Felicity

Clarecia Nathaniel
Chapter #2

I — Stand by Me

Mya tersentak kala lagu alarm berdendang keras dari speaker ponsel. Menghela napas panjang, Mya mematikan dering itu dan menaruh kepalanya kembali ke atas bantal. Pelupuk masih terasa berat dan inginnya menutup, lanjut menyelami alam mimpi. Namun, Mya tahu masih banyak yang harus dilakukan—minimal sebelum senja datang dan Mya perlu berangkat bekerja.

Mya akhirnya bangkit dari kasur. Langkah sang perempuan siap berjalan ke arah kamar mandi sebelum akhirnya Mya terdiam, melihat kasur yang masih berantakan, lalu merapikan dan melipat selimut. Entah bagaimana, Mya merasa ibunya atau siapa pun akan mengoceh bila melihat itu berantakan. Akhirnya, tungkainya membawa pada kamar mandi. Mya melihat refleksi wajah pada cermin, kemudian menyikat gigi dan membasuh wajah. Sesudah itu, ada karet kain yang Mya raih dan digunakannya untuk menguncir satu rambutnya. Kali ini, dalam ruang apartemen minimalis dan amat nyaman, Mya membiarkan langkah menuntun pada dapur.

Frying pan diambil, ditaruh ke atas kompor elektrik. Tak lama, ponsel pintar kembali meraung manis. Mya mengangkat telepon yang datang dan menyetelnya dalam mode loud speaker.

Yes, sunshine?” Mya menyahut teduh, sambil mengambil dua butir telur dan daging ham dari dalam kulkas.

Lalu, suara lelaki yang serak dan terdengar sekali baru bangun tidur berujar, “Pagi. Nanti malam dijemput seperti biasa?

Mya mengangguk, tidak sadar untuk sepersekian detik bahwa lawan bicaranya tak ada di depan mata. Lalu Mya menjawab untuk menggantikan gestur yang tak pegari bagi sang pemuda tanggung, “Tentu. Eh—Marshall, hari ini katanya owner bakal ada tamu?”

Marshall Emile meloloskan kuapan sebelum memberi konfirmasi atas pertanyaan itu, Yes. Makanya dia minta kamu datang lebih pagi, nih."

Sure. Just notify me if you are already on the way."

Selanjutnya, kali ini—nada usil yang Mya kenal akhirnya tampak ke permukaan. Barangkali tadi Marshall barulah bangun tidur, maka kekhasan itu belum tampak. “Tidak, ah. It’ll be fun to pick you up when you are not ready at all."

“Marshall!” Mya tergelak. Menyalakan kompor, Mya menuang telor ke dalam mangkuk putih. “Shut up. Oh, dengar, ya—aku belum cerita, lengkap, kan? Soal dosen yang sangat, amat, sialan! I’ll tell you later, alright?”

Yeah, yeah. Don’t forget to pick up your dress!"

“Hm-mnn,” Mya menjawab mantap melalui gumaman. Sambungan telepon diretas. Berikutnya olive oil dituang sedikit ke atas panci yang perlahan memanas. Menaruh satu lembar ham, Mya meraih roti dalam bungkusan sebelum menaruhnya ke dalam toaster. Saat satu sisi ham telah terbakar lembut, Mya membaliknya, lalu menuang telur ke sana. Ada satu sendok air yang dituang pula sebelum akhirnya ditutup dengan lid.

Mya menarik napas, menghelanya panjang, dan bersandar pada wastafel dapur. Memori kembali terulang, akan pertemuan sederhana—namun juga luar biasa menyebalkan kemarin siang. Mya menyentuh dahi dengan kepalan tangan, lalu menggigit bagian dalam pipi.

Aku yakin aku pernah bertemu dengannya. Ya, Mya sangat, sangat—yakin. Bahkan meski sang dosen telah memerintah dengan beringas bahwa tak boleh lagi menggoda, maksudnya—hei, Mya tidak menggodanya! Tidak pernah ada niatan seperti itu. Namun, tetap saja, bola mata Mya tak bisa teralihkan dari sosok yang mengajar di depan itu. Kantuk Mya mendadak hilang dan fokusnya tercerai-berai.

