Kita manusia, tidak tahu apa yang akan terjadi esok atau kedepannya. Kita hanya mampu menebak dan berasumsi. Ketidakpastian melingkupi hari esok. Membuat asumsi kadang terlihat lebih nyata dari realita itu sendiri.
-New York, 16 Oktober
Di pagi yang dingin, dengan kasur yang terasa bertransformasi menjadi magnet.
๐๐๐
07.32 am
Vira tergopoh keluar dari kamar mandi. Ia mengenakan sepatu kets beige nya dengan cepat. Lalu mengambil tas ransel kecil berwarna hitam diatas kasur. Ia berlari menuju cermin, membenarkan hijabnya yang sedikit berantakan. Lalu mengoleskan sedikit lip balm di bibirnya. Vira tersenyum. Lantas memuji diri sendiri dalam hati.
Hijab, oke!
Baju, oke!
Sepatu, oke!
Vira tersenyum senang. Lantas meraih ponsel dan memasukkannya ke saku bajunya. Vira bergeming. Seperti melupakan sesuatu. Ia menatap hijab pasmina hitamnya. Lalu pandangannya turun ke baju beigenya yang senada dengan sepatunya. Ia menepuk keningnya. Merogoh laci meja rias. Dan meraih sebuah dompet berwarna hitam dengan logo channel tertera di bagian depannya seakan mengintimidasi siapapun yang melihatnya. Lantasย Vira segera berlari keluar dari kamarnya.
Langkah pendeknya mengalun cepat. Ia harus mengejar jadwal bus pagi ini yang kearah Manhattan. 7 menit lagi. Vira berdoa semoga Ia tidak tertinggal. Atau Ia harus merelakan uang lebih untuk naik taksi.
Hari ini, Ia bangun kesiangan. Untung Ia sedang tidak sholat. Jadi Ia sedikit santai karena tak meninggalkan Shubuh. Ini semua gara-gara semalam Vira tidak bisa tidur mengingat kejadian sore kemarin. Dasar Alen!
Vira ingin sekali mengumpat. Tapi kewarasannya tak mengijinkannya melakukan itu. Mana mau Ia menukar pahalanya hanya dengan satu umpatan? Rugi dong!
Vira berlari kecil setelah menitipkan kunci kamar pada resepsionis. Pagi ini Ia tak melihat Peter. Mungkin Peter sudah kembali menjadi bos besar di restorannya.
Vira melirik jam tangan digitalnya.
07. 43 am
Dua menit lagi sebelum jadwal bus itu datang. Dan kali ini Ia tidak peduli pada sekitarnya. Ia berlari dengan mengangkat roknya. Membuat celana pensil hitamnya terlihat saat berlari.
Di tikungan, Vira hampir menabrak orang. Ia meminta maaf tanpa menghentikan langkahnya. Dari beberapa meter menuju halte bus, Vira bisa melihat penumpang yang naik. Vira berlari lebih cepat. Pintu bus tertutup saat Vira tinggal 5 meter dari halte. Vira hendak berteriak agar bus itu tak pergi beranjak dari sana. Tapi belum lagi suaranya keluar, bus itu telah bergerak menjauhinya.ย
Vira menatap kepergian bus itu dengan tatapan lesu. Keringat dipelipisnya mengalir ke dagunya. Napasnya masih terengah dan tersengal. Vira duduk di halte yang sepi itu dengan tubuh gontai. Matanya melihat kearah aspal didepannya.