Fatihah berlari-lari kecil menaiki tangga yang dipenuhi dengan mahasiswa yang asyik mengobrol. Dia tidak menyukai keadaan sebegitu. Sangat mengganggu dan tidak leluasa untuk turun naik tangga. Yah, semenjak fasilitas lift telah disediakan di fakultas tersebut, fungsi tangga pun berubah menjadi tempat nongrong dan kongkow-kongkow.
"Huuhft! misi-misi, numpang lewat!" ekspresi kesal jelas terlihat di wajahnya. Bagaimana tidak, tangga yang berfungsi sebagai jalan untuk turun dan naik antar lantai, kini telah beralih fungsi. Dari yang lebarnya 200 cm cukup untuk tiga orang, kini hanya tersisa kurang lebih 60 cm. Dan, ini memang benar-benar menyebalkan bagi mereka yang lebih memilih tangga, selain karena alasan kesehatan mereka juga tidak suka berdesak-desakan. Tentunya ini berbanding terbalik dengan dirinya yang lebih memilih lift sebagai pilihan utama.
"Wiwit... Prikitiww...buru-buru amat neng, Mau kemana sih!" fatihah terus saja berlalu, tidak perduli. Ini adalah salah satu penyebab, mengapa dirinya selalu berusaha menghindar dari yang namanya tangga.
"Sombong...beuh, soomboong!" suara yang lain sahut menyahut diikuti suara tawa.
Fatihah berhenti dengan nafas yang terengah2. Satu tingkat lagi menuju kantor dosen dan untungnya yang ini bebas dari 'pelapak'. Kalau bukan karena sms dari bu shila, dia lebih rela antri untuk naik lift dan berdesak-desakan.
Dia melihat ke bawah, matanya mencari satu sosok yang sudah lama dia kagumi. Tapi, sepertinya sosok itu tidak ada di situ. Hanya suara-suara usil itu yang masih terdengar. Entah siapa lagi yang mereka ganggu.
"Datang ke kantor sekarang!" begitu isi sms dari Bu Shila. Fatihah pun buru-buru mengganti baju rumahnya.
"Makan aja dulu, say. Lu, kan dari tadi pagi baru makan roti doang," ujar tasya memperhatikan fatihah -room mate- nya dari balik cermin. Fatihah menggelengkan kepalanya dan sekali lagi memperhatikan penampilannya. Dia harus terlihat rapi di hadapan Bu Shila. Entah bagaimana pun nantinya reaksi bu shila terhadap keputusannya, dia harus tetap kelihatan sempurna.
Fatihah mengetuk pintu ruangan dosen sebanyak tiga kali dan dia kemudian masuk tanpa disuruh. Ini adalah hal yang biasa bagi mahasiswa disana. Kode etiknya, tidak perlu menunggu jawaban atau seseorang yang mempersilahkan masuk ke dalam. Karena di dalam ruangan yang luas tersebut para dosen ilmu sosial sibuk dengan berbagai tugas-tugasnya.
Fatihah terkejut melihat Pak Dodi yang terlalu fokus memandangi laptopnya. Keningnya berkerut dalam,artinya dia sedang berada pada mood serius dan tidak ingin diganggu. Dia berjalan perlahan sambil menahan napas dalam, tidak ingin kehadirannya diketahui dosen idamannya itu. Rupa-rupanya Pak Dodi sudah pulang dari USA dan dia semakin tampan. Gadis itu mencuri-curi pandang dengan malu-malu.
"Masuk!" suara Bu Shila membuat jantungnya berdebar kencang.
"Duduk!" ujarnya, masih tanpa memandang wajah Fatihah yang tegang. Lalu terdengar suara helaan berat napas Bu Shila, seperti membebaskan gumpalan masalah di dadanya. Fatihah membujuk hatinya untuk tetap tenang menghadapi wakil dekan yang tegas dan penuh disiplin ini.