“Eh, siang, Kak … boleh minta nomor ponsel Sir Asher Arenberg, dosen bahasa Inggris?"
Mya menautkan alis dalam-dalam. Melihat penampilan, serta melakukan observasi sederhana melalui tatapan pada kartu pelajar yang tersemat di bahu, Mya meraih kesimpulan bahwa dua mahasiswi di hadapannya ini ialah adik kelas.
Dengan ragu namun tetap berusaha tanpa penghakiman, Mya bertanya, “Kalian mahasiswi kelasnya, kah?”
“Bukan, kok. Cuman katanya Kakak menyimpan nomor pribadinya.”
Mya mulai menangkap seluruh hal tak rasional ini, serta gadis yang banyak terkikik-kikik setiap kali Asher melangkah di area kampus. Yah—bukannya Mya tak paham bahwa Asher itu atraktif. Bohong kalau Mya mengatakan yang sebaliknya. Tapi, hei, pertanyaan yang utama, tapi—siapa yang menyebarkan rumor itu? Meski pada nyatanya memang Mya menyimpan nomor personal sang dosen, tapi—tidak usah disebar, kan?
Lagipula, mengincar seorang dosen—bukankah itu kurang ajar, tak memiliki etika, dan … aneh? Lagipula, siapa kedua mahasiswi di hadapan? Muridnya saja bukan! Lalu, Mya mengerjap. Menggeleng singkat untuk pikiran yang terkesan sangat … kasar.
Kenapa aku harus kesal?
Mya berdeham sebelum memberi jawaban terbaik, “Maaf, aku tidak bisa. Kalau kau adalah anak kelasnya, akan kuberikan nomor untuk urusan kuliah.”
Maka, kedua adik tingkat itu melangkah menjauh dari Mya dengan merengut. Mya menghela napas singkat, lalu berbalik sepenuhnya, kembali menuju ke tempat yang menjadi destinasi awalnya. Dokumen dan berkas yang ada dalam dekapan Mya dipastikan olehnya agar tidak tercecer dan tetap rapi. Saat sampai di sebuah pintu berpelitur krem pada lorong itu, ketukan Mya berikan.
“Masuk.”
Mya membuka pintu hati-hati. Kemudian, Mya menaruh dokumen sesuai dengan arahan jari telunjuk sang lelaki.
Asher mengangkat wajah dari ponsel miliknya. Ia bangkit dari kursinya, lalu berjalan ke arah Mya dan mengusapkan jemari di atas tumpukan kertas
“Sudah lengkap?"
“Ada dua orang sisanya,” Mya menjawab, memberi penjelasan. “Tapi, jujur—aku tidak mengharapkan mereka akan kumpul.”
Asher mendengus. Selalu saja akan ada mahasiswa seperti itu—yang mati segan, hidup pun tak mau. Yah, ia tak perlu ambil pusing. Cukup bubuhan angka 0 pada kolom nilai Tugas Mandiri, kelar. Mya berniat untuk memutar haluan dan segera pulang. Ini hari Jumat, sesi terakhir mata kuliah Bahasa Inggris Formal telah kelar, bagaimana pun. Dan Mya di sini hanya karena sang dosen meminta tolong mengumpulkan tugas para murid.
Asher yang melihat keraguan sang perempuan untuk melangkah pergi akhirnya mengangkat sebelah alis dan bertanya telak, “Apa?”
“Aku …,” Mya menggantung kata-katanya. “Masih merasa pernah bertemu denganmu, Sir. Apa karena kau adalah paman Kanna?”
Tidak, Mya menjawab dalam hati. Aku baru kenal Kanna dua tahun lalu. Tapi di ingatanku, rasanya aku sudah mengenal Asher jauh—jauh sebelum sekarang.
Asher melihat baik-baik ekspresi Mya. Mya mendadak menunduk, tak berani bertemu sepasang iris abu yang begitu lekat melihat. Detak jantung berakselerasi, Mya menegur diri sendiri dalam hati.
“Mungkin saja …,” Asher menjawab. Menggantungkan bicaranya. Lalu, ia mengubah topik, sesuatu yang Mya sadari dengan jelas bahwa Asher tak berniat melanjutkan tema “aku-pernah-bertemu-denganmu” ini. “Hari ini kau akan ke bar?"
Mya mengedipkan pelupuk matanya beberapa kali. Lalu, senyum tipis terpoles. “Benar. Hari ini tema oufit-nya bebas. Ada preferensi, Sir?”
Lagi-lagi dengkusan seolah tak berselera. “Kenapa kautanya aku.”
Mya tertawa tipis. Belakangan ini, rasanya—memancing respon seorang Asher Arenberg terasa seru dan membikin nagih. “Hanya bertanya. Baiklah kalau tidak ada. Aku permisi, Sir.”
