Dari sisi Asher Arenberg, ini tidak lebih mudah. Ibunya ialah seorang pelacur dan ia anak hasil dari itu. Entah siapa ayahnya—ia juga tak peduli dan tak ingin tahu. Di umurnya yang ke lima, ibunya meninggal karena penyakit paru-paru dan amanah terakhir sang wanita adalah agar Asher mencari mencari pamannya; Raine Arenberg.
Raine Arenberg tentu saja melongo macam bodoh ketika disodorkan masalah dalam wujud anak umur lima. Pekerja sosial mengaku bahwa Asher telah berkelana entah sampai mana hingga akhirnya anak itu menemukan kantor polisi terdekat dengan keadaan tak lebih baik dari anjing yang dibuang. Isabelle Arenberg, istrinya, menerima Asher dengan senang hati. Oh, bukannya Raine tak senang—ia hanya merasa ia bukan sosok ayah yang baik. Apalagi, setelah tidak mendengar kabar dari adik perempuannya selama satu dekade, tahu-tahu malah memiliki seorang putra.
Dalam kekeluargaan yang singkat, Asher meraih banyak hal yang sebelumnya tak pernah ia dapatkan. Kesehatan, kenyamanan, pendidikan—kasih sayang seorang ayah, serta ibu angkat yang begitu mengasihinya. Dan meski ia tak pernah mengekspresikannya dengan eksplisit—ia bersyukur soal itu.
Namun lagi-lagi, itu tak berlangsung lama. Isabelle memiliki penyakit genetika bernama thalassemia. Kelainan pada tubuhnya dalam membentuk hemoglobin atau sel darah. Saat Asher mencapai usia 10 tahun, Isabelle Arenberg meninggal. Raine Arenberg di pemakaman istrinya mengisahkan soal betapa manusia sesungguhnya akan selalu menjadi budak dari sesuatu, entah itu soal kebebasan, pasangan, atau sesederhana minuman keras dan makanan. Yudaisme, Kekristenan, Islam, dan berbagai aliran religius lain menyebutnya sebagai penyembahan berhala.
Apapun itu, Asher tidak terlalu mendengarkan. Ia hanya menatap ayah angkatnya yang tampak kacau, pucat, serta perlahan kurus itu, dalam diam.
Dalam satu titik, Asher yang jauh lebih dewasa dari umurnya, berujar pada Raine, “Raine. Pergilah. Kelilingi dunia. Atau sesuatu semacam itu. Hanya saja, jangan mati.”
Raine menengadah. Menatap botol alkohol pada tangannya, lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar yang tampak seperti sampah. Ia lebih dari tahu bahwa Asher tengah mengerahkan seluruh tenaganya untuk tidak mengernyit jijik pada keadaannya. Asher pecinta kebersihan dan kerapian. Raine terkekeh kecil. “Aku payah, ya. Aku memang tidak cocok menjadi seorang ayah.”
Asher menarik napas, lalu menghelanya perlahan. Anak berumur sebelas tahun itu melangkah masuk ke dalam kamar, lalu menatap Raine tegas. “Raine, aku mungkin tidak sering mengutarakannya … tapi aku berterima kasih. Karena itu, bila ada yang ingin kaulakukan, atau kau hanya perlu sekadar pelarian—laksanakanlah. Aku baik-baik saja sendiri di sini. Kau bisa mengirimiku uang. Aku bisa mencari kerja begitu masuk SMA.”
Raine tergelak miris. “Kamu SMP saja belum.”
“Raine.”
“Baiklah,” Raine menjawab, pada akhirnya. Ia menarik Asher dalam dekapan sederhana dan Asher dapat menemukan kehangatan di tubuh yang terlampau kurus, seolah hanya sisa kulit dan tulang.
Esoknya, Raine mengatakan ia akan berkelana keliling dunia untuk mencari banyak hal. Hal yang mungkin masih bisa ia temukan untuk ia tuhankan, sama seperti bagaimana ia begitu mencintai Isabelle. Apa pun yang membuatnya tetap hidup; setitik api yang tetap bisa membara di antara jiwanya yang kosong.
Saat itu pula, Asher bersih-bersih seluruh rumah, melempar alkohol ke tempat sampah, lalu pada malam hari, ia tertidur dengan suasana yang begitu, sangat—sepi.
Keterlaluan sepi sampai rasanya sesak.
...
Di umur ke delapan belas, ia memasuki jenjang terakhir di SMA. Pada saat itulah, dua keluarga pindah menjadi tetangganya. Sepertinya mereka adalah keluarga yang sangat bahagia dan ceria sebab malam itu, mereka mengirimi Asher makanan di saat yang bersamaan. Asher mengerjap mendapati dua keluarga di hadapan pintu depannya. Alisnya bertaut dan ia bertanya tak paham, “Maaf, ada perlu apa?”
