Kamis, 30 Oktober.
Pukul 23.12.
Malam itu, hujan turun cukup deras. Merupakan hari terjadinya perampokan di sebuah minimarket di distrik Hachioji, Tokyo barat. Terlihat dari rekaman CCTV, seorang pria dengan perawakan tinggi masuk ke minimarket yang sudah sepi mengenakan parka dan celana berwarna krem, jaket dan sarung tangan kulit berwarna hitam, serta sepatu boots coklat. Wajahnya ditutupi dengan topeng hyottoko–dengan ekspresi wajah konyol, bentuk bibir miring dan dikerucutkan—yang seharusnya, dalam kisah tradisional Jepang digambarkan sebagai sosok humoris yang membawa keceriaan bagi banyak orang. Bagian rambutnya ditutupi dengan wig hitam panjang melewati bahu dan diikat semacam kain dengan motif polkadot hitam putih, serasi dengan topengnya. Dari balik jaket kulitnya, ia mengeluarkan pistol dan langsung diarahkan ke meja kasir. Pegawai perempuan yang berjaga pada malam itu histeris ketakutan. Sementara, rekan kerja pria berkacamata di sebelahnya langsung berlutut dengan panik. Perampok itu melemparkan tas punggung berwarna hitam yang ia bawa dan menyuruh mereka untuk segera mengisi tas tersebut dengan semua uang yang ada di sana.
Proses pengisian uang ke dalam tas berlangsung cukup lambat. Kedua pegawai tersebut sengaja mengulur waktu, berharap ada saksi mata yang kebetulan lewat dan menelepon polisi. Namun, hal itu tentunya membuat sang perampok emosi. Ia menendang pegawai pria berkacamata tersebut hingga tersungkur, lalu mengarahkan pistolnya ke langit-langit. 2 tembakan ia lepaskan demi membuktikan bahwa pistol yang ia pegang saat ini bukanlah pistol mainan.
Namun, derasnya hujan malam itu rupanya tak bisa menyamarkan suara pistol dengan baik. Seorang polisi menyadari adanya suara tembakan tersebut di jalan pulang selesai bertugas tidak jauh dari minimarket.
Melihat ada seseorang yang datang ke arah minimarket, perampok itu segera merampas tas punggungnya yang sudah hampir terisi penuh, lalu berjalan keluar dengan tergesa-gesa. Polisi tersebut bisa menebak apa yang terjadi dengan kondisi yang ada, namun tidak dengan seorang perempuan muda yang kebetulan berjalan melewatinya menuju ke minimarket. Lebih tepatnya, ia tidak melihat sekelilingnya karena payung yang ia pegang menutupi sebagian pandangannya.
Begitu polisi tersebut mengproklamirkan dirinya dan mengeluarkan senjata, sang perampok justru menjadikan perempuan muda malang itu sebagai sanderanya. Sempat terjadi baku tembak di antara mereka. Sang polisi mendapatkan 1 tembakan di kaki kanannya, lalu terjatuh. Sementara sang perampok mendapatkan 1 tembakan di punggung sebelah kanan saat masuk ke mobilnya dan melarikan diri.
***
Jumat, 31 Oktober.
Hari ini adalah hari pertemuan yang dibicarakan. Bertempat di gedung sekolah lama yang sudah tidak terpakai, di distrik Machida. Sejumlah pagar pembatas berwarna kuning terlihat menutupi jalan masuk utama ke area sekolah. Pagar-pagar tersebut dihiasi dengan rambu-rambu himbauan dilarang memasuki area ini karena dalam pekerjaan konstruksi. Dalam hitungan hari, rencana pembongkaran gedung tersebut akan menjadi kenyataan. Sebelum itu, mari jalankan pertemuan ini.
Terlihat seorang pemuda dengan potongan rambut pendek yang rapi dengan poni ke samping, mengenakan seragam sekolah lengkap dengan atributnya seperti dasi, gesper, dan sweater hitam lengan pendek di atas kemeja putih yang juga lengan pendek. Penampilannya sangat monokrom, sampai celana dan tas selempang yang ia pakai pun berwarna hitam. Ia juga memakai kacamata segiempat khas murid teladan di sekolah.
Untaian rantai yang menggantung di antara pagar pembatas, membuat jarak sekitar 1 meter sebagai satu-satunya celah untuk masuk. Pemuda tersebut berjalan dengan tenang mengangkat rantai dan berjalan membungkuk melewatinya memasuki area sekolah. Langkahnya sempat terhenti menemukan 2 buah puntung rokok yang kondisinya masih baru di sisi pijakan anak tangga menuju lobi. Namun, ia tetap melanjutkan pekerjaannya. Ia mengeluarkan kunci dari saku celananya dan membuka kunci lobi tersebut.
Setelah sampai, instruksi selanjutnya adalah membuka loker sepatu dengan nomor 13, dan mengambil papan nomor seukuran genggaman tangan dengan nomor urut paling kecil sesuai urutan kedatangan. Nomor 1 adalah nomornya. Kemudian, ia pergi ke ruang daya di sebelah kiri. Lagi-lagi tangannya terhenti saat menemukan tombol aliran daya listrik utama telah diaktifkan. Bukan hanya satu, tetapi ia menemukan dua kejanggalan sebagai orang dengan urutan kedatangan nomor 1.
Instruksi berikutnya adalah berkumpul di gedung gymnasium di belakang sekolah pada pukul 12 siang. Namun, para peserta pertemuan yang ingin datang lebih awal, diperbolehkan menunggu di ruang gymnasium yang akan dibuka satu jam sebelumnya.
Pemuda tersebut mengecek jam tangannya yang menunjukkan pukul 10.58. Ia pun membuka pintu gymnasium dengan kunci dari saku celananya, kemudian meninggalkan ruangan tersebut untuk memeriksa keadaan di sekitar.
***
“Tidak usah kau lepas sepatumu. Gedung sekolah ini sudah tidak dipakai.” Seorang pemuda berbadan besar dengan penampilan yang agak berantakan berjalan melewati loker sepatu. Rambutnya gondrong dan keriting sebahu berwarna pirang. Ia menghisap sebuah rokok di bibirnya.
“Ah, maaf, kebiasaan*..” jawab pemuda lainnya di ujung loker sepatu sambil tertawa cengengesan. Perawakannya sedikit lebih pendek daripada pemuda pada umumnya, namun terlihat lebih muda dari pemuda berbadan besar yang berbicara padanya barusan. Gaya berpakaiannya seperti pemuda yang akan pergi kencan di musim panas.
*Sudah menjadi peraturan di setiap sekolah bahwa setiap murid akan mengganti sepatunya dengan sepatu khusus yang dipakai dalam lingkungan sekolah di loker sepatu yang terletak di lobi.
***
Seorang gadis berambut pendek, cukup pendek seperti potongan rambut laki-laki, memakai kacamata dan topi rajut berwarna krem. Penampilannya sangat kasual dengan baju pendek lengan putih dan jumpsuit jeans hitam model rok di luarnya. Ia menatap langit biru yang sangat cerah dari jendela lorong koridor lantai 1 sebelah kanan dengan tatapan kososng. Kemudian, ia menyalakan smartphone-nya dan melihat video musik idolanya pada situs web. Setitik air mata menetes dan membasahi layar smartphone-nya. Ia mengigit bibir bagian bawahnya, mencoba untuk membendung perasaan sedihnya. Tiba-tiba, ia dikejutkan dengan suara yang cukup keras yang berasal dari luar jendela.
BRUK