Di sana, Mya mulai melangkah menjauh dan siap untuk angkat kaki dari ruangannya. Namun sebelum benar-benar membuka daun pintu dan membiarkan diri Mya dipisah jarak terlalu jauh, sebuah suara rendah terdengar teduh, “Smart casual."
Mya tersenyum tipis. Tanpa menjawab secara verbal, Mya hanya keluar dari sana.
…
“I’ll be fine!”
Marshall mendengar Mya sedikit berseru, lalu sadar bahwa Mya memelankan nada bicara. Ini memang kebiasaan bila Mya tengah antusias. “I’ll be fine, Marshall, really.”
Dalam video call itu, Marshall bisa melihat busana smart-casual yang membungkus rapi tubuh Mya. Turtle neck hitam, blazer abu-abu, serta trouser pants hitam yang ujungnya sedikit di atas mata kaki. Ditambah heels runcing. Marshall sedikit mengerjap ketika ia sadar bahwa iris madu lekat menatap lekukan tubuh di balik kaus turtle neck. “Hati-hati, loh. Ingat untuk mengirimkan plat mobilnya padaku.”
“Gosh! You sound just like my mother. I’m a grown-up; I’m fully capable of taking care of myself. Alright, nanti aku kirimkan. Sudah, ya, taksi online-ku sudah datang!”
Marshall menarik napas, lalu menghelanya panjang dan memutus panggilan. Ketika menoleh ke samping, ia melihat Leon dengan iris dwiwarna gradasi emas-limau menatapnya dalam diam. Marshall mengerutkan dahi, bertanya langsung, “Apa?”
Leon mengangkat bahu. Ia lanjut fokus pada kertas di hadapannya, barulah menjawab, “Kalau kau khawatir, seharusnya bilang aja. Dia tak akan mengerti kalau kau berputar-putar begitu.”
“Yang penting dia hati-hati,” Marshall merespon. Pun ia kembali menaruh seluruh fokusnya pada laptop di hadapan. Setidaknya—itu apa yang ia berusaha lakukan sedari tadi. Terkutuk untuk tugas kuliah serta tenggat waktu tak masuk akal dari dosen mereka. Marshall akhirnya menggeram rendah, meremat helaian surainya.
Kanna selanjutnya datang membawa tiga gelas berisi es teh. Perempuan itu menaikkan alis dan melihat ke arah Leon. Leon menjawab sederhana, “Dia sedang cemburu. Ya, kan, Marshall-Boy?”
“Kau berisik, ya?” Marshall menyalak cepat. Ia sempat mengucapkan terima kasih kepada Kanna sebelum kembali—membela dirinya, untuk suatu alasan, “Dan aku tidak cemburu pada dosen pendek itu. Aku hanya khawatir dia pergi ke bar sendirian menggunakan taksi. Oke!”
Leon merotasi bola mata. Ia malas berdebat dengan seseorang yang begitu keras kepala serta tak ingin pelan-pelan memindai isi hatinya sendiri. Kanna malah yang kali ini meladeni dengan rasa terhibur, meski suaranya masih sedatar papan, “Kami tidak mengatakan apa pun tentang Asher, kok.”
Marshall menatap Kanna tidak percaya. Kenapa mereka berdua bekerja sama untuk menindasnya
“Kamu sangat sok keren,” Leon melanjutkan pembicaraan. Bola matanya sesekali berpindah dari kertas yang harus ia kerjakan dengan Kanna yang perlahan duduk di sampingnya, menyandarkan kepalanya pada pundak Leon. “Di depan Mya kau selalu tampak kalem—dan beginilah kau."
“Hei, Leon, aku akan mengerjakan tugas kelompok yang selanjutnya, jadi—"
“Tidak.” Leon mendelik garang. Marshall langsung membalas dengan tatapan yang sengit pula. Kemudian, si surai brunette melanjutkan, “Aku butuh otakmu. Selesaikan ini secepat mungkin dan kita bisa ke bar.”
“Yah, aku harus jalan juga sebentar lagi,” Kanna berujar. Ia selanjutnya berdiri, kemudian memberikan kecupan sederhana pada puncak kepala Leon. “See you guys there—itu pun kalau tugas kalian sudah selesai, ya.”
Tak lama setelah itu, ada langkah kaki yang perlahan menjauh dan sahut-sahutan “aku jalan” serta “hati-hati” sebelum akhirnya satu-satunya entitas wanita di ruangan itu lesap. Hening merasuk untuk sesaat.
Hanya sesaat, sebab begitu ia tahu bahwa tak akan ada lagi godaan serta sindiran, Marshall akhirnya luluh pada instingnya, dan berujar jujur, “Aku tidak tahu caranya.”
“Apa?” Leon bertanya—hanya untuk formalitas. Ia sudah tahu apa yang Marshall bicarakan.
“Mencintainya,” Marshall membalas lesu. Layar laptopnya serasa buram sebab matanya kini tak fokus. “Aku hanya tahu untuk urusan di dalam kamar—"
“Demi Tuhan, aku tidak perlu mendengar itu—”