Mya bahkan tak ingat materi yang ia sampaikan. Yang tercetak jelas dalam kertas ingatan hanya seluruh … gestur dan cara bicaranya. Keseluruhan dari sosok itu sendiri. Tampilannya rapi dan sangat formal—kemeja hitam, celana bahan yang jatuh di atas mata kaki, sepatu pantofel cokelat mengkilap … caranya mengajar terdengar ringkas, tepat sasaran, dan tak berbasa-basi—setidaknya, meski tak ingat materinya, Mya ingat cara ia menyampaikannya. Sangat, amat, familiar. Sesuatu yang rasanya pernah begitu dekat. Bercokol erat dalam ingatan.

Lalu, Mya buru-buru mematikan kompor. Tak ada yang ingin sarapan paginya menjelma abu kehitaman. Di saat yang sama, toaster telah selesai mengerjakan tugasnya untuk memanggang roti hingga menjadi warna cokelat keemasan.

Saat menerima sebuah chat dari ponselnya—lagi-lagi dari Marshall, Mya menyengir.

           

Marshall-Boi

Dress code: Short burgundy velvet.

Mya sekali lagi memerhatikan cermin panjang yang berhasil memerangkap sosoknya. Senyum terpoles sempurna pada wajah. Lipstik merah terbubuhkan lembut pada bibir, menciptakan gradasi dengan bagian luar bibir yang warnanya lebih alami—merah muda pucat. Tarikan eyeliner telah terasa pas, begitu pun alis yang telah digaris presisi. Sempurna. Sederhana, natural, dan, oh—tentu, memikat.

Mya berputar seratus delapan puluh derajat, melihat busana yang melekat tubuhnya. Dress berwarna merah maroon tampak pas dan sensual. Potongan bagian atasnya mengikuti lekuk dada, lalu fabriknya mengikat hingga pertengahan perut sebelum rok tulle menjulang dan melebar hingga berhenti sedikit di atas lutut. Dengan stocking hitam dan boots berhak rendah, ini terasa pas.

Alright.”

Mya memadamkan lampu ruang apartemen, lalu melangkah keluar dari sana. Marshall sudah sampai, kabarnya. Maka dengan lift, Mya turun hingga ke lantai bawah, menuju lobi, dan segera menemukan Mazda RX-7 hitam terparkir di sana. Senyumnya berkembang. Mya masuk ke dalam mobil itu dan Marshall menyambut.

“Sudah terima daftar lagu?"

“Sudah!” Mya menyahut—sadar bahwa ada nada yang keterlaluan semangat. Mya siap meraih safety belt sebelum Marshall sendiri yang mencodongkan tubuh, lalu memakaikannya padanya. Mya dapat menghidu aroma musk yang menyenangkan.

“Cantik, deh,” Marshall akhirnya memberi apresiasi—sesuatu yang memang sudah Mya tunggu. Menerima pujian memang sangat menyenangkan, bukan? Kemudian, lelaki itu menggerakan tuas mobil dan mulai melaju di jalan raya. “Aku tidak heran dosen itu menuduhmu menggodanya."

“Makasih dan kurang ajar,” Mya membalas, berpura merengut. Namun pada akhirnya, sudut-sudut bibir sang perempuan tertendang ke atas. “Yah, mari lupakan orang menyebalkan itu. Aku hanya bertanya sopan, loh! Reaksinya tak perlu begitu, kan?”

Marshall menggeleng-geleng, lalu tertawa tipis. Sisa perjalanan diisi dengan kemeriahan serta konversasi yang menyenangkan. Inilah mengapa Mya akrab dengan si pemuda tanggung yang seumuran dengannya itu. Segala hal bisa jadi perbincangan seru dan bahkan beradu debat akan topik yang rumit pun bisa begitu menggairahkan. Ia cerdas dan piawai membaca situasi, itu menjadi keunggulannya. Itu, dan—

“Nanti malam mampir?"

Mya tersenyum tipis. “Tentu."

Lihat selengkapnya