas tampak meninggalkan ruang kelas.
"Hey anak baru. Kamu bilang apa tadi? Thin? Kamu dipanggil Thin? Gak salah tuh? Harusnya kamu dipanggil Fat!" ucap salah satu siswi cantik dengan postur yang indah meledekku.
Perkataannya tersebut membuat murid lain ikut menertawakanku.
Aku hanya terdiam mendengarnya. Yasudah lah ini juga bukan pertama kalinya bagiku mendengar kalimat itu.
Aku mengalihkan pandangan dan melihat Kathrine. Dia melihatku dengan wajah yang datar tanpa sepatah kata kemudian berpaling tanpa peduli.
Baiklah, aku mencoba untuk memakluminya saja. Mungkin karena sekarang keadaannya berbalik. Meski dia hanya melihatku diledek tanpa sepatah kata, aku berusaha menerimanya.
Hari pertama di sekolah baru seperti hari-hari sebelumnya. Banyak orang yang tertawa melihatku. Mereka berkata aku seperti badut yang memenuhi ruang kelas. Ada juga yang berkata seperti sumo.
Mengapa mereka semua sangat ringan untuk menertawakan orang lain?
***
Keesokan harinya....
Kami mendapat tugas praktik untuk tes biola. Beberapa siswa tampak berlatih. Suasana ruangan menjadi begitu ramai. Aku pun turut mengumpulkan keberanianku.
Saat ujian praktik dimulai, tiba saatnya bagiku untuk tampil.
Beberapa menit pertama aku bisa mengendalikan diriku dalam permainan nada yang indah didengar. Mereka juga tampak terkejut dengan pertunjukanku. Namun, beberapa saat kemudian jariku meleset saat menekan senar pada biola yang mengakibatkan keluarnya suara yang sumbang.
Aku menghentikan permainanku seketika karena terkejut. Mereka pun mulai menertawakanku.
"Jarinya kebesaran sih jadinya gak bisa menempatkannya dengan benar deh," ucap salah satu murid disusul dengan tawa.
Mendengar perkataan tersebut membuatku berlari meninggalkan ruang biola.
Aku merasa kian terjatuh semakin dalam. Aku berlari meski beberapa orang melihat sembari menertawakanku.
Mengapa banyak sekali yang menertawakanku?
Aku terus berlari tanpa arah. Entah kenapa langkah kaki ini membawaku ke suatu ruangan yang gelap. Rupanya ini adalah ruang piano yang sangat luas. Untung saja tak ada seorang pun di sini. Aku bersembunyi seperti pengecut karena malu.
Suara tertawaan mereka masih terngiang di telingaku. Bisa dikatakan memang siswi di sini memiliki postur yang ramping. Berbeda jauh denganku. Tapi apa salahku? Aku bahkan tak mengucapkan apapun yang menyakiti mereka. Apa karena aku berbeda dengan mereka sehingga aku tak pantas berada di sini?
Menyakitkan! Aku terus menangis. Tiba-tiba saja,
"Hey! Kenapa berisik sekali? Kau mengganggu waktu tidurku!" ucap seorang siswa yang terbangun dari atas kursi penonton.
"Mma...maaf saya tak tahu kalau ada orang di sini," ucapku menghapus air mata dengan telapak tangan.
Tanpa sepatah kata lagi, siswa yang dengan tinggi sekitar 180cm itu pergi meninggalkan ruangan. Aku tak bisa melihat dengan jelas seperti apa wajahnya karena ruangan dalam kondisi gelap.
Hari ini benar-benar membuatku ingin segera pulang ke rumah. Tapi aku tak bisa melakukannya karena masih ada jam pelajaran selanjutnya. Ahhh siaaaal!!!
Dengan langkah yang berat, aku terpaksa kembali ke ruang kelas. Aku mencoba untuk menutup telingaku lebih kuat dari sebelumnya. Aku berharap tak ingin mendengar apapun saat ini. Sampai akhirnya bel pulang sekolah berbunyi. Secepat kilat aku langsung meninggalkan sekolah ini.
Langit sore kota Jakarta hari ini terlihat gelap. Pasti hujan sebentar lagi akan turun. Lebih baik aku berjalan kaki saja sampai ke rumah. Agar aku memiliki alasan untuk tidak masuk sekolah esok hari. Beberapa menit kemudian benar saja. Hujan langsung turun dengan derasnya. Aku melangkah dengan hati yang riang.
