Hampir dapat dipastikan jika kejadian-kejadian berikut tidak bergulir dengan cara yang sembrono, serampangan, dan tidak terduga seperti yang telah terjadi, dunia tidak akan seperti sekarang ini. Donald Trump resmi menjadi calon Partai Republik pada 21 Juli 2016, dan jalan Trump menuju kursi presiden mengalami perubahan secara signifikan pada pagi hari Sabtu, 13 Agustus 2016.
Steve Bannon, yang saat ini menjabat pimpinan sayap kanan operasi Breitbart News, duduk di sebuah bangku di Bryant Park, New York City, menekuri sejumlah surat kabar di depannya. Ini sudah menjadi ritualnya setiap Sabtu. Pertama, dia membolak-balik halaman Financial Times, kemudian beralih ke The New York Times.
“Kegagalan Misi Orang Dalam untuk Jinakkan Mulut Trump”,1 bunyi tajuk berita di halaman depan Times. Pemilihan presiden tinggal tiga bulan lagi.
“Oh, Tuhan,” pikir Bannon.
Babak pertama dari lakon karya Bannon adalah penampilannya—jaket militer tua yang melapisi berbagai kaus polo tenis. Babak kedua adalah sikapnya—agresif, tegas, dan vokal.
Para wartawan yang menyusun artikel Times tersebut mengatakan mereka mengambil 20 orang anonim dari Partai Republik yang dekat dengan Trump atau yang berhubungan dengan kampanyenya sebagai narasumber. Artikel tersebut menggambarkan Trump sebagai orang yang kebingungan, kelelahan, cemberut, mudah jengkel, dan bermasalah dengan para donor. Dia dalam kondisi yang genting di Florida, Ohio, Pennsylvania, dan North Carolina. Semuanya negara bagian yang akan menjadi penentu hasil pemilihan. Gambaran tersebut sangat buruk dan Bannon tahu itu semua benar. Menurut kalkulasinya, Trump bisa kalah dari calon Demokrat, Hillary Clinton, barangkali dengan selisih hingga 20 poin. Yang jelas dua digit.
Trump dipastikan menjadi sorotan media, tetapi dia masih tidak punya kegiatan selain apa yang telah dipasok oleh Komite Nasional Republik. Bannon tahu kampanye Trump hanya beranggotakan beberapa orang—satu orang penulis pidato dan satu tim ahli berisi sekitar 6 orang yang bertugas menjadwal pengerahan massa di tempat-tempat termurah, seringnya arena olahraga yang sudah kusam di berbagai tempat di seluruh negeri.
Meski demikian, Trump menang dalam nominasi Republik, mengalahkan 16 lainnya.
Bannon, yang kini berusia 63 tahun dan lulusan Harvard Business School dengan pandangan nasionalis yang kuat, menghubungi Rebekah Mercer.
Mercer dan keluarganya merupakan salah satu sumber dana kampanye yang paling besar serta paling kontroversial di Partai Republik dan uang merupakan mesin penggerak politik Amerika, terutama di Partai Republik. Keluarga Mercer tergolong sedikit marginal, tetapi uang membuat mereka diterima. Mereka juga memiliki kepemilikan di Breitbart (media konservatif terbesar yang condong fasis dan rasis).
“Ini buruk karena kita akan disalahkan,” kata Bannon kepada Mercer. Breitbart selalu mendukung Trump di saat-saat paling buruk. “Ini akan menjadi akhir dari Breitbart.”
“Bagaimana kalau Anda turun tangan?” usul Rebekah.
“Saya belum pernah menjalankan kampanye seumur hidup saya,” jawab Bannon. “Memikirkan saja tidak. Ide itu tidak masuk akal.”
“Orang bernama Manafort itu sebuah bencana,” kata Rebekah. Yang dirujuknya adalah Paul Manafort, manajer kampanye Trump. “Tidak ada yang menjalankan kampanye itu sekarang. Trump mendengarkan Anda. Dia selalu mencari pengawasan orang dewasa.”
“Dengar,” kata Bannon, “Saya akan menyanggupi dengan seketika. Tapi, apa untungnya bagi dia?”
“Dia selama ini selalu menjadi orang luar,” kata wanita tersebut, menyinggung artikel di New York Times. “Sekarang sedang berada dalam mode panik.” Singkatnya, Trump mungkin akan mempekerjakan Bannon karena dia putus asa.
Keluarga Mercer menghubungi Trump, yang akan berada di East Hampton, Long Island, tempat tinggal Woody Johnson, pemilik New York Jets, untuk menghadiri acara penggalangan dana. Biasanya, keluarga Mercer yang menulis cek dan mengatakan mereka tidak perlu melihat kandidatnya. Kali ini, mereka ingin waktu 10 menit bersama Trump.
