“Akan kurangkum briefing assignment kali ini.” Suara itu berkumandang rendah dari arah speaker kelas. Asher mendekatkan mic pada bibir, kemudian membalik satu halaman dalam buku catatan. “Esai sederhana, 5000 kata. Times New Roman 12, judul TNR 14, spacing 0, line-spacing 1,5. Asistensikan topik sebelum lanjut dan pastikan kumpul ke forum yang nanti akan kubuat. Hard-copy kumpulkan hari Jumat. Jelas? Ada pertanyaan?"
Hening menyambut. Asher mendengus pendek. Tugas ini seharusnya mudah dan sederhana. Selain itu, ia punya terkaan mahasiswa yang tak berani bertanya adalah karena sikap galak yang ia kirimkan. Begitu-begitu—ia paham dan sadar diri. Namun, sebagai dosen berarti kesampingkan arogansi dan cuek untuk sesaat. Maka dia melembutkan ucapan, “Kalau tidak jelas, bertanya sekarang. Kalau kalian salah kumpul dan berbeda dari briefing, akan kuberi potongan nilai."
Akhirnya, satu mahasiswi mengangkat tangan. Asher mengedikkan kepala—sebuah gestur untuk menyatakan bahwa ia mendengarkan. “Sir, batas jam untuk asistensi?"
Pertanyaan bagus. Asher tidak merubah itu menjadi verbal. Namun yang selanjutnya, ia jawab dengan sungguh, “10 malam. Di atas itu tidak aku terima. Jangan asistensi H-1 pengumpulan atau kupotong nilaimu."
Lagi-lagi, sunyi merambat di kelas itu. Asher mengangkat lengan kirinya dan memerhatikan jam yang melingkar manis di pergelangan. “Kalau tidak ada pertanyaan lagi, kelas dibubarkan. Ingat, forum ditutup hari Minggu. Nomor ponselku akan kuberikan kepada ketua kelas."
Mya memijit pelipis. Kawannya yang duduk di sebelah hanya tersenyum sangat, amat—lembut, lalu menepuk pundak Mya prihatin. Mya mengirimkan senyum yang sama dan merasa kesal. Untuk suatu alasan, satu kelas Inggris setuju untuk menjadikannya ketua kelas. Tentu saja—siapa yang mau berurusan dengan iblis dalam bungkusan manusia seperti Asher? Dalam sekali lihat pun—semua mahasiswa tahu bahwa lelaki itu adalah representasi dari Lucifer itu sendiri. Ah, memang agak berlebihan, tapi terasa benar begitu.
“Semangat,” kawan Mya berujar. Betapa inginnya Mya mencubit pinggangnya
Mya akhirnya merotasi bola mata. Satu per satu para mahasiswa keluar dari kelas sebelum akhirnya dengan ragu, serta sedikit mengantisipasi sambutan kasar, Mya melangkah mendekati Asher. Lihat saja, kalau pria ini meluncurkan sarkasme dan makian menyebalkan, Mya betul-betul akan memberontak. Entah ledekan macam apa, pokoknya akan Mya lancarkan.
Mya menatap iris keabuan yang terarah kepadanya, meneguk ludah, lalu berujar, “Sir, nomor ponsel—"
“Maaf."
Mya mengedip beberapa kali. “Ya?"
“Tempo hari, aku agak keterlaluan,” Asher berujar. Di saat yang sama, lelaki itu meraih pulpen dari dalam kotak pensil hitam sederhana, meraih sticky notes, lalu menuliskan dua baris deretan angka di sana. “Tidak ada yang memalukan dari bekerja di bar dan aku yakin pertanyaanmu di awal bukan bermaksud menggoda. Aku tidak seharusnya menyerangmu karena itu."
Mya termenung. Oh. Sekarang—Mya malah merasa bersalah sebab berasumsi bahwa Asher akan bertingkah menyebalkan. Hei—tidak aneh, bukan, untuk meraih kesimpulan seperti itu? Impresi yang diberikan Asher tidak bisa dibilang sempurna. Mya berdeham sebelum menjawab, “Eh, ya—tidak apa. Aku juga minta maaf kalau pertanyaanku di awal menyinggungmu."
Asher menggeleng. Ia mengulurkan sticky notes dengan angka dan bubuhan tulisan “A. Arenberg” di bawahnya. “Nomor atas pribadi, yang bawah urusan kerja. Jangan sebar yang nomor pertama.”