“Oh, kami hanya ingin berkenalan!” Alexandra Kruger menyahut. “Bolehkah kami menaruh ini ke dalam?” tanya wanita itu, sambil menunjukkan satu panci sup. Reno Kruger, suami Alexandra, hanya tersenyum tipis dan Asher dapat melihat dua sosok anak kecil umur sepuluh bersembunyi malu-malu di belakang.
“Aku juga baru pindah,” satu lagi wanita berujar. Senyumnya sangat teduh. Di balik tubuh wanita itu, pun terdapat seorang anak gadis yang menyembulkan kepala. Mya tersenyum tipis melihat sosok sang remaja yang tampak dewasa di hadapannya. “Ada roti isi dan mentega di sini, kuharap kau lapar.”
Asher baru saja makan malam. Namun ia memahami yang namanya etika serta kebohongan putih, “Sangat,” Asher menjawab datar, lalu membukakan akses pintu. Maka, kedua keluarga itu memasuki rumahnya yang kecil nan bersih, kemudian menyusun makan malam di atas meja makan.
Asher mengusap tengkuk, lalu bertanya sopan, “Ah … apakah kalian ingin makan malam di sini?”
Setelah saling berpandangan, senyum ramah ditampilkan. “Tentu saja. Aku Reno, ini istriku, Alexandra, dan ini putraku, Leon.”
Asher mengangguk, ia berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan sang bocah brunette, lalu mengulurkan tangannya. Leon membalas dengan ragu dan bola mata limau-emas itu menatap penuh dedikasi.
“Namaku Hera,” wanita tadi—ibu Mya, berujar. Kini ia mendorong pundak Mya lembut, menyebutkan nama Mya, dan Mya yang masih berumur sepuluh mengulurkan tangan.
Asher, tanpa sadar—tersenyum tipis. Ia menyambut tangan yang mungil itu dan berujar, “Aku Asher. Asher Arenberg.”
Dan senyum Mya ditampilkan—begitu ceria. “Halo, Sir Asher.”
...
Raine bersikeras bahwa Asher tidak boleh bekerja, setidaknya sampai ia berumur dua puluh tahun. Asher tidak paham darimana Raine mendapatkan seluruh uang dan pundi-pundi harta itu—tapi, orang tua itu sepertinya selalu bisa memenuhi kebutuhan Asher. Maka itu, sebagai seorang remaja yang juga tak tertarik mengikuti organisasi atau klub di sekolahnya, dan tidak bekerja sama sekali, ia memiliki banyak waktu luang. Di sinilah ia pada senja hari, menjaga dua bocah anak tetangga.
Alexandra dan Hera menitipkan putra-putri mereka pada Asher, mengatakan mereka ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Asher merasa tidak masalah. Selain itu, entah kenapa, sepertinya kedua wanita dewasa itu sangat perhatian padanya dan kalau mereka berbelanja bulanan, Asher selalu mendapatkan jatahnya. Kulkasnya penuh dan Asher mengira-ngira mungkin ini adalah insting seorang ibu. Jadi, mengembalikan gestur baik adalah hal yang wajar.
“Stand by me~ … won’t you stand by me …."
Asher mengerjap mendengar itu. Ia tidak sangka bahwa suara Mya merdu—mengingat bahwa terkadang seruan bersemangat bocah gadis itu bisa begitu nyaring. Kemudian Asher menautkan alisnya dan mengingat-ingat bahwa ini adalah lagu yang sangat, amat, tua dan melampaui zamannya. Maka, ia bertanya dengan rasa penasaran, “Kamu tahu dari mana lagu itu?”
Mya menoleh cepat dan tersenyum. “Mom sering nyanyi! Nadanya enak, kan?”
“Tidak buruk.”
Saat Mya melihat Leon tengah meneliti pisau lipat miliknya, Mya menghampiri bocah lelaki yang hanya berjarak dua hasta darinya. Bosan mendendangkan nada lagu, Mya berusaha menggapai pisau itu. Leon malah menyodorkan boneka beruang pada Mya. Mya merengut, ingin melihat pisau lipat milik Leon yang dibelikan oleh Reno. “Leon, mau yang itu,” sahut Mya, menggapai-gapai Leon.
Sementara si surai brunette menggeleng, lalu berujar protektif, “Ini dari Ayah. Mya bisa meminta Aunty Hera untuk membelikannya untukmu.”