Di sebuah ruangan kecil yang bermandikan cahaya matahari, Rebekah, wanita tinggi berambut merah, berbicara secara blak-blakan. Ayahnya yang seorang ahli matematika ber-IQ tinggi, Bob Mercer, tidak banyak berbicara. Bob adalah salah satu otak di balik salah satu hedge fund yang sukses besar, Renaissance Technologies, yang mengelola dana sebesar $50 miliar.
“Manafort harus dilepas,” kata Rebekah kepada Trump.
“Apa rekomendasi Anda,” tanya Trump.
“Steve Bannon akan masuk,” kata dia.
“Dia tidak akan pernah mau.”
“Dia ‘pasti’ mau,” jawab Rebekah.
Bannon menghubungi Trump malam itu.
“Yang ada di koran itu memalukan,” kata Bannon, mengacu pada artikel New York Times. “Anda lebih baik dari ini. Kita bisa memenangkannya. Kita harus menang. Ini Hillary Clinton.”
Trump langsung mengomentari Manafort. “Dia kaku,” kata Trump. Dia tidak bisa menangani TV secara efektif.
“Mari bertemu besok untuk membicarakan hal ini. Kita bisa melakukannya,” seru Bannon. “Tapi, lakukan secara diam-diam saja.”
Trump setuju untuk bertemu keesokan paginya, hari Minggu.
Tokoh politik lain yang cemas hari itu adalah Reince Priebus, ketua Komite Nasional Republik berusia 44 tahun yang juga seorang pengacara dari Wisconsin. Priebus terkenal memiliki jaringan yang luas setelah lima tahun menjabat sebagai ketua. Pembawaannya yang riang menyembunyikan fakta bahwa dia adalah seorang pembangun kerajaan. Priebus merupakan penentu keputusan keuangan, mempekerjakan 6.500 staf lapangan, rutin tampil di TV, dan memiliki operasi komunikasinya sendiri. Dia berada dalam posisi yang serbasalah.
Secara pribadi, Priebus menganggap Agustus sebagai bulan bencana. “Sebuah lampu pemanas yang terus-menerus menyala.” Dan orang yang bertanggung jawab untuk itu adalah sang kandidat, Trump.
Priebus telah mencoba menavigasi kampanye tersebut sejak awal. Ketika Trump menyebut orang-orang Meksiko sebagai “pemerkosa” dalam pidato pengumuman pencalonannya pada 16 Juni 2015, Priebus meneleponnya dan berkata, “Anda tidak boleh berbicara seperti itu. Kita telah bekerja sangat keras untuk mendapatkan dukungan kaum Hispanik.”
Trump tidak mau melunak dan dia menyerang siapa pun yang menyerangnya. Belum pernah ada ketua partai nasional yang harus berurusan dengan orang yang memusingkan seperti Trump.
Senator Mitch McConnell, seorang pemimpin Republik yang cerdas, diam-diam menelepon Priebus. Pesannya: Lupakan Trump, alihkan uang Republik ke kami, para kandidat Senat, dan tutup keran uang ke Donald Trump.
Namun, Priebus ingin mempertahankan hubungan dengan Trump dan memutuskan untuk memperkukuh posisinya di tengah-tengah, antara Trump dan McConnell. Menurutnya, taktik tersebut jitu. Demi keberlangsungan partai dan dirinya sendiri. Dia berkata kepada Trump, “Saya mendukung Anda 100 persen. Saya mencintai Anda. Saya akan tetap bekerja untuk Anda. Tetapi, saya harus melindungi partai. Saya punya tanggung jawab lain selain Anda.”
Priebus telah setuju untuk tampil dan berkampanye bersama Trump serta memperkenalkan dirinya saat pengerahan massa. Dia menganggap itu ibaratnya mengulurkan tangannya ke seseorang yang hampir tenggelam.
Artikel Times tentang kegagalan2 untuk menjinakkan Trump cukup mengguncang publik. “Astaga!” pikir Priebus. Ini benar-benar berita buruk. Kampanyenya hancur lebur. “Itu bukan kampanye,” simpulnya. “Seperti lelucon saja.”
Ada begitu banyak hal yang terungkap di artikel Times sehingga Priebus menyadari ke-20 narasumber tersebut entah ingin menyabotase kampanye itu atau, seperti biasa, ingin membuat diri mereka terangkat.
Itu saat yang berbahaya—mungkin yang terburuk—bagi Trump dan partainya, pikir Priebus. Hanya ada satu jalan ke depan: eskalasi di semua lini. Memaksimalkan agresi untuk menyingkap kelemahan-kelemahan yang vital.
Minggu pagi, Steve Bannon tiba di Trump Tower, Manhattan, dan berkata kepada pihak keamanan bahwa dirinya punya janji pertemuan dengan Tn. Trump.
“Bagus sekali,” kata penjaga keamanan. “Beliau tidak pernah ada di sini pada akhir minggu.”