Hari itu siang yang mengulang seperti sebelumnya. Sang surya yang otomatisasi dan sistematikanya telah diatur oleh semesta bangkit di ufuk timur dan kini pada titik tertingginya. Mya Laskaris meloloskan kuapan. Tinggal dua sesi terakhir maka kuliah akan kelar untuk hari ini. Dan—ini hari Jumat. Waktu yang luar biasa untuk sedikit melamun lalu menikmati weekend.
Satu yang ia tahu ialah—hari ini dosen bahasa Inggris untuk kelas Mya akan digantikan. Ada gunjingan serta rumor yang beredar tanpa tahu malu, namun—Mya sedang tak ingin peduli. Tiga bulan lagi Mya lulus semester empat ini. Ini tak begitu penting. Namun kala pintu terbuka, deritnya sedikit menyayat gendang telinga, disusul ketukan sepatu yang tegas, bertenaga, serta—sarat akan intimidasi, mau tak mau Mya mengalihkan atensi dan tertuju pada pintu.
Dan di sanalah lelaki itu dengan iris abu-abu memindai isi kelas. Atas refleks, didukung keterkejutan yang amat sangat, Mya bangkit dari posisi duduk. Kini serentak sekitar dua puluh pasang mata terarah pada Mya. Gadis itu jadi tergugup.
Meneguk ludah, Mya diberi delikan oleh lelaki itu. Namun tanpa sempat takut, atau menjelaskan, satu hal yang telah berputar di atas kepala Mya diubahnya menjadi verbal, “Maaf, aku—apa kita pernah bertemu sebelumnya?”
Hening.