Mya menerima itu dengan kedua tangan. Lalu, pada titik ini, Mya tidak tahu apa yang harus dia katakan. Kenapa dia memberiku nomor pribadinya juga?
Lalu, dalam sekejap, ingatan melayang pada hari Jumat malam. Sosok di hadapan Mya dengan balutan bomber jacket hitam, kaus putih, serta celana jeans. Kasual dan … keren. Dan kalau tidak memerhatikan baik-baik, maka anting hitam kecil pada telinga kanan sang lelaki pun luput. Tanpa berpikir dua kali, kata-kata termuntah dari mulut, “Apa kau akan datang lagi?"
Asher mengangkat sebelah alis. Mya ingin menepuk dahi. “Maaf, maksudku—"
“Ke bar?” tanyanya, memastikan. Ada anggukan kecil yang Mya berikan. “Mungkin. Elden akhir-akhir ini bersikeras agar aku datang."
“Aku bernyanyi setiap hari Rabu, Jumat, dan Minggu."
“Aku tidak bertanya."
Mya kali ini mengeluarkan kekehan kecil. Melihat itu, mau tak mau, Asher akhirnya berujar, “Aku akan datang Rabu. Pastikan selesaikan assignment-mu sebelum itu."
Senyum sang perempuan bersurai cokelat melebar. Entah bagaimana, entah kenapa—rasanya menyenangkan. Mya mengangguk, lalu menjawab, “Oke, Sir.”
Kemudian, Mya melangkah ke luar kelas dengan hati yang begitu ringan dan begitu ia sadari—dengan senyum merekah. Lalu saat sampai di lorong, Mya memiringkan kepala, sedikit bingung.
Ya, Mya meyakinkan diri sendiri. Aku pasti lega karena dia tidak sejahat dugaanku. Lalu cengirannya berlanjut dan sisa hari itu terasa sedikit lebih baik.
...
Mya menggunakan garpu untuk mengaduk mac and cheese yang masih hangat. Menopang dagu dengan sebelah tangan, kemudian akhirnya Mya menelantarkan garpu dan sedikit mendorong mangkuk putih. Bukan—bukannya mac and cheese dari restoran yang biasa dibeli itu tidak enak. Kebalikannya, malah, ini adalah favorit Mya. Seluruh keju dan ham, serta sedikit rasa pedas dari rempah-rempah yang mereka gunakan—itu nikmat.
Namun, Mya hanya merasa bosan dan ingin melakukan sesuatu yang lain. Toh, makanannya tinggal sedikit—yang penting ada mengisi perut. Selanjutnya, senyum Mya mendadak mencerah. Mya melangkah ke arah kamar dan meraih ponsel. Lalu, Mya menatap nomor yang baru saja disimpan olehnya tadi siang. Menimang-nimang sesaat sembari memperhatikan jam pada layar ponsel, selanjutnya jari sang perempuan mengetik.
Sebentar. Bukankah ia memiliki dua nomor ponsel? Yang mana yang harus dihubungi? Tentu, nomor yang Mya sebarkan pada grup kelasnya adalah nomor kedua. Tapi … menghubungi nomor pertama rasanya menantang dan menyenangkan. Maka, Mya tersenyum senang dan memilih nomor pertama. Baiklah, syarat pertama dan utama untuk berbicara kepada seorang dosen—hormat dan formal.
To: Asher Arenberg
Text: Selamat malam, Sir Asher. Ini Mya Laskaris dari kelas LV 34, mata kuliah Bahasa Inggris Formal. Saya ingin mengasistensikan topik sekaligus judul esai saya; “Rapist: A Wild Animal in a Human Clothing”. Terima kasih banyak sebelumnya, maaf mengganggu.
Lalu, Mya menunggu balasan. Sebetulnya, Mya selalu merasa berempati dan memiliki simpati lebih terhadap kasus yang khusus ini. Entah bagaimana. Maka, kalau ada kesempatan untuk menuliskan tentang ini, maka Mya akan mengajukan idenya. Tak lama, ada pesan masuk dan Mya segera melihat layar ponsel.
From: Asher Arenberg
Text: Boleh. Masukkan data yang mendukung.
Mya tersenyum lebar, lalu menggigit bibir bawah tanpa sadar. Mya menjernihkan tenggorokan, lalu membalas pesan singkat itu.