Lima belas menit kemudian aku masih terus berjalan. Air pun mulai naik setinggi mata kaki. Tiba-tiba saja sebuah mobil melaju sangat cepat dan menyemburkan air ke seluruh badanku.
Ahhh siaaal benar-benar tak beretika!
Suasana riangku dihancurkan karena mobil tersebut. Dan hujan masih terus membasahi bumi. Saat aku melanjutkan perjalananku, terlihat seorang siswa dengan seragam yang sama denganku sedang berdiri untuk berteduh. Kalau dilihat dari tingginya, tampak sama dengan siswa yang tadi tertidur di ruang piano. Apakah itu dia? Saat sedang memperhatikannya, ia tiba-tiba berbalik badan.
Oh seperti itu wajahnya. Dasar anak manja. Padahal dia kan laki-laki. Kenapa sama hujan saja takut? ucapku bergumam dan kembali berjalan melewatinya dengan melompat kesana-kesini.
Aku benar-benar menyukai penghujung hariku saat ini. Bersama hujan melepaskan semua kepenatan yang ada dalam kepalaku.
Tiga puluh lima menit kemudian aku tiba di rumah. Tampaknya ayah juga belum pulang karena mobilnya belum terlihat. Aku membuka gerbang dan melepaskan sepatuku. Tak lama kemudian ayah tiba. Seketika ia berlari ke arahku.
"Kak??!! Kakak kok basah kuyup begini?" suara ayah dengan hebohnya.
"Tak apa Yah. Hanya saja, kakak ingin mandi hujan," jawabku tertawa kecil.
"Jangan katakan kalau kakak hujan-hujanan dari sekolah. Enggak kan kak?!" tanya ayah dengan mata yang melotot.
"Hehehe..." jawabku singkat.
"Kalau kakak sakit bagaimana?" ucap ayah mencemaskanku.
"Itu karena Ayah tak tahu betapa menyenangkannya menari di bawah hujan. Ayo ikut kakak kita menari bersama di tengah hujan!" ucapku menarik tangan ayah keluar untuk bermain dengan hujan.
"Ehh kak!!! Kaaak tunggu.." ucap ayah melempar tasnya agar tak basah terkena air hujan.
Aku hanya tertawa melihatnya.
Suasana gang rumah yang sepi hanya terdengar tawa kami. Aku dan ayah berlarian ditengah hujan yang masih turun dengan derasnya. Kami melepas tawa seakan melepas pula kesedihan yang kami tahan selama ini. Meskipun ayah tak pernah berbagi kesedihannya padaku. Namun, aku tahu bahwa banyak luka perih yang ayah sembunyikan dariku.
Ayah mari kita terus menari seperti ini...
***
Keesokan harinya...
Suara bersin mulai bersahutan. Aku dan ayah terus bergantian. Terlalu lama hujan-hujanan kemarin membuat kami terkena demam.
"Maafkan kakak ya, Ayah jadi demam dan tak bisa berangkat ke kantor," ucapku menyesal.
"Tak apa kak. Lagi pula kan jadinya Ayah bisa di rumah. Bersama kakak," tutur ayah mencubit pipiku.
"Kakak panasnya lumayan nih. Ayah belikan obat dulu ya dari aplikasi online. Sabar ya kak. Ayah juga harus telfon guru karena kakak tak bisa berangkat ke sekolah. Sebentar ya," ucap ayah lagi kemudian meninggalkan kamarku.
Aku mengangguk. Aku juga merasa senang bahwa aku tak perlu berangkat ke sekolah hari ini. Bagaimanapun rasanya masih sangat malu untuk hadir di tengah mereka.
Tanpa sadar aku tertidur begitu saja setelah ayah keluar.
"Kak... Kakak.. minum obatnya dulu ya. Habis itu kakak tidur lagi," ucap ayah membangunkanku untuk minum obat.
"Iya, Ayah juga beli obat kan untuk Ayah sendiri?" tanyaku memastikan.
"Tentu saja kak Ayah juga membelinya," jawab ayah tersenyum.
"Nah sekarang kakak tidur ya. Nanti Ayah bangunkan lagi kalau jam nya untuk makan," ucap ayah meninggalkan kamarku.
Meskipun kondisiku sakit, entah kenapa aku senang ayah ada di sini. Menemaniku sepanjang hari. Terimakasih ayah, hari ini aku tak kesepian...
***