Ini adalah kali pertama Mya bertemu dengan Marshall Emile. Dua tahun lalu sebelum sekarang, Mya adalah mahasiswa baru yang ingin mencari tempat kerja. Kanna Kruger (sebetulnya, pada titik ini, Kanna belum menikah, namun ia memilih untuk menggunakan nama belakang itu. Lihat, bukan salah Mya kalau tidak sadar bahwa nama belakang Asher dan Kanna sama persis)—maka, teman satu angkatan namun beda jurusan yang Mya kenal karena satu hal dan yang lainnya itu, akhirnya menawarkan untuk bekerja di Lightya.
Di malam interview, Mya mengenakan satin dress berwarna putih yang selutut. Mya tidak suka mengenakan rok yang terlalu panjang—karena tinggi tubuhnya tidak seberapa. Berbeda dengan Kanna yang nyaris menyentuh 180. Terkadang Mya bertanya-tanya mengapa Kanna tidak menjadi model atau pramugari saja. Elden menerima Mya tanpa berpikir panjang. Ia suka sekali pada suara Mya—katanya. Di malam Jumat itu pula, Mya menikmati suasana Lightya dan berusaha untuk menyamankan diri.
Sang bartender akhirnya menyuguhkan satu gelas cocktail yang berwarna cantik. Marshall Emile berujar dengan senyum tipis pada bibirnya, “Dari Elden. Aku Marshall.”
Mya menyebutkan namanya. Dengan ucapan terima kasih sederhana, Mya menyesap alkohol itu lalu tersenyum lebar. Ada pujian yang berkumandang begitu saja, “Enak! Keren sekali, Marshall.”
Marshall terkekeh kecil. Hari ini tidak terlalu banyak pelanggan. Maka, pemuda itu memutuskan untuk melarutkan dirinya di dalam konversasi bersama Mya. Selanjutnya ada pertanyaan yang termuntah dengan begitu polos darinya—dan sedikit menggemaskan bagi Mya, “Uhm. Apa Mya sudah memiliki kekasih?”
Mya mengedipkan pelupuk beberapa kali. Senyum masih belum pudar dari bibir yang berbalut gincu merah muda. Berikutnya dengan tulus Mya berujar, “Well, this is our first meet but … I’ll be honest with you because you seem like a great guy. Can I?”
“Sure. Shoot.”
“I can’t fall in love,” Mya menyahut. Mendapat tatapan bingung dari Marshall, Mya melanjutkan dengan sedikit malu, “Eh, maksudku—mungkin belum bisa. Entah kenapa. Dari dulu, aku sudah mencoba untuk menjalin relasi … but none of them work. Seolah aku belum benar-benar menemukan yang tepat.”
Marshall mengangguk mendengarnya. Kemudian ia menopang dagu dengan sebelah tangan dan iris madunya lurus menatap Mya. “Jadi … siapa yang kautunggu?”
Mya mendengus pendek dan berujar dengan nada suara yang dilebih-lebihkan, “Pangeran berkuda putih, nih! Kalau Marshall melihatnya, kabari aku, ya.”
Marshall tergelak. “One more question,” tanya pemuda bersurai pirang kusam itu. Kali ini, menatap Mya dengan sungguh. Mendengar pintaan Marshall akan keinginannya untuk menyuarakan satu pertanyaan lagi, Mya mengangguk. “Jadi, kalau aku mencoba, tidak ada harapan, hm?”
Ada senyum yang ditampilkan. Mya sendiri percaya itu adalah sebuah seringai. Didukung oleh perasaan impulsif yang menggebu serta kirimkan letupan penuh gairah. “Mungkin tidak,” jawab Mya. “Tapi, kalau kau mau dan bersedia—kita bisa menjalin persahabatan.”
Marshall rasanya mulai memahami ke mana arah ini berjalan. “Persahabatan,” ulangnya. Deretan gigi putih ditampilkan.
“Yup.” Mya mencondongkan tubuh ke arahnya. Menghidu aroma maskulin yang manis dan harus diakui—memabukkan. “Dan sahabat boleh saling bersandar pada satu sama lain.”
Marshall tertawa setelah mendengus. Dalam satu gerakan, ia meraih tengkuk Mya, membawa sang perempuan pemilik helai cokelat dalam satu kecup sederhana. Barangkali di sana lah seluruh permulaannya.
...
Namun, apa yang Marshall ingat ialah jauh melebihi itu semua. Rasanya jatuh hati, serta rasanya menyenangkan berada di dekat Mya. Ada satu waktu Marshall akan menerima penghakiman yang menyedihkan dari dosennya akan proyek yang ia kerjakan sepenuh hati. Maka di situ, Mya akan tersenyum, lalu sodorkan segelas susu hangat. Mya akan membungkusnya dengan selimut tebal dan bersandar pada pundaknya.
Ada tawa canda renyah dan keterlaluan garing—yang tidak lucu sampai-sampai Marshall mau tak mau mendengus geli dan tersenyum.
