Feeling of Being an Enemy

AivAtko31
Chapter #11

10. Kesemu-an yang Manis๐Ÿ

Aku tidak tahu apa yang membuat hariku sangat cerah hari ini. Entah itu karena cuaca yang memang cerah, atau karena senyummu yang membuat semua terlihat lebih indah?

-New York, 17 Oktober

Sore yang hangat dengan kopi robusta menjadi pendamping.

๐Ÿ๐Ÿ๐Ÿ

Sama dengan Jakarta, jalanan utama New York pun sering macet, apalagi saat sore hari menjelang orang pulang kantor. Jalanan sudah dipenuhi mobil, taksi, belum lagi bus-bus wisata. Makanya muter-muter downtown aja perlu waktu tiga jam-an karena sering kena macet dan lampu merah.

Maka dari itu, Vira berencana menghabiskan waktu liburannya menjauhi downtown. Sayang, jika liburannya yang minim waktu dihabiskan dengan bermacet-macet ria.

Hari ini, Vira berencana ke tempat hits yang jadi ikon di film joker. Yups, jokerstairs. Tangga yang jadi tempat scene joker nari-nari di tangga.

"Joker Stairs refers to a staircase located at 1165 Shakespeare Avenue, Bronx, New York" eja Alen yang sedang sibuk scroll ponsel pintarnya.

Jokerstairs terletak di Bronx.

The Bronx adalah borough paling utara dari lima borough di New York City. Borough ini juga dikenal dengan nama Bronx county, merupakan county yang terakhir bergabung ke negara bagian New York dari 62 county. Terletak di utara Manhattan dan Queens, dan selatan Westchester County.

Kenapa Vira sangat ingin mengunjungi tempat itu? Yah, kan dia nulis blog. Dan para readers-nya pada request untuk mengulas tempat itu. Tempat yang jadi sorotan di film joker yang sukses dapet keuntungan 1 milyar cuma dalam waktu 3 hari penayangan. 3 hari! Amazing gak sih?

Dan benefitnya buat Vira, dia lagi ada di New York. Tempat jokerstairs berada. Peluang besar banget gak sih? Nggak akan mungkin di sia-siakan.

Dan hari itu, Vira benar-benar menagih janji Alen untuk menjadi guide-nya. Hal itu karena, lokasi jokerstairs sendiri. Yang meskipun banyak wisatawan datang berkunjung ke sana untuk berfoto. Ternyata lokasi tersebut dikenal dengan tingkat kriminal yang tinggi karena kualitas hidup yang kurang layak pada tahun 1960-1970.

"Kamu yakin mau naik bus?" tanya Alen.

"Kalau nggak naik bus naik apa dari Manhattan?"

"Naik taksi kan bisa. Atau pakai mobil aku" Vira menatap Alen badmood.

"Nggak seru. Justru kalau lagi traveling, jalan-jalan itutuh enaknya jalan kaki. Tapi berhubung ini jauh, yaudah naik angkutan umum. Sensasi serunya tuh di sana. Kayak ada gregetnya gitu" jelas Vira bersemangat.

Alen menatap Vira dengan pandangan aneh. Mana ada naik bus yang panas dan kursi sekeras batu itu lebih enak dari naik SUV nya yang ber-AC dan empuk itu?

๐Ÿ

Vira berhenti saat hendak menyebrang jalan. Membuat Alen menoleh ke arah Vira. Ia menatap Vira seakan bertanya 'ada apa?'

"Jalanan masih ramai" ujar Vira.

"Lalu kenapa?" Alen menatap Vira bingung. Lalu ia teringat sesuatu,

"Hey! Ini New York. Bukan Jakarta yang ada orang nyabrang sudah di klakson berkali-kali. Di sini, pejalan kaki selalu diutamakan. Dan mau tidak mau, para pengendara disinilah yang wajib mengalah" Vira menatap Alen dengan pandangan 'wah'. Ternyata Alen tahu tentang Ibu kota negara kesayangannya. (kalau belum ganti ke kalimantan)

New York luar biasa. Tapi ia jadi miris dengan negaranya sendiri. Jangankan orang menyabrang, lampu merah baru ganti sedetik jadi lampu ijo aja yang nglakson kayak lagi ikut lomba adu suara klakson. Asli, gak sabarannya kebangetan. Kadang saat ia bawa motor, baru juga mau gas. Klakson udah pada bunyi susul menyusul dibelakangnya. Belum lagi lampu kuning dan lampu hijau seperti nggak ada bedanya. Artinya tetep sama. Gas terus!

Bahkan Vira sering lihat papan lalu lintas dengan lambang P dicoret di pinggir-pinggir jalan. Pada akhirnya juga ada aja yang parkir. Belum lagi keribetan ngurus KTP, SIM yang gak selesai-selesai. Ribet banget, asli. Dulu saat ia bikin KTP aja perlu waktu 6 bulan buat nungguin jadi. Itupun setelah Vira harus wira-wiri sana-sini. Sayangnya Vira ngurus manual. Coba aja dulu Vira bayar ke pihak dalem. Belum sebulan juga udah jadi. Dan ia gak perlu wira-wiri dan tinggal ongkang-ongkang kaki tahu-tahu jadi.ย 

Uang selalu berkuasa. Kalau orang bilang, nggak semua bisa dibeli pakai uang. Tapi real life-nya, semuanya sekarang butuh uang. Jadi ya udah jadi berita lama orang-orang diperbudak uang, harta, atau kekayaan. Yang padahal semua itu notabenenya cuma benda mati. Tapi manusia mampu diperbudak mereka. Menghalalkan segala cara. Menuhankan benda-benda mati. Ah, uniknya manusia.

Lihat selengkapnya