Leon Kruger meloloskan kuapan. Saat melihat ke samping, tampak wanita bersurai hitam gelap tertidur dengan dengkuran halus. Sang pemuda berumur 20 mengusap sudut mata, lalu menarik sebelah sudut bibir. Ia mengulurkan lengan, meraih pinggang Kanna, menyeretnya dalam satu dekapan hangat.
Kanna terbangun, bergumam lirih dengan pelupuk yang masih nyaman tertutup, “Pagi ….”
“Hu-umn.”
Lalu Leon memerhatikan baik-baik fitur wajah sang perempuan. Ia raih lembut juntaian poni Kanna, menyampirkannya ke balik telinga. Berikutnya jemari itu menelusuri ujung mata, turun pada pipi, dan berlabuh di rahang yang terpahat sempurna. Dipikir-pikir—Kanna memang mirip sekali dengan pamannya. Mulai dari cara gadis itu berekspresi, kemampuan fisik yang menembus lini biasa, hingga garis wajah dengan lekukan dan patahan yang serupa.
Hanya saja, Kanna, ya—Kanna. Dan setiap individu berbeda, memiliki ciri khas sendiri.
Leon masih bertanya-tanya, sesungguhnya hingga sekarang—bagaimana Kanna menyetujui semudah itu untuk menjadi pasangan seumur hidup bersamanya. Mereka, pada waktu itu—hanya mahasiswa tahun kedua. Ini terasa magis, bahkan untuknya. Oh, tentu saja, kalau berbicara soal Reno dan Alexandra—mereka memberi izin dan restu tanpa pikir dua kali. Kanna sudah seperti putri mereka sendiri dan meresmikan status itu membikin mereka amat bahagia.
“Kanna.”
“Hmnn?”
“Kau ingat, tidak,” Leon bertanya. Ia menutup pelupuknya, lalu menyandarkan dagu pada puncak kepala Kanna. "Awalnya, kupikir kita akan terus dekat dengan Mya. Tapi setelah kejadian itu, Aunty Hera mengajaknya pindah."
Kanna memberi anggukan. Ia juga akhirnya melingkarkan lengannya di pinggang Leon. “Iya. Menurutku itu pilihan yang tepat. Dan ... kita bertemu lagi, kan, sekarang?"
Kanna dapat merasakan kepala Leon mengangguk. “Ya. Kau benar."
Tidak heran Mya sampai lupa. Ayah dan dokter neuro waktu itu menjelaskan bahwa itu adalah efek traumatis. Leon berpikir. Namun, rasanya tetap janggal ketika bertemu dengannya lagi dua tahun lalu dan ia tidak mengingat apa-apa.
Tak lama, bel apartemen mereka berdenting manis. Leon bangkit dari posisi tidurnya, lalu meraih celana panjang dari pualam, dan melangkah pada pintu depan. Ia tak peduli bila penampilannya berantakan dan agak tak pantas—tamu macam apa yang datang pagi begini di hari Minggu, coba.
Namun kala ia membuka pintu dan menerima senyum manis Mya, Leon menautkan alisnya dan mendesah panjang—serta disusul gelengan kepala. Marshall Emile kirimkan senyum usil yang sama.
“Leon, siapa?” Kanna memanggil.
“Kanna, tetap di kamar,” Leon memperingati. Dengan sedikit kekesalan dan rasa ingin menjahili, ia berujar, “Ada kuda lari dari posnya bersama penunggang liarnya.”
“Tidak sopan!”
...
“Maaf mengganggu ya pagi-pagi,” Mya berujar dengan cengiran.
Leon merotasi bola mata, menyahut, “Kamu tidak tampak menyesal.”
Ada kedikan bahu dari Mya. Selanjutnya, Mya mengucapkan terima kasih kecil pada Kanna yang menyiapkan teh hangat. Dengan nyaman, Marshall duduk di sofa yang ada pada ruang tengah dan memeluk boneka beruang di sana. Boneka yang meski bersih dan harum strawberry, rasa-rasanya tampak begitu tua.
“Baiklah, aku tidak akan basa-basi,” Mya memulai. “Apakah kalian tahu sesuatu? Soal masa laluku—atau pun dengan Asher.”
Leon melipat lengan. Ia memiringkan kepala dan tanpa kehilangan ketenangannya, ia bertanya balik, “Kenapa kau berasumsi kami tahu?”
Mya menaruh cangkir di atas meja. Berikutnya Mya melihat Leon dan Kanna secara bergantian. “Di malam itu, kalian berdua hadir di rumah sakit terdekat, bahkan sebelum aku sendiri sampai. Mungkin tujuannya hanya sekadar menjenguk, tapi aku penasaran mengapa Savvy dan Chris tidak datang. Kurasa tidak masuk akal. Karena, belum tentu pula aku akan datang ke rumah sakit—atau siapa pun yang kalian tunggu, kalau kalian mengelak tidak mengekspektasiku. Kalian datang berdua seolah disuruh untuk ke rumah sakit terlebih dahulu.”
Kanna mengedip untuk beberapa kali.
Mya mengulas senyum. “Apa aku salah?”
“Tidak,” Leon menjawab lugas. Tanpa ragu dan bahkan tak repot mengalihkan iris limau dari mata Mya. Namun, selanjutnya, ada pula penolakan tegas, “Tapi, aku sudah berjanji pada Sir Asher. Jadi silakan coba cara lain.”
Marshall kali ini yang bertanya, “Hehh. Bukankah kau seperti anjing yang menggoyangkan ekor pada tuannya?”