Ia ingin percaya ini semua lebih dari sekadar intimasi tanpa rasa.
...
Saat telah keluar dari rumah sakit—semua berjalan hanya seperti biasa. Setidaknya, itu adalah apa yang Mya ingin percaya. Datang ke bar sesuai jadwal, Marshall akan selalu menjemput. Mya akan bernyanyi, menikmati malam, bersenda gurau—ya, hanya seperti biasanya.
Satu hal yang mungkin berubah, Asher Arenberg tak lagi datang. Oh, tentu, Mya masih menemuinya di kelas. Mya masih menjadi ketua kelas dan beberapa tugas akan diarahkan langsung kepada sang perempuan agar bisa diberikannya pada anak-anak kelas. Namun, ya sudah—hanya begitu saja. Mya pernah mencoba untuk membuka perbincangan sederhana dengan cara mengirimkan pesan teks ke nomor personalnya, namun tak dibalas. Saat Mya mencoba untuk asistensi tugas melalui nomor kedua—ada balasan yang formal dan seadanya.
Baiklah—Mya menangkap kode itu. Maka Mya hanya menghela napas, menyingkirkan ponsel jengah, dan akhirnya menyandarkan kepala pada bantal. Marshall keluar dari kamar mandi. Tubuh dan surai pirang keruh masih bertempias air, disekanya dengan handuk selembut bulu domba. Selanjutnya, lelaki itu duduk di atas kasur dan mengusap pipi Mya dengan punggung jari telunjuk.
“Hei. You okay?”
“Well … I—technically, yes?”
“Bagaimana Asher?"
Mya mengerjap. Tidak menyangka satu pertanyaan itu datang dari Marshall. Berikutnya Mya berujar, “Entahlah. Aku lelah—tidak mau berpikir soal itu.”
Marshall mengangkat bahu, kemudian lanjut mengeringkan rambutnya. Dari sudut pandang Mya, tampak punggung tegap dan bahu lebar yang cetakan serta garis ototnya terbentuk jelas.
“Mar,” Mya memanggil.
“Hmn?”
“Kalau aku, malam itu, betulan diperkosa—apa menurutmu aku akan gila?”
Marshall menoleh cepat. Bola matanya membulat tak percaya—pertanyaan macam apa itu? Apa Marshall harus khawatir sebab barangkali memang sekrup kewarasan Mya perlahan jatuh satu-satu, atau apa? Atau Marshall harus mulai mencari psikolog, psikiater—untuk Mya konseling atau semacamnya? Apa ini sekadar pertanyaan jebakan untuk membuatnya bingung?
Namun akhirnya, tanpa kehilangan ketegasan, Marshall menyahut, “Kalau Mya diperkosa, aku sendiri yang akan mencari pelakunya dan, entahlah—menghajarnya sampai mati terdengar bagus.”
Mya terkekeh tipis. “Sama, ya. Asher mematahkan pergelangan kaki orang itu dan sepertinya siap untuk menikamnya sampai mati.”
Marshall kemudian menghela napas panjang. Maka, ini kembali pada Asher, hm? Kemudian lelaki itu bangkit dari kasur, pergi ke arah lemari pakaian, dan merogoh kaus serta celana dalam sederhana. Sadar untuk suatu hal dan seolah ia telah perlahan menyatukan kepingan pertanyaan, Marshall akhirnya menatap Mya dengan santai dan bertanya, “Apa seorang dosen yang baru mengenalmu selama dua minggu akan bersikap seperti itu?"
Mya mengangguk. “Itu juga yang kupertanyakan. Kalau pun ada orang yang empati terhadapku, di posisiku waktu itu, mereka akan memilih untuk minimal menarikku kabur—bukan konfrontasi dengan pelaku. Kurasa masuk akal kalau mereka akan membelaku sampai seperti itu kalau kasusnya adalah kamu.”
“…. Waktu Mya bilang kamu pernah bertemu dengannya dan ia terasa familiar—itu juga benar?”
Kali ini, senyum Mya ditampilkan tulus. Marshall merangkak ke atas kasur, lalu membuka lengannya, dan membiarkan sang perempuan merayap untuk mendekapnya dan menyamankan diri di balik selimut. “Aku tidak tahu,” jawab Mya. “Tidak, lebih tepatnya—aku belum bisa memastikan. Aku merasa Asher ingat kalau dulu kami pernah bertemu dan aku tidak. Entah apa alasannya. Aku ingin mencari tahu soal hal itu.”
“…. Demi Asher?”
Dan—itu dia. Pelan, tapi pasti, Mya mulai menangkap nada yang khas dari cara bicara sang surai kusam. Harusnya Mya tahu dan lebih peka.
Ah. Bukan. Lebih tepat kalau dikatakan, perempuan ini selama ini mengalihkan wajah dari apa yang benar. Ia tidak ingin menghadapi perasaan yang tertuju padanya, begitu jujur dan terus terang.